PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Team Futsal Narapidana Indonesia

Buktikan Sportivitasmu dan Buktikan Kamu Mampu, Semboyan olaharaga Narapidana Indonesia dalam rangka Pembinaan Kepribadian

Senin, 27 Agustus 2007

PEMASYARAKATAN, Antara CITA-CITA dan REALITA

Sudut Pandang Narapidana di LP Cipinang

PENDAHULUAN
Mengalami proses penyidikan sebagai tersangka di Kejaksaan Agung dan pengadilan di PN Jakarta Selatan, serta proses banding di Pengadilan Tinggi dan Kasasi serta Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung pada tahun 2002 – 2006, bisa mendapatkan gambaran sepintas apa yang telah terjadi dalam peradilan kita.

Kemudian pengalaman menjadi penghuni LP Cipinang sebagai tahanan Kejaksaan Tinggi dan Pengadilan Negeri pada tahun 2002 selama 69 hari dan sebagai narapidana pada tahun 2005/2006 selama 13 bulan, telah memberikan pengertian mengenai kehidupan di penjara beserta segala masalahnya. Interaksi dengan narapidana lainnya dengan berbagai kasus dan jenis hukuman makin melengkapi pengetahuan mengenai keadaan peradilan kita.

Masalah pemasyarakatan tidak bisa terlepas dari proses peradilan sebelumnya, dan juga tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat umumnya.
Berbagai isyu yang menyelubungi peradilan kita seperti masalah suap, rekayasa, intervensi penguasa dan lainnya, akhirnya akan bermuara di Lembaga Pemasyarakatan.

Dengan meningkatnya penanganan masalah kasus korupsi oleh KPK dan Tastipikor juga membawa dampak yang signifikan dalam proses peradilan dan kehidupan di Lapas.
Apa yang terjadi di Lapas harus dilihat dari falsafah (konsep) mengenai pemasyarakatan yang dicetuskan oleh DR. Sahardjo pada tahun 1962, dan kemudian ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964

CITA – CITA
Peradilan
Pentahapan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa institusi yang terpisah dan independen, harus diartikan bahwa ingin diciptakannya proses check and balance dalam pelaksanaannya. Pantahapan mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan (pengadilan) dan akhirnya pemidanaan merupakan proses agar seseorang mendapatkan keadilan yang sesungguhnya. Proses inipun diharapkan akan menjamin seseorang atau “barang siapa” dapat kembali ke masyarakat dan lingkungannya dengan baik.

Narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan hanya merupakan bagian kecil dari mereka yang melakukan pelanggaran atau melawan hukum, sebagian besar dari mereka berada didalam masyarakat dan menikmati kebebasan. Apalagi dengan berkembangnya ketidak adilan, rekayasa, dan pengaruh kekuasaan (uang dan penguasa) dalam proses peradilan, menyebabkan sebagian penghuni Lapas bukanlah mereka yang seharusnya menjalani hukuman. Kesemrawutan proses peradilan dan politik tersebut akhirnya menjadi tanggung jawab Lapas.

Dengan berkembangnya sistem peradilan kita, yang juga menempatkan Kejaksaan kedalam tugas penyelidikan dan penyidikan untuk menangani kasus subversi, ekonomi dan korupsi, dan kemudian ditambah dengan dibentuknya KPK dan TASTIPIKOR untuk menangani kasus-kasus korupsi, maka sistem check and balance dalam tahapan peradilan kita menjadi tidak terwujud dengan baik.

Selain tempat tahanan di Kepolisian, mulai Polsek sampai Mabes, berkembang juga ruang-ruang tahanan di Kejaksaan, termasuk Kejaksaan Agung. Dengan alasan yang berbeda masing-masing institusi mempertahankan “orang-orang tertentu” tetap berada dalam tahanan mereka, terkadang memasuki masa pemidanaan.

Contohnya kasus-kasus KPU, BNI, Jamsostek, Suap polisi dan yang lainnya, menimbulkan banyak pertanyaan. Kesemua ini menimbulkan semakin berkurangnya arti “sama dimuka hukum” atau arti “barang siapa”. Terjadilah istilah-istilah “tebang pilih” atau dijadikannya seseorang sebagai “ATM”. Kesemua ini menambah perasaan “sakit hati” bagi penghuni Lapas.

Pemidanaan
Keadaan di Lapas tidak terlepas dari proses sebelumnya. Terjadinya diskriminasi terhadap “barang siapa” untuk ditahan ditempat yang berbeda. Istilah tahanan “jelas” dan “tidak jelas” pun menjadi populer. Masing-masing tempat penahanan berusaha untuk mendapatkan penghuni “jelas”, untuk bisa membiayai keperluan institusinya dan dijadikan sebagai “ATM”. Terpidana bukan saja berada di Lapas, tetapi juga berada di tahanan Kejaksaan Agung atan Kepolisian. Disisi lain Lapas juga dijejali dengan tahanan baik dari Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan. Keadaan demikian makin memperparah keadaan di Lapas, dan menjauhkan Lapas dari cita-cita “pemasyarakatan”.

PEMASYARAKATAN
Kalau kita akan membahas pengelolaan atau manajemen Lapas, kita harus berangkat dari Konsep Pemasyarakatan yang ditetapkan pada tahun 1964. Dari 10 prinsip pemasyarakatan, ada 5 hal yang saya anggap penting

o Satu-satunya hukuman adalah kehilangan kemerdekaan bergerak
o Pemidanaan bukan upaya balas dendam negara
o Tidak diasingkan dari masyarakatnya
o Tidak boleh lebih buruk atau jahat dari semula
o Narapidana juga manusia

Untuk melaksanakan ini berbagai peraturan perundangan kolonial yang sudah tidak sesuai, dipebaharui dan disesuaikan melalui berbagai Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri maupun Keputusan Dirjen.

Baru kemudian lahir Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tetang Pemasyarakatan. Dalam prakteknya, setelah diundangkannya UU 12/1995, masih banyak peraturan pelaksanaannya menggunakan peraturan perundangan sebelumnya dan juga peraturan perundangan zaman kolonial. Pada tahun 1999 berbagai Peraturan Pemerintah telah dibuat.

