Sabtu, 30 Juni 2007

PENJARA SWASTA.....?????

SUARA PEMBARUAN DAILY

Oleh Iqrak Sulhin

Media massa nasional belum lama ini banyak menyiarkan pemindahan 244 narapidana (napi) yang merupakan bandar narkoba ke Nusakambangan (NK). Di tempat itu, ke-244 napi disebar di empat lembaga pemasyarakatan (lapas) super-maximum security (SMS).

Upaya memutus rantai bandar narkoba yang sudah dibui dengan perdagangan di luar penjara, positif untuk masyarakat. Pertanyaan selanjutnya, apa saja masalah di penjara kita? Hal ini perlu dipertanyakan, sebab sampai sekarang, masalah pokok penjara adalah regulasi menyimpang dan overcrowding (overkapasitas) di kota-kota besar.

Keduanya kemudian berkorelasi dengan kualitas pengelolaan penjara. Masalah bandar narkoba hanyalah sebagian kecil, bukan inti masalah.

Setelah sekian lama penjara hanya dikelola pemerintah, kita harus mengakui masih banyak masalah. Tulisan ini akan mencoba menelaah kemungkinan penjara yang dikelola swasta. Saatnya alternatif solusi secara multistakeholder, yang tak hanya dikelola oleh Dephukham, juga stakeholder lain yaitu organisasi masyarakat sipil (LSM) dan swasta.

Pengalaman Amerika Serikat dan Australia dapat dijadikan pembanding. Dalam upaya mengatasi penjara, mereka membentuk suatu badan yang dikenal dengan Prison Ombudsman (Ombudsman Penjara/OP). Lembaga ini berfungsi sebagai mediator antara sejumlah stakeholder: narapidana, petugas penjara, dan otoritas yang ada di atas penjara (di Indonesia, Ditjen Pemasyarakatan).

Tugas OP tak jauh berbeda dengan tugas lembaga ombudsman yang kita kenal selama ini. Jika ombudsman secara umum berurusan dengan keluhan masyarakat atas penyelenggaraan administrasi dan kebijakan publik, OP berurusan dengan pelaksanaan pidana dan pembinaan di penjara.

Wilayah kerja OP (di Amerika dan Australia), antara lain kondisi fisik penjara, kesehatan, kualitas makanan, pendidikan dan pelatihan. OP independen dari struktur pemerintahan. Jika dikontekstualisasi di Indonesia, lembaga ini harus independen dari Dephukham, berarti langsung berada di bawah presiden.

Kalau seandainya kita mempunyai OP, haruslah independen, karena Ditjen Pemasyarakatan hingga sekarang ini masih menjadi single stakeholder penjara. Di sisi lain, bagaimana mungkin menangani masalah penjara dengan baik, jika yang ditugaskan memperbaiki penjara adalah bagian dari masalah itu sendiri?

Serba Tak Beruntung
Sebelum lebih lanjut membahas kemungkinan penjara yang dikelola swasta, mari kita tengok dulu input yang masuk ke penjara. Mereka yang menjadi napi adalah orang- orang serba tak beruntung, yang tidak dapat memperjuangkan dirinya sendiri. Mulai dari proses penangkapan, dari begitu banyak pencopet, hanya sebagian kecil yang tertangkap. Di semua negeri, hanya sebagian kecil pelanggar pidana yang tertangkap.
Di pengadilan, seharusnya terdakwa memerlukan pengacara andal, namun urung karena biayanya tak sedikit. Status sosial ekonomi terdakwa, mayoritas menengah ke bawah, sehingga tak mampu membayar pengacara.

Dengan input seperti ini (mayoritas napi dari status sosial ekonomi rendah), napi kehilangan privasi -sering berakhir dalam bentuk resistensi terhadap sistem penjara. Tak sedikit yang bunuh diri, sebagai alternatif menghilangkan penderitaan. Kemudian, dengan input yang amburadul demikian, penjara masih diperparah oleh proses dan manajemen, bahkan menjadi faktor dominan atas sejumlah masalah penjara.

Masalah utama dalam manajemen penjara di Indonesia adalah masalah otonomi, penjara tidak otonom terhadap institusi di atasnya. Untuk memperbaiki fisik penjara, kualitas sanitasi, makanan, kesehatan, dan lain-lain, manajemen penjara akan menunggu keputusan otoritas lebih tinggi. Dalam relasi seperti ini, pada akhirnya, yang paling dirugikan adalah napi. Itu yang pertama.

Kedua, masalah proses pembinaan. Kita menganut mazhab (filsafat) reintegrasi sosial. Hukuman tidak bersifat derita, tetapi reintegrasi pelaku dengan masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, perlu memberi bekal kepada napi. Jika pengangguran, diberi keterampilan.

