PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Team Futsal Narapidana Indonesia

Buktikan Sportivitasmu dan Buktikan Kamu Mampu, Semboyan olaharaga Narapidana Indonesia dalam rangka Pembinaan Kepribadian

Sabtu, 20 Oktober 2007

Vonis Sudah 3 Bulan, Napi Belum Terima Putusan

Jakarta, Kompas - Lambert Siahaya (44), narapidana kasus penganiayaan, belum menerima putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meski telah divonis tujuh bulan kurungan pada pertengahan Juli 2007. Saat ditemui, Jumat (19/10), Lambert sudah menjalani tahanan polisi sejak 7 April dan seharusnya bebas pada Lebaran lalu.

"Sudah tiga bulan vonis jatuh, tetapi belum ada salinan putusan diberikan. Seharusnya narapidana juga berhak atas potongan 15 hari jika divonis lebih dari enam bulan. Ketika menanyakan itu kepada petugas Rutan (Rumah Tahanan) Salemba, saya justru dimarahi dan dianggap sok tahu," kata Siahaya.

Menurut dia, janji tentang remisi dan potongan masa tahanan tidak diterima oleh banyak napi di Rutan Salemba. Banyak tahanan yang ditahan satu tahun hingga dua tahun lebih, tidak mendapat remisi. Bahkan ada pula yang terlambat dikeluarkan dari tahanan. Para napi dan mantan napi tidak tahu ke mana harus mengadu.

Semena-mena

Ketua Persatuan Narapidana Indonesia Rahardi Ramelan, yang dihubungi, mengatakan tindakan tersebut merupakan perbuatan semena-mena dari aparat Pengadilan Jakarta Pusat dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

"Kasus seperti itu sudah sering terjadi. Saya sendiri harus mengambil sendiri kasasi ketika beperkara. Kalau tidak, paling cepat dua atau tiga minggu baru bisa diterima terpidana. Negara seharusnya membina narapidana dan bukan mempersulit mereka keluar setelah menjalani masa tahanan," papar Rahardi Ramelan. (Ong)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/20/metro/3932382.htm


Selasa, 16 Oktober 2007

Hak Narapidana Tertentu Dibatasi

Ditjen Pemasyarakatan Keluarkan Surat Edaran

Jakarta, Kompas - Pemberian remisi atau pengurangan hukuman bagi narapidana tindak pidana tertentu, seperti korupsi, teroris, bandar atau produsen narkotika dan obat-obatan terlarang, pelaku makar, pembunuhan massal, penyiksaan, penghilangan orang, pembalakan liar, penjualan orang, kejahatan dunia maya, dan pencucian uang, dilakukan dengan lebih ketat.

Bahkan, untuk remisi khusus Idul Fitri 2007, bagi narapidana (napi) baru tindak pidana tertentu belum menerima remisi jika belum menjalani sepertiga dari masa pidananya. Padahal, dengan aturan sebelumnya, napi baru tindak pidana tertentu bisa menerima remisi yang sama dengan napi kejahatan umum, yaitu setelah minimal enam bulan menjalani masa pidana.

Pembatasan hak napi kejahatan tertentu itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Untung Sugiyono tertanggal 5 Oktober 2007. SE itu adalah petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP itu adalah perubahan dari PP Nomor 32 Tahun 1999.

Nurdin Halid, terpidana kasus korupsi penyaluran minyak goreng Bulog, termasuk yang tidak mendapatkan remisi Idul Fitri 2007. Nurdin baru masuk Rumah Tahanan Salemba pada 18 September 2007 setelah Mahkamah Agung (MA) memvonisnya bersalah melakukan korupsi.

Menurut Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Akbar Hadiprabowo kepada Kompas, Minggu (14/10), pelaksanaan PP No 28/2006 ini baru dilaksanakan pada Idul Fitri 2007 karena tahapan sosialisasi PP itu baru selesai. "Pemberian remisi bagi napi baru tindak pidana tertentu sekarang harus seizin Dirjen Pemasyarakatan. Sebelumnya cukup Kepala Kantor Wilayah Dephuk dan HAM," paparnya.

SE Dirjen Pemasyarakatan itu baru diberlakukan pada pemberian remisi khusus Idul Fitri tahun ini. Pada poin kedua disebutkan, napi dengan kasus tertentu yang akan mendapat remisi pertama kali harus berkelakuan baik dan sudah menjalani sepertiga masa pidananya.

