Kamis, 14 Juni 2007

KOMNAS Temukan Pelanggaran HAM di LP

Narapidana,

Jakarta, Kompas - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menemukan adanya pelanggaran HAM di lembaga pemasyarakatan terkait keterlambatan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan. Lambatnya eksekusi berefek pada hilangnya hak napi memperoleh remisi dan mundurnya jadwal pemberian asimilasi serta pembebasan bersyarat.

Hal itu dikemukakan Ketua Subkomisi Perlindungan Hak Sosial dan Politik Komnas HAM, Lies Soegondo, Rabu (13/6), saat menemui perwakilan Persatuan Narapidana Indonesia (Napi). Persatuan Napi diwakili aktor senior Roy Marten dan mantan Wakil Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sussongko Suhardjo. Keduanya adalah juru bicara Napi. Ketua Persatuan Napi saat ini dijabat Eurico Gutteres.

Menurut Lies, Komnas HAM telah meneliti beberapa LP selama lebih kurang 1,5 tahun. Ternyata, banyak tahanan yang belum dieksekusi meskipun putusan hakim sudah berkekuatan hukum tetap. "Kalau terlambat pelaksanaan eksekusi, dia tetap sebagai tahanan. Statusnya belum menjadi napi. Dengan demikian, dia belum dapat menerima remisi karena statusnya belum menjadi napi," ujar Lies.

Menurut Lies, lambatnya pelaksanaan eksekusi disebabkan lambatnya salinan putusan diterima jaksa. Kaitannya dengan hal tersebut, ia telah berbicara dengan Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Sementara itu, Persatuan Narapidana Indonesia mengadu ke Komnas HAM karena tidak diberikannya hak-hak napi, seperti pembebasan bersyarat dan asimilasi sesuai ketentuan perundangan.

Menurut Sussongko yang divonis 19 bulan penjara terkait kasus suap di lingkup KPU, saat ini ada paradigma untuk menghukum napi lebih lama.
Hal tersebut, kata Sussongko, tercermin dalam tiga Surat Edaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang pembebasan bersyarat dan asimilasi. Surat edaran itu menghilangkan sepertiga masa tahanan dan sepertiga remisi dalam penghitungan pembebasan bersyarat dan menghilangkan setengah masa tahanan dan remisi dalam penghitungan asimilasi.

"Kami cuma ingin hak napi diberikan sesuai dengan UU," ujar Sussongko.
Lebih jauh Sussongko menceritakan pengalamannya. Saat masih berada di penjara, Sussongko pernah menerima surat putusan memperoleh asimilasi. Namun, SK tersebut tidak pernah dilaksanakan sampai masa pidananya berakhir.

"Tidak pernah ada alasannya. Di penjara itu semua tidak ada alasannya," ujar Sussongko.

Ia menambahkan, hal serupa juga dialami napi yang lain. Padahal, jika pembebasan bersyarat dan asimilasi dilaksanakan sesuai ketentuan, kata dia, dapat berdampak pada pengurangan jumlah penghuni. Berkurangnya penghuni LP akan menyebabkan berkurangnya pungutan terhadap napi. (ana)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/14/Politikhukum/



0 komentar:

Posting Komentar