Namun proses pembinaan hanya di atas kertas. Seperti laporan tahunan sebuah penjara, yang menyatakan telah memberikan pelatihan menjahit dan pelatihan komputer. Padahal mesin jahit hanya satu, dan komputer pelatihan hanya rangka hardware-nya. Serba di atas kertas, sehingga penjara menjadi identik dengan "sekolah" kejahatan.

Ketiga, masalah kontrol sosial. Relasi antarnapi didasarkan atas kewenangan, di mana kontrol yang dominan adalah represi (dalam bentuk penghukuman). Misalnya, tindakan terhadap napi yang melakukan kerusuhan, kekerasan, atau melanggar peraturan, semua serba represif.

Demikianlah penjara kita. Maka kalau di media massa kita sejak dulu hingga sekarang masih saja menyuguhkan persoalan yang sama (overkapasitas), kita menjadi tak perlu heran, mengapa tak juga ada perubahan. Paradigma sekarang memang susah berubah, sebab senantiasa mendefinisikan realitas namun miskin tindakan. Perubahan hanya mungkin dari keinginan kuat Menhukham.

Jika kita sepaham perlu ada perbaikan, salah satu alternatif adalah dengan mendirikan penjara yang dikelola swasta.

Input utama penghuni penjara dewasa ini adalah kalangan ekonomi menengah ke bawah, sehingga jika penjara dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi (yang sekaligus memberi keterampilan), akan mengurangi masalah. Kriminal dengan motif ekonomi (karena pengangguran), sebagian akan tertanggulangi.

Hambatan
Apa hambatan penjara swasta? Indonesia belum memiliki lembaga OP. Badan Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) sekarang ini, tidak dapat dipadankan dengan OP, karena BPP adalah bagian dari Dephukham.

Supaya Ditjen Pemasyarakatan tidak menjadi pemain tunggal, terlebih dahulu harus didirikan lembaga semacam OP.

Ide swastanisasi penjara bermuara pada tiga tujuan.

Pertama, sebagai cara untuk memperbaiki kondisi penjara melalui self generating income. Selama ini, keterbatasan dana menjadi alasan utama bagi buruknya kondisi penjara.

Kedua, sinkronisasi proses pembinaan dengan dunia bisnis. Selama ini penjara menyebabkan extreme idleness (keberadaan yang tak berguna). Banyak kegiatan di penjara yang ternyata tak bermanfaat. Jika pun ada pembinaan, tidak efektif dan tingkat partisipasi napi sangat rendah.

Kalau saja didayagunakan, napi bisa menjadi tenaga kerja potensial yang dapat menggerakkan kegiatan ekonomi, terutama untuk industri padat karya. Dengan kerja sama penjara dengan dunia bisnis, penjara bisa relatif mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi. Di Tiongkok, salah satu rahasia produk murah adalah dengan mendayagunakan napi.

Ketiga, memungkinkan napi mendapatkan uang berupa tabungan, karena napi mendapat gaji selama bekerja di penjara. Kegiatan ekonomi juga akan mendukung tujuan akhir pembinaan di penjara, mengintegrasikan kembali napi dengan masyarakat.
Integrasi hanya dapat terjadi jika mantan napi mampu beradaptasi dengan dinamika masyarakat, salah satunya dengan mendapatkan pekerjaan. Ini dimungkinkan bila mantan napi sudah mendapatkan keterampilan selama di penjara.

Namun, ide ini pun memiliki sejumlah kelemahan, terkait sifat dasar kegiatan ekonomi: keuntungan sebesar mungkin dengan pengeluaran sekecil mungkin. Swastanisasi penjara memungkinkan terjadinya eksploitasi napi sebagai pekerja murah. Pemegang kekuasaan di penjara bisa mengeruk keuntungan besar tanpa memperhatikan hak napi sebagai pekerja.

Maka ide swastanisasi penjara memerlukan syarat-syarat ketat. Penjara harus melakukan reformasi struktural.
Ditjen Pemasyarakatan tidak boleh lagi menjadi stakeholder tunggal dalam proses kebijakan pemasyarakatan, dan membuka peluang pengawasan oleh publik. Bentuk konkretnya adalah dengan membentuk OP.

Manajemen penjara juga harus disinkronkan dengan dunia bisnis. Misalnya, apakah tabungan napi bisa aman. Napi juga harus diposisikan sebagai pekerja yang memiliki hak-hak selazimnya pekerja di luar penjara, seperti jaminan sosial dan upah yang harus sesuai dengan standar minimum.

Tak ada salahnya mencoba penjara swasta. Namun harus dijamin tidak ada eksploitasi, dicegah dengan pengawasan publik.

Penulis adalah staf pengajar Jurusan Kriminologi FISIP UI
Last modified: 29/6/07

http://www.suarapembaruan.com/

1 komentar:

Coba lihat ini:
http://blog.orangmuda.com/2007/08/10/konsep-penjara-swasta-mungkinkah/

Salam.

Posting Komentar