Pada poin ketiga disebutkan, bagi napi yang sudah memperoleh remisi tahun ini, yaitu remisi umum 17 Agustus 2007, tetap mendapat remisi dengan penilaian kelakuan baik yang sangat ketat atau selektif. Remisi diusulkan Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kepala Rutan kepada Ditjen Pemasyarakatan melalui Kepala Kanwil untuk mendapatkan persetujuan menteri.

PP No 28/2006 yang menjadi acuan SE Ditjen Pemasyarakatan memang lebih ketat dibandingkan dengan aturan sebelumnya. PP itu dimaksudkan sebagai peninjauan ulang pemberian remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat bagi napi yang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian besar bagi negara atau masyarakat atau korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat.

Misalnya, remisi bagi napi yang dipidana melakukan tindak pidana tertentu baru diberikan bila telah menjalani sepertiga masa pidananya. Bagi napi dengan kejahatan umum, ketentuan ini tidak berlaku.

Selain itu, pemberian asimilasi bagi napi dengan tindak pidana tertentu juga dilakukan jika napi itu telah menjalani dua pertiga masa pidananya. Napi dengan kejahatan umum bisa diberikan asimilasi kalau telah menjalani setengah dari masa pidananya. Selain itu, napi dengan kejahatan tertentu juga tidak diberikan hak lain, seperti yang diterima napi dengan kejahatan umum.

Tidak manusiawi

Ketua Umum Persatuan Napi Seluruh Indonesia (PNSI) Rahardi Ramelan menilai, keluarnya PP No 28/2006 itu merupakan tindakan yang tidak manusiawi terhadap napi. PNSI akan mengajukan protes pada Menteri Hukum dan HAM.

"Ada dua alasan, yaitu pertama di KUHP disebutkan barangsiapa, artinya semua orang, tidak ada diskriminasi apakah dia koruptor, teroris, atau lainnya. Kedua, napi ini sudah dihukum oleh pengadilan, kenapa sekarang dihukum dua kali, yaitu oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya bertugas membina dan mengembalikan napi ke masyarakat. Itu konsep pemasyarakatan. Bukan malahan memperpanjang pemidanaan," kata Rahardi lagi. (VIN)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/16/Politikhukum/3918177.htm

BANG NAPI UDAH BALIK DARI MUDIK dan NULIS LAGI DEH

Episode : BANG NAPI TERKEJUT-KEJUT

BANG NAPI udah balik lagi dari mudiknya yang dipercepat, karena berita dunia sekitar pernapian terjadi GONJANG-GANJING, ratusan ribu napi diseluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia berduka cita, dengan berlakunya Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Untung Sugiyono tertanggal 5 Oktober 2007.

SE itu adalah petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP itu adalah perubahan dari PP Nomor 32 Tahun 1999.

Pemberian remisi atau pengurangan hukuman bagi narapidana tindak pidana tertentu, seperti korupsi, teroris, bandar atau produsen narkotika dan obat-obatan terlarang, pelaku makar, pembunuhan massal, penyiksaan, penghilangan orang, pembalakan liar, penjualan orang, kejahatan dunia maya, dan pencucian uang, dilakukan dengan lebih ketat. Mengapa hal ini bisa terjadi...... dan harus terjadi.....?????

Ditengah-tengah kemacetan lalu lintas dan kepadatan arus penumpang di kereta api ekonomi, Bang Napi sedikit bernostalgia sambil duduk selonjor dilantai kereta api, Dulu di Penjara Bang NAPI juga tidur sambil berdiri, segala sesuatunya menderita sekali didalam penjara, kecuali satu saja yang sangat enak didalam penjara, yaitu tidak pernah terjadi KEMACETAN LALU LINTAS..... LALU LINTAS didalam penjara AMAN TERKENDALI...he...he...he.... ternyata hidup diluar juga menderita ya..., walah kalau begini apa harus mati aja.....yach...?

Dut....bret...dut.... bau apek dan jengkol kampung dari angin pantat knalpot seorang penumpang, menyadarkan BANG NAPI dari nostalgia gilanya...itu, memang kadang-2 kentut busukpun dapat membuat orang terjaga dari kegilaannya dan sadar bahwa dirinya masih hidup.... Walah....walah... KENTUT kok menyadarkan, ya inilah sekedar ironi kehidupan dikelas ekonomi kereta api Indonesiaku tercinta.

Kebahagiaan hanyalah milik segelintir masyarakat, sedangkan jutaan masyarakat kita, masih dalam penderitaan yang sangat dalam, didesapun panen gagal, didesapun tenggelam karena lumpur dan banjir, terjadi bencana alam dimana-mana, masyarakat pesisir pantaipun takut pulang karena ombak pantai menurut ramalan BMG akan setinggi 4 meter, masyarakat di hutanpun, harus sedia air dan payung, karena kalau tidak hutannya terbakar, maka ya hutannya menjadi gundul.....