Sampai akhirnya muncul PP 28 tahun 2006, yang merupakan pengukuhan Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan sebelumnya. PP 28/2006 dipandang dari kacamata narapidana kasus-kasus tertentu sangat merugikan. Apalagi dengan keadaan peradilan kita yang diragukan menegakkan keadilan yang sebenarnya. Dengan suasana “kegundahan” para terpidana yang demikianlah, Lapas harus dikelola.

LP KELAS I CIPINANG
Baik sebelum maupun sesudah ada gedung baru. LP Cipinang tetap saja penghuninya berjubel (sekitar 4000 orang pada bln Nopember 2006). Setengahnya adalah tahanan titipan dari Kejaksaan (terutama yang “tidak jelas”) maupun Pengadilan.
Sisanya adalah narapidana, yang sebagian besar (70%) adalah mereka yang harus menjalani hukuman diatas 1 tahun, 29 % dengan hukuman antara 3 bln dan 1 tahun, sisanya SH dan MT. Mereka menjadi penghuni Cipinang dilatari kejahatan yang bebeda, pencurian, penipuan, perampokan, narkoba, terorisme, pembunuhan, HAM berat, sampai kejahatan ekonomi dan korupsi.

Mereka belum tentu bersalah, ada yang sengaja dijebak atau kejebak, tertangkap atau direkayasa karena keinginan kekuasaan ataupun tidak mempunyai uang.

Penghuni LP Cipinangpun sangat heterogen dilihat dari berbagai sisi. Pendidikan mulai yang buta huruf sampai Doktor atau Guru Besar. Intelektualnya yang sangat berbeda, mungkin dari IQ 90 sampai 140. Perbedaan ketrampilan, status sosial, suku dan lamanya hukuman menjadikan masyarakat LP Cipinang sangat heterogen. Muncul berbagai pengelompokan, yang merupakan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).

Dari sisi manajemen LP, jumlah staf, pegawai, dan petugas yang sangat terbatas tidak seimbang dengan jumlah narapidana. Struktur kepegawaian yang pincang, terutama kurangnya tenaga lapangan. Tidak memberikan kesempatan berkembang bagi pegawai non AKIP.

Pegawai yang mendapatkan pendidikan lanjutan, setelah selesai jarang mendapatkan tempat yang sesuai dengan keahliannya. Sifat dan prilaku organisasi yang otoriter dan militeristik menyebabkan tidak bekembanganya inisiatif dari bawah. Ditambah lagi dengan terbatasnya penghasilan dan tunjangan. Adanya tunjangan pemasyarakatan yang disebut tunjangan fungsional (bukan tunjangan fungsional yang sebenarnya) yang keliru, menyebabkan tidak mungkin berkembangnya jabatan fungsional lainnya (pranata komputer, dll).

Saat ini telah ditetapkan juga tunjangan risiko pekerjaan. Tetapi semua ini tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya di Jakarta. Banyak keputusan yang bekaitan dengan kewenangan Kalapas, ditarik keatas sampai tingkat Dirjen dan Menteri.

Walaupun kelihatannya seperti ada pendelegasian, tetapi yang didelegasikan bukan kewenangan tetapi tugas penanda tanganan.

Anggaran yang dialokasikan untuk operasional sangat terbatas, sehingga selalu diperlukan “partisipasi” narapidana dalam membiayai kegiatan tertentu, temasuk biaya operasional Lapas.

Hak seorang narapidana untuk mendapatkan kutipan keputusan, hanya bisa didapatkan dengan mengeluarkan biaya. Keputusan MA yang sering terlambat (kasus saya 10 bulan) sangat merugikan narapidana untuk mendapatkan hak-haknya.

Istilah hotel pordeo bagi LP dasarnya dudah tidak berlaku lagi. Berbagai kebutuhan dasar seperti perlengkapan kamar, makan, kesehatan, media-informasi, pendidikan harus dibiayai sendiri. Gedung baru yang mulai dioperasikan belum setahun, sudah terkesan kumuh. Pengamatan narapidana, gedung baru dibangun dengan konsep kembali ke penjara atau “boei”, jauh dari upaya pembentukan Lembaga Pemasyarakatan.

Kamar yang seyogyanya diisi 3 orang sekarang diisi 7 orang, yang untuk 5 orang diisi sampai 11 orang, dan yang untuk 7 orang diisi diatas 15 orang. Ruangan umum untuk narapidana bisa bersosialisasipun sudah dipadati oleh narapidana.

Fungsi beberapa ruangan lainnyapun sudah keliru sejak awal. Kamar mandi bersama yang dilengkapi sprinkle, sekarang dimanfaatkan menjadi kamar atau dapur (walaupun sebetulnya dapur digedung baru tidak diperkenankan), incinerator untuk sampah belum pernah dioperasikan, demikian juga generator back up berdiri seperti semula.

Sumber dan volume air yang dibangun baru, tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga beberapa buah sumur bor terpaksa sibuat disekeliling bangunan (tentu atas biaya penghuni). Kunjungan yang menjadi faktor penting dalam pemasyarakatan (tidak diasingkan dari masyarakatnya) terutama hubungan keluarga telah menjadi ajang rebutan kekuasaan dan penghasilan. Hubungan mesra (termasuk oral sex) antara narapidana dengan pasangannya tidak dapat dihindarkan, dan terjadi serta dilihat oleh orang sekitarnya, termasuk anak-anak.

Dengan dipasangnya kamera monitor diruang kunjungan, semua prilaku narapidana dan pengunjung dapat dilihat oleh para petugas di operation room. Kalau kunjungan kebutuhan biologis ini tidak diatur, maka kekerasan sexual antar sejenis akan terjadi.

Dalam reintegrasi sosial, peraturan perundangan telah mengatur berbagai ketentuan seperti remisi, asimilasi, CMK, PB, dan CMB. Tetapi berbagai peraturan yang mengatur prosedur pelaksanaanya sedemikian ruwetnya, sehingga hanya bisa berjalan kalau ada biayanya (surat jaminan, surat keterangan RT/RW/Lurah, Rapat TPP disemua tingkatan).
Keadaan demikian menimbulkan meluasnya budaya “imbalan”.

Kehidupan didalam LP merupakan sub-kultur yang susah dimengerti, tetapi harus dialami, dan merupakan refleksi keadaan diamasyarakat luas.

MANAJEMEN
Sampai sekarang (sekurang-kurangnya di LP Cipinang), penilaian terhadap kinerja manajeman LP ditetapkan oleh dua faktor yaitu ketenangan dan keamanan, serta tidak terjadinya pelarian. Faktor-faktor inilah yang menjadi perhatian utama manajeman, dengan mengenyampingkan berbagai peraturan seperti disiplin, pemakaian HP, pemakaian dan peredaran narkoba, menyediakan makanan sendiri dan lain-lain.

Banyaknya “keharusan” narapidana dapat menyediakan kebutuhannya sendiri, karena kemampuan ekonomi yang berbeda, telah menimbulan kesenjangan sosial, yang mengarah kepada terjadinya friksi sosial diantara penghuni. Inilah yang menimbulkan diperlukannya “uang keamanan” atau “uang gaul” diantara kelompok-kelompok narapidana.

Seyogyanya kinerja manajemen LP perlu dinilai dari keberhasilan proses pemasyarakatan itu sendiri. Misalnya jumlah narapidana yang melakukan asimilasi, apakah CMK, PB dan CMB dilaksanakan tepat pada waktunya. Sepengetahuan saya selama 2 tahun terakhir di LP Cipinang tidak ada yang menjalankan asimilasi. Pelaksanaan PB dan CMB molor dari waktunya.

Bagi saya sendiri misalnya, pengusulan mendapatkan CMK samasekali tidak ditanggapi, yang berarti ditolak.

Banyak hal lain yang masih dapat diungkapkan berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, bimbingan kerja dan lain lian. Mungkin bisa lebih fokus kita bahas dalam kesempatan lain.

PENUTUP
o Perbaikan atau revitalisasi manajemen Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari perbaikan sistem peradilan kita secara keseluruhan. Check and balance harus ditegakkan, agar sekurang-kuragnya “barang siapa” mendapatkan proses pengadilan yang fair.

o Lapas adalah muara dari proses peradilan, dan tempat yang paling lama akan dihuni oleh seorang narapidana.

o Pengaturan kembali penetapan rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, untuk tidak menimbulkan kecurigaan, perlakuan istimewa, atau kerugian bagi narapidana.

o Perbaikan kesejateraan pegawai dan petugas merupakan langkah penting untuk mengurangi budaya “imbalan”.

o Perbaikan atau perubahan manajemen di Lembaga Pemasyarakatan, tidak terbatas pada revitalisasi, tapi harus merupakan perubahan budaya atau “change”.

o Apakah konsep pemasyarakatan 1964 masih akan diterapkan dan dilanjutkan?

Jaharta, 25 Nopember 2006
Rahardi Ramelan
Mantan penghuni LP Cipinang
disadur kembali oleh http://napi1708.blogspot.com/

Jumat, 24 Agustus 2007

”Bebas Bersyahwat”

Penjara, maaf bahasa resminya Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas, mempunyai idiom-idiom yang lebih dipahami mereka yang berhubungan langsung, di antaranya istilah “bebas bersyarat” yang kini digencarkan.

Ada 7.000 napi yang mendapatkan prioritas ini,dan negara menghemat 34 miliar rupiah,di samping alasan penjara saat ini kelebihan penghuni. Menurut data resmi, untuk 2007 triwulan I, jumlah “anak didik”, idiom lain untuk napi di seluruh Indonesia berjumlah 118.453 orang,padahal daya tampung hanya 76.550 orang. Ada 41.903 orang sebagai penumpang gelap.


Inilah yang disebut kelebihan beban,“over capacity.” Negara bisa lebih berhemat lagi jauh lebih besar, jika tata krama yang tertulis resmi dijalankan. Meskipun ini bisa berarti pengurangan pendapatan para sipir atau birokrat yang menangani. Bebas bersyarat,on parole adalah kondisi di mana narapidana telah menjalani dua pertiga masa tahanannya, berkelakuan baik (tidak berbuat jahat selama di dalam penjara, tidak ketahuan memaksakan sodomi, tidak masuk daftar letter F), dan lulus dalam uji kelayakan, fit & properstestoleh para penguasa penjara.

Mereka yang lolos dan bebas, tidak sepenuhnya bebas karena sedikitnya sebulan sekali harus melapor ke kejaksaan dan ke lembaga pembinaan setempat. Kalau ada yang tidak benar,bisa kembali ke penjara alias tidak bebas lagi. Bagi para napi, idiom bebas bersyarat sering diartikan sebagai bebas bersyahwat karena itu merupakan kesempatan menyalurkan hasrat biologis yang tertahan selama ini. Sebetulnya, kalau tujuan menghemat uang negara dan menghindari kelebihan penghuni, bisa dipakai cara yang sangat sederhana.

Pertama, penyediaan data yang akurat. Dengan sebuah komputer,‘jangkrik’ sekalipun bisa didata, kapan seorang napi masuk, dan kapan keluar dengan menghitung masa hukumannya. Bisa terjadi secara otomatis sehingga kalau napi dinilai layak, bisa otomatis memperoleh kesempatan itu.

Memang ini memotong biaya administrasi sampai tingkat Kanwil, di mana restu ini menjadi resmi.Tak ada kesulitan sama sekali, dan tidak repot dalam menghitung—termasuk perkiraan grasi yang diterima,baik melalui kebaikan pemerintah setiap 17 Agustus,atau tambahan sepertiganya kalau ia berbuat baik, membantu sesama selama di dalam.

Kedua, mengenai kelebihan penghuni. Ini memang terjadi, terutama pada penjara-penjara “favorit”, di mana para penghuni mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Padahal, banyak daerah- daerah lain yang relatif kosong sehingga jalan keluar sederhana adalah dipindahkan—atau idiom para napi berlayar.

Ketiga,merupakan konsekuensi logis dari pendekatan sesuai dengan peraturan yang dijalankan apa adanya.Kita bisa menata kembali masalah-masalah yang sepele tapi bikin kecele, seperti pengaturan waktu besuk berapa lama, hari apa, berapa tiket resmi—meskipun tertulis gratis, napi harus menempati blok mana dan nomor berapa—nomor kecil menunjukkan napi yang sakti,kunjungan biologis yang manis, sampai dengan jam menu dihidangkan atau waktu untuk mandi.

Semua telah ada, semua telah baku, namun kadang membeku dan lebih ditentukan oleh hubungan pribadi. Kalau semua ini dijalankan, walau perlahan akan banyak yang diuntungkan. Sesungguhnyalah, realitas empiris memberi bukti bahwa perhatian untuk para napi amat sangat kurang—yang bisa dimengerti, meskipun kurang bisa dibenarkan.

Semua upaya tulus memberi kemudahan dan kesempatan para anak didik untuk menemukan harga dirinya adalah amal baik, apalagi dengan sikap simpatik. Menurut idiom para napi,jika diperlakukan sebagai anjing, mereka akan menggonggong.Jika diperlakukan sebagai kucing,mereka akan mengeong, dan jika diperlakukan sebagai manusia, mereka akan tertolong.Sekurangnya untuk menolong diri sendiri.(*)

Arswendo Atmowiloto
Pengamat Budaya
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/budaya/bebas-bersyahwat-3.html


Senin, 13 Agustus 2007

Pembebasan Bersyarat, Peluang Napi yang Sarat Arti

Fokus
[13/8/07]

Prinsip ‘memelihara napi selama mungkin di penjara’ sudah waktunya dihilangkan. Penjara sudah mengalami over-capacity. Rancangan KUHP mulai mengadopsi hukuman kerja sosial.

Pada 20 Agustus mendatang, genap sudah satu bulan Untung Sugiono menduduki kursi panas Dirjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Sederet pekerjaan rumah menumpuk di meja kerjanya. Salah satu pe-er yang dibebankan Menhukham Andi Matalatta adalah mengatasi kelebihan kapasitas penghuni lembaga pemasyarakatan (Lapas).

Kerisauan atas over-capacity Lapas sudah menjadi keprihatinan banyak pihak. Betapa tidak, kondisi demikian diyakini turut andil memicu terjadinya kekerasan di balik jeruji besi. Gonta ganti Menteri dan pejabat bidang pemasyarakatan, problem ini masih belum terselesaikan. Hingga, pekan lalu, para penghuni penjara yang tergabung dalam Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI), ikut bersuara. “Menhukham hendaknya segera mengakhiri prinsip memelihara napi selama mungkin di penjara,” tandas NAPI, lewat rilis ketuanya Prof. Rahardi Ramelan.

Mengakhiri prinsip ‘memelihara napi selama mungkin di penjara’, bagi NAPI, terkait dengan kelebihan kapasitas tadi. Semakin lama seseorang di penjara, semakin menambah jumlah penghuni penjara dan semakin menambah beban anggaran Pemerintah. Hukuman lama belum tentu menimbulkan efek jera. Buktinya, penghuni Lapas terus bertambah.

Dirjen Untung Sugiono sendiri mengaku tengah menyiapkan pilot project untuk menuntaskan problem kelebihan penghuni Lapas tadi, khususnya di kawasan Jabodetabek. Untung tak merinci lebih jauh seperti apa programnya. Yang jelas, salah satu langkah yang sudah dilakukan adalah menyebar napi dari Jakarta ke beberapa daerah yang kapasitas penjaranya belum terlalu penuh. Kebijakan ini juga dimaksudkan untuk meminimalisir aksi kekerasan di dalam penjara.

Sebaliknya, bagi NAPI, salah satu cara efektif mengurangi penghuni Lapas adalah mengefektifkan pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat adalah membebaskan seorang napi yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman.

NAPI meminta Pemerintah mengkaji ulang rumus pembebasan bersyarat, dengan memperhatikan pemotongan atas remisi. Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999, yang mengatur pemberian remisi bagi narapidana, sejatinya tak mengenal ‘pemotongan atas remisi’. Tetapi dalam praktek, papar NAPI, terjadi pemotongan 1/3 remisi yang diperoleh narapidana. Dengan kata lain, sepertiga masa remisi yang diperoleh napi dihilangkan.

Selama ini, rumus yang dipakai Dirjen adalah Pembebasan Bersyarat = 2/3 (Hukuman – Remisi). NAPI mengusulkan rumusan itu diubah menjadi Pembebasan Bersyarat = (2/3 x Hukuman) – Remisi. “Sepintas rumus itu hampir sama, namun jauh berbeda dan membawa implikasi yang luqas,” papar NAPI.

Pembebasan bersyarat
Usulan NAPI itu telah disampaikan kepada Pemerintah. Tinggal menunggu bagaimana keputusan akhir Pemerintah. Yang pasti saat ini, sebuah rancangan Perpres tentang Remisi masih terus digodok. Demikian pula peraturan organik lain tentang remisi seperti SK Menteri Kehakiman No. M.01.-PK. 04.10 Tahun 1999. Salah satu yang mendapat perhatian adalah pembebasan bersyarat.

Pembebasan bersyarat dikenal di hampir semua sistem peradilan pidana. Sistem hukum di Inggris dan Amerika Serikat mengenalnya dengan sebutan parole. Belanda menyebutnya vervroegde invrijheidstelling. Di Indonesia, istilah yang dipakai dalam perundang-undangan berbeda-beda, sebagian besar menggunakan istilah pembebasan bersyarat, kecuali Undang-Undang Kejaksaan yang menyebutnya dengan ‘lepas bersyarat’.

Secara umum, pembebasan bersyarat memberi hak kepada seorang napi untuk menjalani masa hukuman di luar tembok penjara. Syaratnya: hukuman yang dikenakan lebih dari sembilan bulan, sudah menjalani 2/3 masa hukuman, plus berkelakuan baik selama dalam masa ‘pembinaan’. Pasal 1 angka (7) PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menyimpulkan: pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan napi di luar Lapas setelah menjalani sekurang-kurang 2/3 masa pidana dari minimal 9 bulan. Intinya, yang berhak mendapat hak pembebasan bersyarat bukan napi yang divonis hukuman kurungan.

Dalam bukunya KUHP Serta Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, R. Soesilo menyebut pembebasan bersyarat bernilai edukatif, yaitu memberi kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya.

Tak semua napi yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman memperoleh pembebasan bersyarat. Ada syarat yang harus dipenuhi, plus trik tersendiri. Misalnya, sang napi sudah harus menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang dia lakukan. Selain itu, telah menunjukkan budi pekerti yang baik, mengikuti kegiatan pembinaan dengan tekun, selama masa pembinaan tak pernah ketiban hukuman disiplin.

Soal berkelakuan baik dan syarat normatif itulah yang menjadi ajang permainan. Penilai teknis di lapangan adalah para sipir, kepala sipir atau kepala penjara. Kenal dan dekat apalagi bisa mengambil hati para penilai akan sangat menentukan penilaian. Berbekal uang, kekuasaan dan ketenaran, seorang napi bisa lebih dekat dengan petugas dibanding napi kere. Budi pekerti sering diukur dari parameter hubungan simbiosis mutualisma tadi. Napi yang rajin ‘setor’ praktis lebih gampang mendapatkan nilai bagus pada Daftar Salinan F, yaitu semacam daftar disiplin napi yang diisi petugas penjara.

Napi perlu tahu prosedur
Tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang prosedur pembebasan bersyarat, atau pengacara tak menjelaskan, adalah kondisi yang menyulitkan napi. Kalau napi tidak mengajukan permohonan, tentu saja hak pembebasan bersyarat sulit didapat. Itu sebabnya, jumlah napi yang mendapatkan hak itu tidak terlalu membludak. Di LP Cipinang misalnya, pada tahun 2005 hanya ada 141 permohonan pembebasan bersyarat yang disetujui. Tahun berikutnya turun menjadi 43, dan hingga Maret 2007 sudah tercatat 26 permohonan pembebasan bersyarat. Padahal jumlah napi di LP Cipinang berjumlah ribuan. Bisa jadi, jumlah napi yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman tidak terlalu banyak.

Tetapi bisa pula karena napi tak paham betul mekanisme pembebasan bersyarat. Oleh karena itu, Ditjen Pemasyarakatan berencana mengubah mekanisme tersebut. Direktur Bina Bimbingan Kemasyarakatan Ditjen Pemasyarakatan, Mashudi, menegaskan usulan pembebasan bersyarat akan dibalik. Kalau dulu oleh napi, sekarang idenya dari Kepala Lapas. Selama ini pembebasan bersyarat, kata Mashudi, terkesan eksklusif, hanya diperoleh orang-orang yang mengajukan.

Dephukham memang mentargetkan pada tahun 2007 ini, sekitar 10 ribu napi akan mendapatkan hak pembebasan bersyarat. Rencana itu bukan hanya mengurangi penghuni penjara, tetapi juga bermanfaat secara finansial. Mashudi memberi contoh, pada 2006 lalu, negara bisa berhemat Rp22 miliar dari 5.700 napi seluruh Indonesia yang mendapatkan pembebasan bersyarat. Bayangkan, menurut Menhukham Andi Matalatta, untuk membangun Lapas baru berkapasitas seribu orang saja butuh anggaran sekitar 70 miliar rupiah.

Melihat kondisi demikian, sejumlah pihak mendesak perlunya pikir ulang tentang sistem pemidanaan. Prinsip menghukum pelaku kejahatan selama mungkin di dalam penjara perlu dikaji efektivitasnya. Para penyusun revisi KUHP sudah mulai mengakomodir gagasan itu dengan cara memperkenalkan hukuman pidana kerja sosial. Jadi, napi yang dihukum tak perlu harus dikerangkeng di dalam penjara. Bisa jadi mereka dihukum bekerja untuk masyarakat, membantu di panti-panti jompo misalnya. Tentu dengan pengawasan yang memadai. Siapa tahu jiwa kemanusiaan para napi tersentuh, sekaligus bisa beramal baik bagi sesama. Seperti kata anggota Komisi III DPR Akil Mochtar, napi tak semestinya selalu dipandang sebagai orang buangan....

(Mys/Mon/Rzk)

http://hukumonline.com/detail.asp?id=17359&cl=Fokus




Minggu, 12 Agustus 2007

[Renungan] Blog Napi

Siang ini saya merenung sendiri. Lagi ndak sibuk di kantor iseng-iseng buka internet, trus ngetik berapa kata di mesin pencari google ( yang paling sakti ma canggih ), tentang kehidupan narapidana di tanah air tercinta, malah dapat blog yang buaguus sekali. URL: http://napi1708. blogspot. com. Wah terus lupa semua deh. Daripada mumet mikirin kerjaan yang ndak ada habisna, mendingan baca blog ini sajalah...hehehe. Aseek buanget isina.

Ternyata hidup di bui itu ndak enaak buanget. Orang yang masuk bui itu sudah ndak dianggap manusia lagi. Ngenees buangeet nasib mereka, yang terpaksa harus menjalani hukuman di penjara. Dari maling kecil ( pencuri ayam ma jemuran ), koruptor kelas teri sampai kelas kakap, yang pelakuna kebanyakan menteri sama pejabat penting , seleb beken yang ganteng ma sekse yang pada kepergok pake narkoba, semua ngumpul disana. Kalau sampeyan mau tahu nasib mereka dalam penjara yang kumuh dan pengap , silahkan saja klik http diatas.

Kalau saya buat perbandingan. Penjara di Belanda itu ibarat hotel bintang lima dan penjara di Indo itu ibarat losmen yang kumuh. Cuma semua yang masuk sana, nasibna sama. Hidup terkekang ndak punya kebebasan lagi. Ndak bisa jalan-jalan kemana saja kita suka. Ndak punya hak lagi untuk hidup bermasyarakat yang normal. Ndak punya pilihan lain. Kudu nurut sama perintah sipir yang galak-galak dan wajib menjalani semua peraturan yang tertulis disana. Berat memang.

Jaman sudah berubah. Sejak ada internet orang pada tambah pinter dan kreatif. Sekarang siapa saja bisa bikin blog dan bisa nulis sepuasna disana. Sampai narapidana juga bisa ikut ngeblog. Hebat kan. Cuma yaitu kalau punya blog sendiri wajib diisi paling dikit sekali seminggu. Apalagi kalau blogna banyak dibaca orang. Dimanapun juga sampeyan berada. Dalam kondisi apapun juga, sampeyan harus terus menulis. Kalau ndak ya blognya hilang dan dilupakan pembacana. Makana saya lebih suka nulis disini, daripada bikin blog sendiri. Karena ndak jadi kewajiban dan sudah pasti ada yang baca..hahahaha.

Waktu nulis artikel ini saya tersenyum sendiri. Ndak terbayang kalau ada berapa pembokat di Jkt yang pinter dan tahu seluk beluk Pc terus pada ngeblog juga...hahahaha. Apa ya isina ? Mungkin pada ngerumpiin nyonya rumah yang galak dan cemburuan. Atau si bapak yang genit. Tentang beratnya kerjaan mereka dan gaji yang ndak pernah naik. Pembantu yang pinter masak bisa jadi akan mengisi blogna dengan aneka resep masakan dan cara bersih-bersih rumah dan ngepel secara kilat...halaah halaah. Saya harap pada suatu hari nanti saya bisa menemukan blog semacam ini. Yang berisi tulisan tentang suka dukana jadi pembokat, supir dan jongos di tempat orang kaya.

Saya harap semua member Soli mau berpartisipasi mengisi hp soli milik kita bersama ini, dan kalau ada kirim juga pic yang lucu-lucu buat hiburan yang segar dikala senggang. Dan buat semua member Soli yang ada diluar pager jangan lupa untuk ikut merayakan hari ulang tahun Soli bulan depan nanti. Dengan jalan beramal. Sumbanglah berapa saja sampeyan bisa untuk hari jadi Soli yang ketiga nanti. Untuk soal ini silahkan hubungi pak lurah Soli sendiri.

Kamis, 09 Agustus 2007

Dunia Pengap Orang Tersisih

Arswendo Atmowiloto bukanlah nama asing di dunia media dan sastra tanah air. Lelaki kelahiran Solo 26 November 1948 ini bernama asli Sarwendo. Arswendo merupakan salah satu penulis dan wartawan terbaik Indonesia.

Seniman eksentrik berambut gondrong ini memulai karier sebagai cerpenis. Dia menulis buku yang sangat populer Mengarang Itu Gampang. Bagi Arswendo, menulis dapat digunakan untuk membentuk rasa percaya diri.

Kepiawaiannya menulis dan menangani media semakin terbukti saat Arswendo menjadi redaktur majalah Hai. Lewat sentuhannya, majalah remaja ini menelurkan tokoh-tokoh idola kaum muda saat itu. Imung, Kiki, Senopati Pamungkas, dan Keluarga Cemara, bahkan tokoh Lupus yang ditulis Hilman Hariwijaya, tak mungkin jadi sedemikian hidup dan merakyat tanpa polesan tangan dingin Arswendo.

Kiprah Arswendo sebagai pengasuh dan pengelola media mencapai puncak pada tahun 1990-an saat memimpin redaksi Monitor, tabloid hiburan sangat laris. Menyundul angka penjualan hingga 700.000 eksemplar setiap terbit, rekor Monitor masih sulit disaingi media cetak lain hingga saat ini.

Karier Arswendo kemudian berbalik menikamnya saat Monitor didemo karena dianggap menghina agama Islam. Jajak pendapat mengenai orang yang paling dikagumi pembaca tabloid itu menempatkan Nabi Muhammad pada posisi ke-11, jauh di bawah Presiden Soeharto yang menempati peringkat pertama atau Iwan Fals yang menempati posisi ke-4.

Hasil jajak pendapat itu dianggap menghina Nabi Muhammad, yang kemudian dikaitkan sebagai penghinaan terhadap agama Islam. Demonstrasi menentang hasil jajak pendapat tersebut pun membawa hasil tidak mengenakkan. Monitor dibredel pada 23 Oktober 1990 dan Arswendo ditangkap tiga hari kemudian. Pada 23 Januari 1991 Arswendo Atmowiloto dijatuhi hukuman lima tahun penjara karena melanggar Pasal 156a Hukum Kriminal Indonesia.

Pengalamannya selama di pejara dituangkan dalam buku Menghitung Hari (Pustaka Utama Grafiti, 1993) dan Khotbah di Penjara (Subentra Citra Pustaka, 1994).

Dunia orang-orang tersisih, begitu pandangannya mengenai kehidupan di dalam penjara. Selain sanak saudara dan orang-orang yang memang berhubungan dengan penjara, menurut dia, tidak ada lagi yang peduli terhadap penghuni penjara. Bila tidak terpaksa, "Saya sendiri sebetulnya juga tidak mau tahu tentang kehidupan di dalam penjara," ujarnya.

Kehidupan orang-orang yang tersisih, serta perlakuan yang tidak layak, misalnya jatah makan yang hanya dua kali sehari, membuat kehidupan dalam penjara seperti memiliki aturan tersendiri. Ada aturan-aturan khusus yang dikemukakan melalui istilah-istilah khusus yang sulit dipahami orang yang baru masuk ke dunia itu, dan harus dipatuhi. Bila tidak, narapidana wajah baru bisa babak belur dihajar penghuni lama atau napi senior.

Agar dapat bertahan dengan kehidupan yang keras itu diperlukan kebesaran dan kerendahan hati untuk saling menghargai. "Mereka tidak peduli siapa saya atau si itu siapa. Di sana dunia luar tidak ‘bunyi'. Jadi, tergantung kelakuan kita di dalam," tuturnya.

Perlakuan tidak baik tidak hanya datang dari sesama napi. Meski mengakui ada penghuni penjara yang memalak, tindakan itu justru lebih sering dilakukan sipir. Selain uang, yang diminta paksa juga barang. Pemalakan oleh sipir biasanya dilakukan terhadap narapidana yang ingin mendapat perlakuan istimewa. Mulai dari fleksibelitas jam besuk hingga sel penjara yang lebih layak, bisa menjadi komoditas atau modal utama pemalakan oleh sipir. Pungutan liar itu sering kali memantik perselisihan antara sipir dan narapidana, hingga meletupkan kerusuhan di dalam penjara.

Saat menghuni penjara, Arswendo merintis bisnis produksi sandal yang ia kelola bersama para narapidana dan semua keuntungan dibagi rata. Sandal produksi narapidana itu berprospek bagus dan berhasil merambah konter pasar swalayan di Jakarta.

Namun warisan Arswendo Atmowiloto yang paling dihargai para narapidana di Cipinang adalah perpustakaan. Karena hal semacam itu belum pernah ada di penjara itu. Penghapusan hak bagi setiap narapidana membuat hidup mereka di dalam penjara bertambah berat. Ide-ide dan kreativitas pengarang novel Canting, Opera Jakarta, Senopati Pamungkas, serta penulis skenario film G30S PKI ini agaknya sedikit banyak dapat mengembalikan hak narapidana yang selama ini terampas dan dirampas. (E4)

Penulis: Rosmi Julitasari

http://www.vhrmedia.com/vhr-news/bingkai-detail.php?.g=news&.s=bingkai&.e=39


Kelebihan Kapasitas Penjara Sumber Masalah LP

9 Agustus 2007,Hukum, Republika Online

JAKARTA -- Kelebihan kapasitas (over capacity) lembaga pemasyarakat (LP) dinilai sebagian kalangan menjadi sumber masalah di seluruh LP di Indonesia. Kerusuhan massal di LP Cipinang, Jakarta, sepekan lalu juga dinilai pengamat lantaran penjara tersebut telah `kelebihan muatan'. ''Masalah di penjara Indonesia itu banyak sekali, tapi sumbernya adalah over capacity,'' ujar kriminolog Unversitas Indonesia, Adrianus Meliala, di Jakarta, Selasa (7/8).

Untuk mengerem arus masuk narapidana, Adrianus yang juga peneliti dari lembaga swadaya masyarakat kemitraan, meminta pemerintah segera mengatur manajemen kasus pidana. Menurut Adrianus, kelebihan kapasitas LP dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia karena manajemen kasus yang kurang baik dari aparat hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga hakim.

Lantaran sebagian besar peraturan perundang-undangan yang ada saat itu mengatur hukuman penjara bagi pelaku pidana termasuk pelaku pidana ringan, aparat hukum, kata Adrinus, seperti berlomba-lomba agar setiap tersangka dapat ditahan. Padahal, di banyak negara maju, lanjut Adrianus, sesorang baru ditahan setelah tiga kali melakukan tindak pidana ringan. ''Kami menyarankan tersangka yang diancam pidana lima tahun tidak dipenjara,'' tambah Adrianus.

Namun, dalam pembatasan pelaku pidana tidak dipenjara, menurut Adrianus, ada dua kriteria yang harus diperhatikan, yakni jenis kejahatan yang dilakukan dan berat hukuman yang harus dijalani. Dan sebagai pengganti pidana penjara bagi pelaku pidana ringan, Adrianus merinci setidaknya ada 14 alternatif hukuman mulai dari kerja sosial hingga membayar denda. Rekomendasi ini, lanjut Adrianus, akan dijadikan dasar dalam pembuatan cetak biru (blue print) pengelolaan penjara di Indonesia. Blue print pengelolaan LP tersebut nantinya akan diserahkan kemitraan ke Direktur Jenderal Pemasyarakatan Depkumham.

Dirjen Pemasyarakatan Depkumham, Untung Sugiyono, sepakat dengan usulan hukuman alternatif bagi pelaku pidana ringan. Untung menilai, pembatasan arus masuk narapidana sudah harus dijalankan untuk mengatasi kelebihan kapasitas LP dan rutan yang ada di Indonesia. Dari kapasitas 80 ribu penghuni LP dan rutan di bawah Depkumham, terang Untung, jumlah narapidana di Indonesia telah mencapai angka 150 ribu orang. ''Hukuman alternatif seperti kerja sosial mulai harus diterapkan aparat penegak hukum karena penjara sudah kelebihan kapasitas,'' kata Untung. (dri)

http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?menu=news&id=3673


Minggu, 05 Agustus 2007

REFORMASI PERADILAN PIDANA: SEGERA!

(Tulisan ini dimuat di Opini SUARA PEMBARUAN, 2 Agustus 2007)

Sepertinya kenyataan memaksa kita tidak habis-habisnya membicarakan masalah lapas (lembaga pemasyarakatan) di Indonesia. Belum selesai diskusi tentang ratusan narapidana yang meninggal di dalam lapas, sekarang kembali muncul kerusuhan. Untuk kesekian kalinya terjadi di dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia. Peristiwa kerusuhan terakhir di lapas Cipinang yang terjadi selasa 31 Juli 2007 bahkan
mengakibatkan dua narapidana tewas.

Sudah terlalu banyak diskusi, seminar, dan opini yang membahas persoalan lapas ini. Namun sepertinya berlalu begitu saja tanpa ada upaya signifikan untuk merubah kondisi yang sudah terlalu parah tersebut. Bahkan tidak pula dilakukan oleh otoritas yang paling bertanggung jawab dalam manajemen penjara di Indonesia (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan). Dengan alasan yang inkonsisten dari dahulu, seperti keterbatasan dana dan sumber daya manusia.

Masalah yang telah terlalu kronis ini tidak dapat dibiarkan begitu saja dengan menerima alasan keterbatasan dana dan SDM. Tanpa upaya menanggulangi sesegera mungkin, otoritas sistem pemasyarakatan di Indonesia justru melanggar komitmen dasar sistem pemasyarakatan itu sendiri. Kalau tidak boleh dikatakan telah melakukan kejahatan itu sendiri. Sering diulang, bahwa salah satu prinsip pemasyarakatan adalah tidak boleh membuat kondisi seseorang (narapidana) lebih buruk dari sebelumnya.

Di tengah kondisi ini diperlukan suatu upaya reformasi mendasar dan menyeluruh. Tidak hanya dalam sistem pemasyarakatan, namun dalam sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Kronisnya masalah penjara di Indonesia terkait pula dengan elemen-elemen peradilan pidana lainnya. Dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Untuk sistem pemasyarakatan, reformasi mendasar minimal dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah hal.

Pertama, reformasi dalam proses kebijakan pemasyarakatan. Hal ini terkait dengan komitmen penuh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) untuk mengambil kebijakan yang langsung tertuju pada penanggulangan begitu banyak masalah di dalam lapas. Beberapa yang mendesak adalah masalah kapasitas lapas, pemenuhan hak-hak narapidana, dan perbaikan kualitas manajemen lapas dan SDM-nya. Berbagai penelitian yang dilakukan terhadap permasalahan lapas konsisten memperlihatkan ketiganya sebagai masalah yang perlu segera diatasi. Dirjen Pas juga harus mulai beradaptasi dengan proses governance dalam kebijakan pemasyarakatan. Melalui pelibatan stakeholder-stakeholder lainnya di luar Dirjen Pas dalam pengambilan kebijakan. Seperti melibatkan lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan kalangan swasta.

Terkait dengan sebelumnya, hal kedua yang perlu dilakukan adalah reformasi dalam sistem pembinaan narapidana. Minimal membuat metode pemanfaatan waktu luang agar lebih bermanfaat bagi narapidana maupun lembaga. Sebagian ahli berpandangan relatif sulit untuk menciptakan sistem pembinaan yang dapat merubah perilaku narapidana. Pembinaan moral dan agama yang selama ini diberikan dalam lapas bahkan seperti sesuatu yang dipaksanakan.

Di tengah kondisi ini, Dirjen Pas dan stakeholder lainnya perlu menciptakan kegiatan-kegiatan narapidana yang lebih produktif dan mengisi sebagian besar waktu mereka selama berada dalam lembaga. Hal ini diharapkan mampu menurunkan deprivasi (penderitaan) psikologis yang dialami narapidana dan memberikan insentif tersendiri bagi mereka. Selain itu, sistem pembinaan juga perlu memperhatikan mekanisme reward dan punishment. Posisi narapidana yang subordinat terhadap lembaga tidak serta merta membuat mereka tidak mungkin mendapatkan penghargaan dari lembaga. Di sinilah pentingnya arti remisi dan bentuk-bentuk penghargaan lainnya.

Hal ketiga adalah reformasi paradigmatik. Pemasyarakatan harus dikembalikan kepada konsepsi dasarnya sebagai upaya reintegratif atau mengintegrasikan kembali pelaku kejahatan dengan masyarakatnya setelah terjadinya konflik berupa kejahatan. Upaya reintegratif ini amat bertentangan dengan paradigma menahan narapidana selama mungkin di dalam lembaga. Reintegrasi hanya mungkin terjadi bila ada pengkondisian dengan kembali menciptakan interaksi antara narapidana dengan masyarakat. Oleh karenanya, asimilasi adalah inti dari proses pemasyarakatan.

Permasalahan lapas berupa meningkatnya jumlah narapidana yang meninggal (baik karena sakit maupun bunuh diri), tidak terjaminnya hak narapidana, hingga kerusuhan juga ikut disumbangkan oleh elemen peradilan pidana yang lain.

Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini.:

Pertama terkait dengan persoalan internal lapas yang telah disinggung sebelumnya yaitu reformasi terhadap paradigma memenjarakan sebanyak mungkin pelanggar hukum pidana.

Kedua perlunya dikembangkan sejumlah penghukuman alternatif terhadap pemenjaraan.

Kepolisian sebagai ujung tombak peradilan pidana seharusnya dapat menjadi penyaring utama pelaku kejahatan yang akan diteruskan ke tahap peradilan selanjutnya. Terhadap pelaku remaja atau anak-anak misalnya, polisi dapat melakukan diskresi dengan pertimbangan kemanusiaan. Setidaknya terhadap kejahatan-kejahatan yang tidak terlalu serius. Hal ini tidak tertutup kemungkinan dilakukan terhadap pelaku dewasa.

Dua dampak positif yang kemudian muncul dari penyaringan ini adalah berkurangnya beban kapasitas lapas dan dapat dicegahnya first offender (pelaku kejahatan untuk pertama kalinya) menjadi residivis (karir kriminal) setelah berinteraksi dengan narapidana lain di dalam lapas. Sinisme di masyarakat sering mengatakan bahwa lapas (penjara) tidak lebih seperti “sekolah tinggi ilmu kejahatan”.

Pihak kejaksaan dan pengadilan-pun dapat melakukan hal yang sama. Meskipun diketahui sulitnya kebijakan seperti ini diterapkan di Indonesia terkait dengan moralitas penegak hukum. Dalam kenyataannya para narapidana yang dijebloskan ke dalam lapas adalah juga mereka yang “terseleksi”. Bukan karena mereka adalah residivis yang melakukan kejahatan yang serius, namun justru sebaliknya.

Mereka adalah narapidana yang sosialnya karena ketidakmampuan mereka membela diri dihadapan proses peradilan. Untuk dapat lolos dari hukuman atau setidaknya dijatuhkan dalam kadar minimal diperlukan pembelaan yang tidak murah. Inilah mengapa mayoritas narapidana di Indonesia adalah mereka yang berasal dari kelas sosial ekonomi rendah.

Hal terakhir yang perlu dilakukan adalah perlunya dikembangkan sejumlah penghukuman alternatif terhadap pemenjaraan. Hal terakhir ini dapat menjadi dasar kelembagaan bagi kebijakan-kebijakan sebelumnya. Salah satu kesulitan polisi, jaksa atau hakim untuk “melepas” first offender (pelaku kejahatan untuk pertama kali) dengan kejahatan yang tidak serius adalah tidak adanya dasar kelembagaan.

Oleh karenanya, dengan mengingat kronisnya masalah kapasitas penjara, tidak terjaminnya hak-hak narapidana, dan potensi munculnya kerusuhan, hukum di Indonesia perlu memikirkan model-model alternatif dari pemenjaraan.

Berkaca pada pengalaman beberapa negara maju, banyak model-model penghukuman alternatif yang dapat diadaptasi. Seperti kerja sosial atau probation (hukuman percobaan). Kerja sosial dan probation akan menghindarkan terpidana dengan lapas dan dari kemungkinan menjadi residivis (karir kriminal). Keduanya merupakan bentuk dari community based corrections (penghukuman berbasis masyarakat).

Tanpa reformasi mendasar dan menyeluruh ini, kerusuhan yang terjadi di Cipinang tidak akan menjadi yang terakhir dan catatan tentang kematian narapidana, pelanggaran hak asasi narapidana tidak akan pernah berakhir.

http://www.suarapembaruan.com/