Sangat IRONIS sekali kehidupan Indonesiaku tercinta ini, air mata, peluh keringat, cucuran darahpun dari masyarakatku, hanyalah menjadi KOMODITAS POLITIS saja para penguasa, para politisi wakil rakyat di DPR dan para-2 yang lain yang selalu mengatas namakan rakyat didalam bersuara.

"Demi" dan sekali lagi "Demi" tidak menyakiti hati rakyat, maka para narapidana tertentu akan dipersulit pemberian remisinya dengan keluarnya Surat edaran dirjen sebagai petunjuk pelaksanaan dari PP No.28 tahun 2006.

Apakah mereka lupa siapa narapidana ini, karena mereka-meraka yang sekarang duduk dikursi empuk dan mewah pemerintahan atau duduk sebagai wakil rakyat... Bapak Presiden, Bapak wakil Presiden, Para Menteri dan para Wakil rakyat di MPR dan DPR... kami para narapidana dan mantan narapidana ini adalah juga RAKYAT INDONESIA, yang juga ikut memilih Bapak-2 yang terhormat, bahkan Bapak-2 sebelum terpilihpun datang pada kerajaan kami yaitu PENJARA, dengan segala janji-janji manis agar kami tetap menggunakan hak pilih kami yang sudah hampir kami lupakan saat itu.

Coba mari kita kalkulasi bersama, kalau ada 1 juta napi di indonesia ini, kemudian dikalikan dengan jumlah anggota keluarganya, baik secara langsung maupun tidak, maka berapa suara yang didapat didalam pemilihan baik mulai tingkat bupati sampai Presiden....., suara ini menurut BANG NAPI, bahwa NAPIpun adalah anggota masyarakat Indonesia yang sedang menjalani pembinaan oleh negara karena kesalahannya ( Ini Asumsinya lho, padahal banyak juga NAPI korban dari Aparat penegak Hukum itu sendiri yang sekarang juga sedang membasmi kejahatan secara tebang pilih demi pelaksanaan tugas penguasa dan mengatasnamakan hukum dan UU ).

Hukum itu milik Rakyat, Hukum bukan milik Pemerintah atau penegak Hukum atau juga bukan milik Menteri Hukum dan HAM..... HUKUM dilaksanakan agar terdapat kepastian hukum, bukan pesanan politis, bukan untuk tebar pesona, agar mengobati rasa keadilan masyarakat ( masyarakat yang mana... ya...? ).

Mengapa BANG NAPI berpendapat sekeras ini, ini tidak lain, karena berapa kali dalam pemerintahan selalu terdapat perubahan-perubahan Peraturan Pemerintah, Keputusan menteri, Surat keputusan Dirjen, bahkan ganti menteri dalam satu departemenpun, akan menyebabkan PP atau KEPMEN atau SK DIRJEN menjadi berubah, bahkan perubahannyapun bertentangan dengan Undang Undang yang diatasnyapun diabaikan dan tidak dihiraukan sama sekali, yang penting adalah KEPENTINGAN POLITIS mereka sudah dapat dijalankan dengan mengatas namakan rakyat..... Naudzubillah min dhalik.....

Semangat Menteri Hukum dan Ham yang baru, dengan merubah paradigma " AGAR TIDAK MEMELIHARA NAPI SELAMA MUNGKIN DI PENJARA ", dengan keluarnya Kepmen baru perihal pengaturan pembebasan bersyarat, assimilasi dan cuti mengunjungi keluarga, sehingga dengan rumusan baru ini akan mengurangi over kapasitas di Penjara ( krn over kapasitas adalah penyebab banyak hal yang negatip di penjara dan juga akan menyebabkan pembiayaan oleh negara yang seharusnya tidak perlu ), tapi sekarang menjadi berubah kembali dengan keluarnya SURAT EDARAN DIRJEN ttg Pemberlakuan PP. No.28 tahun 2006 ( era Menteri Hamid Awalludin dan sekarang udah era Menteri Andi Mattalata ).

Kemana aja ya PP No.28 tahun 2006 selama ini....? kalau melihat aturannya harusnya mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.... ya kenapa harus diberlakukan setelah satu tahun kemudian...? ada apakah ini...?, apa benar karena membuat juklaknya...?, masak sih buat juklak aja butuh satu tahun...yang bener aja...?, Kenapa Menteri lama yang membuat dan Dirjen Lapas yang lama tidak memberlakukan.... peraturan pemerintah yang dibuat dieranya....?, Lha kenapa sekarang keluar Surat Edaran Dirjen baru, yang menyatakan PP tersebut berlaku....?, padahal Menteri dan Dirjen juga baru menjabat belum 1 tahun...?, Apakah Menteri dan Dirjen yang baru ini lebih Pinter sehingga lebih cepat memberlakukan PP itu.....?, ataukah Menteri dan Dirjen lama itu.... bodoh ya, hanya bisa membuat tapi tidak dapat memberlakukan...? Ada apa ya....? Mengapa ya....?

Duuuuut.....duuut..... walah walah kentut busuk ini lagi, yang membuat sadar BANG NAPI..... udahlah BANG NAPI tidak usah banyak bertanya, udahlah BANG NAPI tidak usah banyak Komentar, udahlah BANG NAPI bilang tuh kepada seluruh NAPI di PENJARA.. terima aja... itu Surat Edaran Dirjen, emangnya kamu semua NAPI bisa apa sich, tolong juga BANG NAPI bilang ama mereka ya... dan ingatkan mereka, jangan banyak protes.., nanti bisa-bisa di NUSA KAMBANGKAN lho.. baru tahu rasa.., putus asa, putus asa deh kamu para NAPI di Indonesia, untung-2 aja ndak sekalian ditembak mati atau ndak dikasih makan ama pemerintah.......,

Yach apaboleh buat.... BANG NAPI keluar dari Kereta Api dengan langkah Gontai dan berurai air mata kepiluan hatinya... berucap lirih dalam hati,

YA ALLAH SADARKAN ORANG-2 YANG TELAH BERBUAT DHOLIM siapapun dia, AMPUNI DOSANYA, BUKALAH MATA HATINYA, BAHWA KEBENARAN itu BUKAN MILIKNYA, KEKUASAAN itu juga BUKAN MILIKNYA, semuanya itu HANYA AMANAH dan RAHMATMU YA ALLAH......,

KEBENARAN YANG HAKIKI adalah MilikMU Ya ALLAH...... Tunjukkanlah Pemimpin-2 kami, bukakanlah hati dan matanya agar dapat melihat kebenaran itu adalah mutlak milikMU Ya Allah, jangan jadikan kesombongan dan kebutaan Nurani para Pemimpin-2 ku ini petaka untuk negeriku Tercinta ini.

Ya Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Adil, berilah kesadaran, kesabaran dan ampunan bagi saudara-saudaraku para NAPI dan Mantan Napi agar didalam hati dan nalar bertindaknya tetap mengikuti segala perintah dan aturan Mu ya Allah, karena aku yakin Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Kasih, tidak ada seorang umatpun yang akan masuk SURGA, kalau bukan karena IMANnya dan RAHMATMU ... YA ALLAH.

PENJARA bukan halangan untukku aku, napi dan mantan napi di duniamu ini untuk tidak beriman kepada MU Ya Allah....., Engkaulah Yang Maha Mendengar, YA ALLAH... kabulkan permohonan doaku ini... AMIN,,,, YA ALLAH YANG KAMI KASIH.

Oleh-oleh BANG NAPI dari Desa Penderitaan Duniawi



Sabtu, 06 Oktober 2007

BANG NAPI MUDIK DULU YA


MAAF... PARA PEMBACA YANG TERHORMAT, BANG NAPI MAU MUDIK DULU YA........ MAU LEBARAN JUGA DONK, MAKA UNTUK ITU,

BANG NAPI MENGUCAPKAN MOHON MAAF LAHIR & BHATIN, KALAU SELAMA INI DALAM MENULIS, BANYAK KESALAHAN YANG DISENGAJA ATAU TIDAK DISENGAJA, MENYINGGUNG ATAU SEDIKIT MENGGORES NURANI BAPAK-2 SIPIR PENJARA atau BAPAK MENTERI HUKUM dan HAM dan JUGA JAJARAN DIREKTORAT LEMBAGA PEMASYARAKATAN....

DAN TAK LUPA UNTUK PARA TERPIDANA atau MANTAN NARAPIDANA DISELURUH INDONESIA, BANG NAPI UCAPKAN

TAQOBALLALAHU WA MINNA WA MINKUM, MOHON MAAF LAHIR & BHATIN dari HATI NURANI YANG TERDALAM......







Senin, 01 Oktober 2007

Ihwal Hak Politik Mantan Napi

Oleh: Mulyana W Kusumah

Dalam pembahasan RUU Pemilu pekan lalu dikabarkan dua parpol besar yakni Partai Golkar dan PDI-P mengusulkan agar bekas narapidana lima tahun tidak kehilangan hak menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD, dengan alasan penegakan hukum di Indonesia belum bisa dipertanggungjawabk an secara politik.

Bahkan lebih jauh, anggota Pansus RUU Pemilu, Agun Gunandjar Sudarsa (FPG) – yang juga mempunyai otoritas akademik sebagai Ketua Ikatan Alumni Kriminologi – mengusulkan agar larangan itu hanya berlaku bagi calon yang sedang menjalani hukuman pidana. Menurut Agun, tidak ada alasan melarang seseorang yang sudah selesai menjalani hukuman dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD atau DPRD.

Gagasan parpol besar tersebut, pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan rumusan dalam Pasal 60 huruf i, UU 12/2003 mengenai Pemilu, Anggota DPR, DPD dan DPRD – yang mensyaratkan calon anggota DPR, DPD dan DPRD tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Rumusan tentang hal itu dalam RUU Pemilu, mengalami perubahan menjadi “tidak pernah dijatuhi hukuman penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 ( lima ) tahun atau lebih.”

Sejumlah perundang-undangan di Indonesia yang mengatur persyaratan untuk calon pejabat publik atau pejabat negara mencantumkan rumusan serupa.

Undang-undang 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, misalnya, dalam Pasal 6 huruf t mencantumkan syarat calon Presiden/Wakil Presiden, tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Rumusan di atas, tidak berubah dalam RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Pasal 58 huruf f, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, juga harus memenuhi syarat tersebut.

Rumusan yang sama juga mengemuka dalam Pasal 11 huruf j, UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, sebagai syarat calon anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, serta dalam Pasal 86 huruf j sebagai syarat calon anggota Badan Pengawas Pemilu, Panwaslu Provinsi, Pawanslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan serta Pengawas Pemilu Lapangan.

Melanggar Konstitusi
Rumusan-rumusan dalam sejumlah perundang-undangan di atas jelas melanggar hak-hak konstitusional warga negara, sebab seorang narapidana yang telah menjalani pidana adalah warga negara bebas, mempunyai hak sama dengan warga negara lainnya yang tidak pernah menjalani pidana (penjara).

Secara utuh, hak-hak konstitusional warga negara para mantan napi harus dipulihkan. Dengan begitu, hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 tetap melekat pada mantan napi.

Sekadar mengingatkan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali. Atau lebih tegas lagi, dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum, juga Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945 yang memuat, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Rumusan-rumusan restriktif atas hak-hak konstitusional warga negara yang dipaparkan di atas, jelas merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam UU Hak Asasi Manusia.

Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas dan rahasia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, juga dalam pasal 43 ayat (3), disebutkan bahwa setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Perumusan, pemuatan serta pelaksanaan pasal-pasal restriktif terhadap mantan napi, tentu saja dapat dikategorikan pelanggaran hak-hak asasi manusia sebagai mana dinyatakan dalam Ketentuan Umum angka 6, UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni: setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme yang berlaku.

Kontra Reformasi
Lebih jauh lagi, hal tersebut mencerminkan sebuah arah politik “kontra reformasi,” di tengah perkembangan hukum progresif yang pada akhir tahun 2005 yang lalu telah menghasilkan UU 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.

Dalam tulisan ini, tidak perlu terlalu jauh dibahas mengenai pemikiran-pemikiran penologi dan kriminologi kontemporer yang sudah jauh meninggalkan pemikiran-pemikiran “ultra konservatif” mengenai penghukuman sosial yang berlanjut terhadap mantan narapidana – yang terus dikucilkan dari masyarakat melalui stigmatisasi dan penghilangan hak-hak fundamentalnya sebagai warga negara.

Jaminan hak-hak warga negara secara utuh yang termuat dalam UUD 1945 serta sejumlah perundang-undangan hak asasi manusia yang diuraikan di atas, tidak perlu harus ditegaskan kembali melalui permohonan pengujian Undang-undang ke Mahkamah Konstitusi oleh pihak mantan napi yang hak konstitusionalnya dirugikan. Ini akan menguras dana serta enerji politik. Jika rumusan restriktif dalam undang-undang itu, kemudian oleh Mahkamah Konstitusi, dinyatakan bertentangan atau melanggar UUD 1945, sehingga harus diamandemen, akan menguras tenaga. Terlalu jauh kalau kita kaitkan bahwa negara tercinta ini pada awalnya didirikan oleh para pahlawan, banyak di antaranya adalah mantan narapidana.

Akan lebih baik jika para elit politik pembuat undang-undang sejak awal menunjukkan tanggung jawab politik dengan merumuskan pasal-pasal yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan perundang-undangan hak asasi manusia.


* Penulis adalah Sekjen Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI)