PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Team Futsal Narapidana Indonesia

Buktikan Sportivitasmu dan Buktikan Kamu Mampu, Semboyan olaharaga Narapidana Indonesia dalam rangka Pembinaan Kepribadian

Sabtu, 20 Oktober 2007

Vonis Sudah 3 Bulan, Napi Belum Terima Putusan

Jakarta, Kompas - Lambert Siahaya (44), narapidana kasus penganiayaan, belum menerima putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meski telah divonis tujuh bulan kurungan pada pertengahan Juli 2007. Saat ditemui, Jumat (19/10), Lambert sudah menjalani tahanan polisi sejak 7 April dan seharusnya bebas pada Lebaran lalu.

"Sudah tiga bulan vonis jatuh, tetapi belum ada salinan putusan diberikan. Seharusnya narapidana juga berhak atas potongan 15 hari jika divonis lebih dari enam bulan. Ketika menanyakan itu kepada petugas Rutan (Rumah Tahanan) Salemba, saya justru dimarahi dan dianggap sok tahu," kata Siahaya.

Menurut dia, janji tentang remisi dan potongan masa tahanan tidak diterima oleh banyak napi di Rutan Salemba. Banyak tahanan yang ditahan satu tahun hingga dua tahun lebih, tidak mendapat remisi. Bahkan ada pula yang terlambat dikeluarkan dari tahanan. Para napi dan mantan napi tidak tahu ke mana harus mengadu.

Semena-mena

Ketua Persatuan Narapidana Indonesia Rahardi Ramelan, yang dihubungi, mengatakan tindakan tersebut merupakan perbuatan semena-mena dari aparat Pengadilan Jakarta Pusat dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

"Kasus seperti itu sudah sering terjadi. Saya sendiri harus mengambil sendiri kasasi ketika beperkara. Kalau tidak, paling cepat dua atau tiga minggu baru bisa diterima terpidana. Negara seharusnya membina narapidana dan bukan mempersulit mereka keluar setelah menjalani masa tahanan," papar Rahardi Ramelan. (Ong)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/20/metro/3932382.htm


Selasa, 16 Oktober 2007

Hak Narapidana Tertentu Dibatasi

Ditjen Pemasyarakatan Keluarkan Surat Edaran

Jakarta, Kompas - Pemberian remisi atau pengurangan hukuman bagi narapidana tindak pidana tertentu, seperti korupsi, teroris, bandar atau produsen narkotika dan obat-obatan terlarang, pelaku makar, pembunuhan massal, penyiksaan, penghilangan orang, pembalakan liar, penjualan orang, kejahatan dunia maya, dan pencucian uang, dilakukan dengan lebih ketat.

Bahkan, untuk remisi khusus Idul Fitri 2007, bagi narapidana (napi) baru tindak pidana tertentu belum menerima remisi jika belum menjalani sepertiga dari masa pidananya. Padahal, dengan aturan sebelumnya, napi baru tindak pidana tertentu bisa menerima remisi yang sama dengan napi kejahatan umum, yaitu setelah minimal enam bulan menjalani masa pidana.

Pembatasan hak napi kejahatan tertentu itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Untung Sugiyono tertanggal 5 Oktober 2007. SE itu adalah petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP itu adalah perubahan dari PP Nomor 32 Tahun 1999.

Nurdin Halid, terpidana kasus korupsi penyaluran minyak goreng Bulog, termasuk yang tidak mendapatkan remisi Idul Fitri 2007. Nurdin baru masuk Rumah Tahanan Salemba pada 18 September 2007 setelah Mahkamah Agung (MA) memvonisnya bersalah melakukan korupsi.

Menurut Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Akbar Hadiprabowo kepada Kompas, Minggu (14/10), pelaksanaan PP No 28/2006 ini baru dilaksanakan pada Idul Fitri 2007 karena tahapan sosialisasi PP itu baru selesai. "Pemberian remisi bagi napi baru tindak pidana tertentu sekarang harus seizin Dirjen Pemasyarakatan. Sebelumnya cukup Kepala Kantor Wilayah Dephuk dan HAM," paparnya.

SE Dirjen Pemasyarakatan itu baru diberlakukan pada pemberian remisi khusus Idul Fitri tahun ini. Pada poin kedua disebutkan, napi dengan kasus tertentu yang akan mendapat remisi pertama kali harus berkelakuan baik dan sudah menjalani sepertiga masa pidananya.

Pada poin ketiga disebutkan, bagi napi yang sudah memperoleh remisi tahun ini, yaitu remisi umum 17 Agustus 2007, tetap mendapat remisi dengan penilaian kelakuan baik yang sangat ketat atau selektif. Remisi diusulkan Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kepala Rutan kepada Ditjen Pemasyarakatan melalui Kepala Kanwil untuk mendapatkan persetujuan menteri.

PP No 28/2006 yang menjadi acuan SE Ditjen Pemasyarakatan memang lebih ketat dibandingkan dengan aturan sebelumnya. PP itu dimaksudkan sebagai peninjauan ulang pemberian remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat bagi napi yang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian besar bagi negara atau masyarakat atau korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat.

Misalnya, remisi bagi napi yang dipidana melakukan tindak pidana tertentu baru diberikan bila telah menjalani sepertiga masa pidananya. Bagi napi dengan kejahatan umum, ketentuan ini tidak berlaku.

Selain itu, pemberian asimilasi bagi napi dengan tindak pidana tertentu juga dilakukan jika napi itu telah menjalani dua pertiga masa pidananya. Napi dengan kejahatan umum bisa diberikan asimilasi kalau telah menjalani setengah dari masa pidananya. Selain itu, napi dengan kejahatan tertentu juga tidak diberikan hak lain, seperti yang diterima napi dengan kejahatan umum.

Tidak manusiawi

Ketua Umum Persatuan Napi Seluruh Indonesia (PNSI) Rahardi Ramelan menilai, keluarnya PP No 28/2006 itu merupakan tindakan yang tidak manusiawi terhadap napi. PNSI akan mengajukan protes pada Menteri Hukum dan HAM.

"Ada dua alasan, yaitu pertama di KUHP disebutkan barangsiapa, artinya semua orang, tidak ada diskriminasi apakah dia koruptor, teroris, atau lainnya. Kedua, napi ini sudah dihukum oleh pengadilan, kenapa sekarang dihukum dua kali, yaitu oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya bertugas membina dan mengembalikan napi ke masyarakat. Itu konsep pemasyarakatan. Bukan malahan memperpanjang pemidanaan," kata Rahardi lagi. (VIN)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/16/Politikhukum/3918177.htm

BANG NAPI UDAH BALIK DARI MUDIK dan NULIS LAGI DEH

Episode : BANG NAPI TERKEJUT-KEJUT

BANG NAPI udah balik lagi dari mudiknya yang dipercepat, karena berita dunia sekitar pernapian terjadi GONJANG-GANJING, ratusan ribu napi diseluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia berduka cita, dengan berlakunya Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Untung Sugiyono tertanggal 5 Oktober 2007.

SE itu adalah petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP itu adalah perubahan dari PP Nomor 32 Tahun 1999.

Pemberian remisi atau pengurangan hukuman bagi narapidana tindak pidana tertentu, seperti korupsi, teroris, bandar atau produsen narkotika dan obat-obatan terlarang, pelaku makar, pembunuhan massal, penyiksaan, penghilangan orang, pembalakan liar, penjualan orang, kejahatan dunia maya, dan pencucian uang, dilakukan dengan lebih ketat. Mengapa hal ini bisa terjadi...... dan harus terjadi.....?????

Ditengah-tengah kemacetan lalu lintas dan kepadatan arus penumpang di kereta api ekonomi, Bang Napi sedikit bernostalgia sambil duduk selonjor dilantai kereta api, Dulu di Penjara Bang NAPI juga tidur sambil berdiri, segala sesuatunya menderita sekali didalam penjara, kecuali satu saja yang sangat enak didalam penjara, yaitu tidak pernah terjadi KEMACETAN LALU LINTAS..... LALU LINTAS didalam penjara AMAN TERKENDALI...he...he...he.... ternyata hidup diluar juga menderita ya..., walah kalau begini apa harus mati aja.....yach...?

Dut....bret...dut.... bau apek dan jengkol kampung dari angin pantat knalpot seorang penumpang, menyadarkan BANG NAPI dari nostalgia gilanya...itu, memang kadang-2 kentut busukpun dapat membuat orang terjaga dari kegilaannya dan sadar bahwa dirinya masih hidup.... Walah....walah... KENTUT kok menyadarkan, ya inilah sekedar ironi kehidupan dikelas ekonomi kereta api Indonesiaku tercinta.

Kebahagiaan hanyalah milik segelintir masyarakat, sedangkan jutaan masyarakat kita, masih dalam penderitaan yang sangat dalam, didesapun panen gagal, didesapun tenggelam karena lumpur dan banjir, terjadi bencana alam dimana-mana, masyarakat pesisir pantaipun takut pulang karena ombak pantai menurut ramalan BMG akan setinggi 4 meter, masyarakat di hutanpun, harus sedia air dan payung, karena kalau tidak hutannya terbakar, maka ya hutannya menjadi gundul.....

Sangat IRONIS sekali kehidupan Indonesiaku tercinta ini, air mata, peluh keringat, cucuran darahpun dari masyarakatku, hanyalah menjadi KOMODITAS POLITIS saja para penguasa, para politisi wakil rakyat di DPR dan para-2 yang lain yang selalu mengatas namakan rakyat didalam bersuara.

"Demi" dan sekali lagi "Demi" tidak menyakiti hati rakyat, maka para narapidana tertentu akan dipersulit pemberian remisinya dengan keluarnya Surat edaran dirjen sebagai petunjuk pelaksanaan dari PP No.28 tahun 2006.

Apakah mereka lupa siapa narapidana ini, karena mereka-meraka yang sekarang duduk dikursi empuk dan mewah pemerintahan atau duduk sebagai wakil rakyat... Bapak Presiden, Bapak wakil Presiden, Para Menteri dan para Wakil rakyat di MPR dan DPR... kami para narapidana dan mantan narapidana ini adalah juga RAKYAT INDONESIA, yang juga ikut memilih Bapak-2 yang terhormat, bahkan Bapak-2 sebelum terpilihpun datang pada kerajaan kami yaitu PENJARA, dengan segala janji-janji manis agar kami tetap menggunakan hak pilih kami yang sudah hampir kami lupakan saat itu.

Coba mari kita kalkulasi bersama, kalau ada 1 juta napi di indonesia ini, kemudian dikalikan dengan jumlah anggota keluarganya, baik secara langsung maupun tidak, maka berapa suara yang didapat didalam pemilihan baik mulai tingkat bupati sampai Presiden....., suara ini menurut BANG NAPI, bahwa NAPIpun adalah anggota masyarakat Indonesia yang sedang menjalani pembinaan oleh negara karena kesalahannya ( Ini Asumsinya lho, padahal banyak juga NAPI korban dari Aparat penegak Hukum itu sendiri yang sekarang juga sedang membasmi kejahatan secara tebang pilih demi pelaksanaan tugas penguasa dan mengatasnamakan hukum dan UU ).

Hukum itu milik Rakyat, Hukum bukan milik Pemerintah atau penegak Hukum atau juga bukan milik Menteri Hukum dan HAM..... HUKUM dilaksanakan agar terdapat kepastian hukum, bukan pesanan politis, bukan untuk tebar pesona, agar mengobati rasa keadilan masyarakat ( masyarakat yang mana... ya...? ).

Mengapa BANG NAPI berpendapat sekeras ini, ini tidak lain, karena berapa kali dalam pemerintahan selalu terdapat perubahan-perubahan Peraturan Pemerintah, Keputusan menteri, Surat keputusan Dirjen, bahkan ganti menteri dalam satu departemenpun, akan menyebabkan PP atau KEPMEN atau SK DIRJEN menjadi berubah, bahkan perubahannyapun bertentangan dengan Undang Undang yang diatasnyapun diabaikan dan tidak dihiraukan sama sekali, yang penting adalah KEPENTINGAN POLITIS mereka sudah dapat dijalankan dengan mengatas namakan rakyat..... Naudzubillah min dhalik.....

Semangat Menteri Hukum dan Ham yang baru, dengan merubah paradigma " AGAR TIDAK MEMELIHARA NAPI SELAMA MUNGKIN DI PENJARA ", dengan keluarnya Kepmen baru perihal pengaturan pembebasan bersyarat, assimilasi dan cuti mengunjungi keluarga, sehingga dengan rumusan baru ini akan mengurangi over kapasitas di Penjara ( krn over kapasitas adalah penyebab banyak hal yang negatip di penjara dan juga akan menyebabkan pembiayaan oleh negara yang seharusnya tidak perlu ), tapi sekarang menjadi berubah kembali dengan keluarnya SURAT EDARAN DIRJEN ttg Pemberlakuan PP. No.28 tahun 2006 ( era Menteri Hamid Awalludin dan sekarang udah era Menteri Andi Mattalata ).

Kemana aja ya PP No.28 tahun 2006 selama ini....? kalau melihat aturannya harusnya mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.... ya kenapa harus diberlakukan setelah satu tahun kemudian...? ada apakah ini...?, apa benar karena membuat juklaknya...?, masak sih buat juklak aja butuh satu tahun...yang bener aja...?, Kenapa Menteri lama yang membuat dan Dirjen Lapas yang lama tidak memberlakukan.... peraturan pemerintah yang dibuat dieranya....?, Lha kenapa sekarang keluar Surat Edaran Dirjen baru, yang menyatakan PP tersebut berlaku....?, padahal Menteri dan Dirjen juga baru menjabat belum 1 tahun...?, Apakah Menteri dan Dirjen yang baru ini lebih Pinter sehingga lebih cepat memberlakukan PP itu.....?, ataukah Menteri dan Dirjen lama itu.... bodoh ya, hanya bisa membuat tapi tidak dapat memberlakukan...? Ada apa ya....? Mengapa ya....?

Duuuuut.....duuut..... walah walah kentut busuk ini lagi, yang membuat sadar BANG NAPI..... udahlah BANG NAPI tidak usah banyak bertanya, udahlah BANG NAPI tidak usah banyak Komentar, udahlah BANG NAPI bilang tuh kepada seluruh NAPI di PENJARA.. terima aja... itu Surat Edaran Dirjen, emangnya kamu semua NAPI bisa apa sich, tolong juga BANG NAPI bilang ama mereka ya... dan ingatkan mereka, jangan banyak protes.., nanti bisa-bisa di NUSA KAMBANGKAN lho.. baru tahu rasa.., putus asa, putus asa deh kamu para NAPI di Indonesia, untung-2 aja ndak sekalian ditembak mati atau ndak dikasih makan ama pemerintah.......,

Yach apaboleh buat.... BANG NAPI keluar dari Kereta Api dengan langkah Gontai dan berurai air mata kepiluan hatinya... berucap lirih dalam hati,

YA ALLAH SADARKAN ORANG-2 YANG TELAH BERBUAT DHOLIM siapapun dia, AMPUNI DOSANYA, BUKALAH MATA HATINYA, BAHWA KEBENARAN itu BUKAN MILIKNYA, KEKUASAAN itu juga BUKAN MILIKNYA, semuanya itu HANYA AMANAH dan RAHMATMU YA ALLAH......,

KEBENARAN YANG HAKIKI adalah MilikMU Ya ALLAH...... Tunjukkanlah Pemimpin-2 kami, bukakanlah hati dan matanya agar dapat melihat kebenaran itu adalah mutlak milikMU Ya Allah, jangan jadikan kesombongan dan kebutaan Nurani para Pemimpin-2 ku ini petaka untuk negeriku Tercinta ini.

Ya Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Adil, berilah kesadaran, kesabaran dan ampunan bagi saudara-saudaraku para NAPI dan Mantan Napi agar didalam hati dan nalar bertindaknya tetap mengikuti segala perintah dan aturan Mu ya Allah, karena aku yakin Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Kasih, tidak ada seorang umatpun yang akan masuk SURGA, kalau bukan karena IMANnya dan RAHMATMU ... YA ALLAH.

PENJARA bukan halangan untukku aku, napi dan mantan napi di duniamu ini untuk tidak beriman kepada MU Ya Allah....., Engkaulah Yang Maha Mendengar, YA ALLAH... kabulkan permohonan doaku ini... AMIN,,,, YA ALLAH YANG KAMI KASIH.

Oleh-oleh BANG NAPI dari Desa Penderitaan Duniawi



Sabtu, 06 Oktober 2007

BANG NAPI MUDIK DULU YA


MAAF... PARA PEMBACA YANG TERHORMAT, BANG NAPI MAU MUDIK DULU YA........ MAU LEBARAN JUGA DONK, MAKA UNTUK ITU,

BANG NAPI MENGUCAPKAN MOHON MAAF LAHIR & BHATIN, KALAU SELAMA INI DALAM MENULIS, BANYAK KESALAHAN YANG DISENGAJA ATAU TIDAK DISENGAJA, MENYINGGUNG ATAU SEDIKIT MENGGORES NURANI BAPAK-2 SIPIR PENJARA atau BAPAK MENTERI HUKUM dan HAM dan JUGA JAJARAN DIREKTORAT LEMBAGA PEMASYARAKATAN....

DAN TAK LUPA UNTUK PARA TERPIDANA atau MANTAN NARAPIDANA DISELURUH INDONESIA, BANG NAPI UCAPKAN

TAQOBALLALAHU WA MINNA WA MINKUM, MOHON MAAF LAHIR & BHATIN dari HATI NURANI YANG TERDALAM......







Senin, 01 Oktober 2007

Ihwal Hak Politik Mantan Napi

Oleh: Mulyana W Kusumah

Dalam pembahasan RUU Pemilu pekan lalu dikabarkan dua parpol besar yakni Partai Golkar dan PDI-P mengusulkan agar bekas narapidana lima tahun tidak kehilangan hak menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD, dengan alasan penegakan hukum di Indonesia belum bisa dipertanggungjawabk an secara politik.

Bahkan lebih jauh, anggota Pansus RUU Pemilu, Agun Gunandjar Sudarsa (FPG) – yang juga mempunyai otoritas akademik sebagai Ketua Ikatan Alumni Kriminologi – mengusulkan agar larangan itu hanya berlaku bagi calon yang sedang menjalani hukuman pidana. Menurut Agun, tidak ada alasan melarang seseorang yang sudah selesai menjalani hukuman dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD atau DPRD.

Gagasan parpol besar tersebut, pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan rumusan dalam Pasal 60 huruf i, UU 12/2003 mengenai Pemilu, Anggota DPR, DPD dan DPRD – yang mensyaratkan calon anggota DPR, DPD dan DPRD tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Rumusan tentang hal itu dalam RUU Pemilu, mengalami perubahan menjadi “tidak pernah dijatuhi hukuman penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 ( lima ) tahun atau lebih.”

Sejumlah perundang-undangan di Indonesia yang mengatur persyaratan untuk calon pejabat publik atau pejabat negara mencantumkan rumusan serupa.

Undang-undang 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, misalnya, dalam Pasal 6 huruf t mencantumkan syarat calon Presiden/Wakil Presiden, tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Rumusan di atas, tidak berubah dalam RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Pasal 58 huruf f, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, juga harus memenuhi syarat tersebut.

Rumusan yang sama juga mengemuka dalam Pasal 11 huruf j, UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, sebagai syarat calon anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, serta dalam Pasal 86 huruf j sebagai syarat calon anggota Badan Pengawas Pemilu, Panwaslu Provinsi, Pawanslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan serta Pengawas Pemilu Lapangan.

Melanggar Konstitusi
Rumusan-rumusan dalam sejumlah perundang-undangan di atas jelas melanggar hak-hak konstitusional warga negara, sebab seorang narapidana yang telah menjalani pidana adalah warga negara bebas, mempunyai hak sama dengan warga negara lainnya yang tidak pernah menjalani pidana (penjara).

Secara utuh, hak-hak konstitusional warga negara para mantan napi harus dipulihkan. Dengan begitu, hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 tetap melekat pada mantan napi.

Sekadar mengingatkan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali. Atau lebih tegas lagi, dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum, juga Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945 yang memuat, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Rumusan-rumusan restriktif atas hak-hak konstitusional warga negara yang dipaparkan di atas, jelas merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam UU Hak Asasi Manusia.

Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas dan rahasia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, juga dalam pasal 43 ayat (3), disebutkan bahwa setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Perumusan, pemuatan serta pelaksanaan pasal-pasal restriktif terhadap mantan napi, tentu saja dapat dikategorikan pelanggaran hak-hak asasi manusia sebagai mana dinyatakan dalam Ketentuan Umum angka 6, UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni: setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme yang berlaku.

Kontra Reformasi
Lebih jauh lagi, hal tersebut mencerminkan sebuah arah politik “kontra reformasi,” di tengah perkembangan hukum progresif yang pada akhir tahun 2005 yang lalu telah menghasilkan UU 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.

Dalam tulisan ini, tidak perlu terlalu jauh dibahas mengenai pemikiran-pemikiran penologi dan kriminologi kontemporer yang sudah jauh meninggalkan pemikiran-pemikiran “ultra konservatif” mengenai penghukuman sosial yang berlanjut terhadap mantan narapidana – yang terus dikucilkan dari masyarakat melalui stigmatisasi dan penghilangan hak-hak fundamentalnya sebagai warga negara.

Jaminan hak-hak warga negara secara utuh yang termuat dalam UUD 1945 serta sejumlah perundang-undangan hak asasi manusia yang diuraikan di atas, tidak perlu harus ditegaskan kembali melalui permohonan pengujian Undang-undang ke Mahkamah Konstitusi oleh pihak mantan napi yang hak konstitusionalnya dirugikan. Ini akan menguras dana serta enerji politik. Jika rumusan restriktif dalam undang-undang itu, kemudian oleh Mahkamah Konstitusi, dinyatakan bertentangan atau melanggar UUD 1945, sehingga harus diamandemen, akan menguras tenaga. Terlalu jauh kalau kita kaitkan bahwa negara tercinta ini pada awalnya didirikan oleh para pahlawan, banyak di antaranya adalah mantan narapidana.

Akan lebih baik jika para elit politik pembuat undang-undang sejak awal menunjukkan tanggung jawab politik dengan merumuskan pasal-pasal yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan perundang-undangan hak asasi manusia.


* Penulis adalah Sekjen Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI)

Selasa, 25 September 2007

Penjara di Pulau. Betapa Enaknya…



Apa bayangan anda tentang penjara? Mungkin orang yang dipenjara akan hanya melihat tembok tanpa pernah melihat matahari. Makanan yang tidak enak dan juga penjaga yang garang. Di Norwegia baru saja dibuat penjara dengan model yang baru, dimana sebuah pulau dirubah menjadi penjara untuk penjahat-penjahat kelas kakap. Mereka tidak tinggal di sel penjara, melainkan di rumah-rumah yang ada di pulau tersebut.

Kedengarannya asik banget dan mungkin akan banyak orang yang lari. Tetapi kalau sampai ketahuan ada yang lari, maka orang tersebut akan dimasukkan ke penjara dengan keamanan yang tertinggi seperti penjara biasanya dengan kamar sel. Ini saja sudah menjadi alasan mengapa orang tidak mau kabur dari pulau tersebut.

Mau omong ramah lingkungan, penjara ini menggantungkan diri pada Panel Tenaga Surya untuk listrik, menghangatkan ruangan dengan serpihan kayu bekas, memiliki peraturan daur ulang yang ketat, dan mempunyai stok makanan yang hampir swasembada dan organik.



Disebutkan bahwa sayuran seperti kentang, biji-bijian, dan buah berri yang ditanam adalah 100% organik tanpa pestisida. Sampai kalau mereka makan bubur, yah bubur organik dan kelebihan makanan mereka dijual ke penjara lainnya. Sebagai sumber protein, mereka juga ternak 200 ayam, 40 domba dan 20 sapi selain ikan yang mereka tangkap di sekitar pulau. Diharapkan rehabilitasi para penginap penjara dengan latar belakang seperti penjual narkoba, pemerkosa, dan penipu ini belajar tentang rasa tanggung jawab terhadap tanaman dan binatang yang mereka pelihara.

Dengan tempat yang lebih baik, maka penghuni penjara pun bisa merasa lebih dihargai sehingga tidak banyak dari mereka yang mau kabur. Seluruh 115 orang yang dipenjarakan hanya di kawal oleh 4 orang polisi yang tidak membawa senjata.

Nah Indonesia dengan ribuan pulaunya bisa membuat banyak sekali penjara, dengan kebutuhan energi yang sangat sedikit karena kita tidak membutuhkan penghangat ruangan, apalagi AC. Pakai angin sepoi-sepoi di pulau saja. Kalau sampai kabur, baru masukkan ke Nusa Kambangan.


http://akuinginhijau.wordpress.com/2007/09/16/penjara-di-pulau-betapa-enaknya/

Jumat, 21 September 2007

Oral Sex di LP Cipinang, Itu Biasa Bung!

by teguhtimur

SETAHUN lalu, di pertengahan bulan Juli, saya berpapasan dengan Rahardi Ramelan di gedung administrasi LP Cipinang. Ketika itu saya sedang menunggu nama saya dipanggil oleh petugas LP untuk proses selanjutnya sebelum saya dijebloskan ke sel Cipinang. Sidik jari sudah diambil, data-data lain juga sudah dicatat oleh petugas. Periksa tatto juga sudah.

“Anda punya tatto?” tanya si petugas.
“Tidak ada Pak. Kalau bekas sunat ada,” jawab saya sambil tersenyum dengan maksud mencoba mencairkan suasana dengan banyolan konyol.

Tetapi dia diam saja. Sama sekali tak memperdulikan ucapan saya. Airmukanya tetap keruh dan tak bersahabat. Duh, nasib jadi tahanan…

Di lorong gedung administrasi itu, napi-napi yang baru selesai rapat persiapan peringatan HUT RI ke-61 duduk bergerombol. Sebagian duduk di sebelah saya, di atas bangku panjang, dan sebagian lagi duduk jongkok di pojok dekat tangga sambil menghisap rokok. Beberapa menatap saya dengan nyalang. Deg-degan juga hati ini. Saat itulah Rahardi keluar dari salah satu ruangan di lantai dua gedung administrasi.

Seorang tahanan bertubuh kecil berjalan di sebelahnya membawakan tas tangan hitam milik Rahardi. Melihat Rahardi, saya langsung berdiri menghampiri.

“Selamat sore Pak. Saya Teguh, Rakyat Merdeka.”

Saya memperkenalkan diri. Selama ini saya hanya mengenal bekas kepala Badan Urusan Logistik itu dari pemberitaan. Belum pernah sekalipun saya bertatap muka dengannya.

“Eh Mas, sedang liputan apa?” tanyanya sedikit kaget. Mungkin dia mengira saya sedang menunggu dia untuk keperluan wawancara.

“Bukan sedang tugas Pak. Saya masuk nih.”
“Ah, yang benar. Kenapa?”

“Biasa Pak, kasus jurnalistik,” jawab saya singkat tanpa merinci.

“Ooo… Tenang aja Mas. Memang dunia ini lagi aneh. Anda tenang-tenang aja di sini. Negara ini tidak akan terbalik walaupun kita di dalam (LP Cipinang). Oh ya, saya tiap pagi lari-lari di lapangan. Nanti kita ngobrol-ngobrol ya. Main ke sel saya juga silakan.”

Tak lama Rahardi berlalu, sementara saya kembali duduk di bangku panjang itu, di antara para napi yang beberapa dari mereka menatap saya dengan nyalang.

Itu pertemuan pertama dan terakhir saya dengan Rahardi di LP Cipinang. Keesokan harinya, setelah 24 jam, atas desakan berbagai pihak akhirnya penahanan diri saya ditangguhkan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Saya pulang di awal malam, di saat Jakarta diguyur hujan deras, angir bertiup kencang, dan petir menyambar-nyambar. Tak banyak yang menyaksikan saya keluar meninggalkan Cipinang. Saya juga tak sempat pamit ke Rahardi dan mengucapkan terima kasih, karena dalam pertemuan yang singkat itu dia mampu menenangkan hati saya.

Beberapa bulan kemudian, setelah Rahardi keluar dari Cipinang, beberapa kawan sambil bercanda berkata kepada saya.
“Elu gak ikut Rahardi dan Roy Marten bikin aliansi pembela napi?”

Saya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Hanya 24 jam, tetapi rekaman di benak saya tentang LP Cipinang cukup banyak juga. Sebagian sudah saya beberkan kepada beberapa kawan.

Dan hari ini, saya jadi ingin menulis kembali tentang Cipinang setelah membaca wawancara Rahardi Ramelan di myRMnews. Dia jelas tahu lebih banyak apa yang terjadi di balik tembok Cipinang. Judul tulisan ini saya adopsi bulat-bulat dari wawancara tersebut.

SETAHUN sudah bekas Kepala Badan Urusan Logistik (Kabulog) Rahardi Ramelan menikmati udara bebas. Rabu , 20 September 2006, Rahardi keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur, setelah menjalani 2/3 hukuman dalam kasus penyalahgunaan dana nonbujeter Bulog.

Dalam kasus yang merugikan negara Rp 4,6 miliar ini, Rahardi dijatuhi hukuman dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kemudian, Mahkamah Agung pun menolak kasasi Rahardi sehingga mengukuhkan hukuman itu. Setelah vonis memiliki kekuatan hukum, pada 15 Agustus 2005 Rahardi masuk ke LP Cipinang untuk menjalani hukuman.

Setahun lebih menjadi warga LP Cipinang, Rahardi mengaku dianggap sesepuh, bahkan teman-teman sesama napi memanggilnya dengan sapaan Pak De. Ketokohan di dalam penjara membuat dirinya dinobatkan menjadi Ketua Perhimpunan Narapidana Indonesia (Napi)—yang dibentuk bersama-sama para alumni eks napi. Ikut dalam barisan ini diantaranya, Mulyana W Kusumah yang menjadi penghuni Rutan Salemba, aktor Roy Marten dan Probosutedjo yang kini masih mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung.

Di kediamannya, di kawasan Harjamukti, Cibubur, Jakarta Timur, pria dengan perawakan kurus yang kini berusia 68 tahun ini menceritakan pengalamannya saat tinggal di LP Cipinang. Petikannya:

Apa pengalaman yang bisa Anda petik selama tinggal di LP Cipinang?
Menjadi penghuni LP Cipinang sebagai tahanan Kejaksaan Tinggi dan Pengadilan Negeri pada tahun 2002 selama 69 hari dan sebagai narapidana pada tahun 2005/2006 selama 13 bulan, telah memberikan pengertian mengenai kehidupan di penjara beserta segala masalahnya. Interaksi dengan narapidana lainnya dari berbagai kasus dan jenis hukuman makin melengkapi pengetahuan mengenai keadaan peradilan kita.

Pandangan Anda terhadap LP seperti apa?
Masalah pemasyarakatan tidak bisa terlepas dari proses peradilan sebelumnya, dan juga tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat umumnya. Berbagai isu yang menyelimuti peradilan kita seperti masalah suap, rekayasa, intervensi penguasa dan lainnya, akhirnya akan bermuara di LP. Dengan meningkatnya penanganan masalah kasus korupsi oleh KPK juga membawa dampak yang signifikan dalam proses peradilan dan kehidupan di LP.

Dalam pengamatan Anda, bagaimana kondisi keseluruhan LP Cipinang?
Baik sebelum maupun sesudah ada gedung baru. LP Cipinang tetap saja penghuninya berjubel, November 2006 tercatat dihuni sekitar empat ribu orang.

Mereka itu tahanan dari mana saja?
Setengahnya adalah tahanan titipan dari kejaksaan, maupun pengadilan. Sisanya adalah narapidana, 70 persen adalah mereka yang menjalani hukuman di atas satu tahun, 29 persen dengan hukuman antara tiga bulan dan satu tahun.

Bentuk kejatahannya…
Mereka menjadi penghuni Cipinang dilatari kejahatan yang berbeda. Yaitu pencurian, penipuan, perampokan, narkoba, terorisme, kejahatan HAM berat sampai kejahatan ekonomi dan korupsi.

Semuanya benar-benar bersalah?
Mereka belum tentu bersalah. Ada yang sengaja dijebak atau kejebak, tertangkap atau direkayasa karena keinginan kekuasaan ataupun tidak mempunyai uang.

Ada perbedaan lainnya?
Dilihat dari berbagai sisi, penghuni LP Cipinang sangat heterogen. Mulai dari yang buta huruf sampai doktor atau guru besar. Intelektualnya pun yang sangat berbeda, mungkin dari IQ 90 sampai 140. Ada juga perbedaan dari segi keterampilan, status sosial, suku dan lamanya hukuman menjadikan masyarakat LP Cipinang sangat heterogen. Sehingga, muncul berbagai pengelompokan di dalam LP, yang merupakan organisasi tanpa bentuk (OTB).

Kalau dari sisi manajemen LP, bagaimana?
Dari sisi manajemen, jumlah staf, pegawai, dan petugas yang sangat terbatas tidak seimbang dengan jumlah narapidana. Struktur kepegawaian yang pincang, terutama kurangnya tenaga lapangan. Tidak memberikan kesempatan berkembang bagi pegawai non AKIP (pegawai yang mendapat pendidikan lanjutan), setelah selesai jarang mendapatkan tempat yang sesuai dengan keahliannya. Sifat dan prilaku organisasi yang otoriter dan militeristik menyebabkan tidak bekembanganya inisiatif dari bawah.

Ada yang lain?
Ditambah lagi dengan terbatasnya penghasilan dan tunjangan. Adanya tunjangan pemasyarakatan yang disebut tunjangan fungsional (bukan tunjangan fungsional yang sebenarnya) yang keliru, menyebabkan tidak mungkin berkembangnya jabatan fungsional lainnya seperti pranata komputer dan sebagainya. Saat ini telah ditetapkan juga tunjangan risiko pekerjaan. Tetapi semua ini tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya di Jakarta. Banyak keputusan yang bekaitan dengan kewenangan Kalapas (kepala lapas), ditarik ke atas sampai tingkat dirjen dan menteri. Walaupun kelihatannya seperti ada pendelegasian, tetapi yang didelegasikan bukan kewenangan tetapi tugas penandatanganan.

Dari segi anggaran…
Anggaran yang dialokasikan untuk operasional LP sangat terbatas, sehingga selalu diperlukan partisipasi narapidana dalam membiayai kegiatan tertentu temasuk biaya operasional LP. Hak seorang narapidana untuk mendapatkan kutipan keputusan, hanya bisa didapatkan dengan mengeluarkan biaya. Keputusan Mahkamah Agung yang sering terlambat, contohnya pada kasus yang saya alami yaitu hampir sepuluh bulan, sangat merugikan narapidana untuk mendapatkan hak-haknya.

Apa benar LP masih jadi hotel prodeo?
Sudah tidak berlaku lagi. Berbagai kebutuhan dasar seperti perlengkapan kamar, makan, kesehatan, media-informasi, pendidikan harus dibiayai sendiri. Gedung baru yang mulai dioperasikan belum setahun sudah terkesan kumuh. Pengamatan narapidana, gedung baru dibangun dengan konsep kembali ke penjara atau bui, jauh dari upaya pembentukan LP. Kamar yang harusnya diisi tiga orang sekarang diisi tujuh orang. Yang untuk lima orang diisi sampai sebelas orang, dan yang untuk tujuh orang diisi di atas 15 orang.

Jadi, sudah ada kekeliruan dong…
Betul. Ruangan umum tempat narapidana bersosialisasi pun sudah dipadati oleh narapidana. Fungsi beberapa ruangan lainnyapun sudah keliru sejak awal. Kamar mandi bersama yang dilengkapi sprinkle, sekarang dimanfaatkan menjadi kamar atau dapur walaupun sebetulnya dapur di gedung baru tidak diperkenankan, incinerator untuk sampah belum pernah dioperasikan, demikian juga generator back up berdiri seperti semula.

Keluhan lainnya…
Sumber dan volume air yang dibangun baru, tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga beberapa buah sumur bor terpaksa dibuat di sekeliling bangunan tertentu atas biaya penghuni. Kunjungan yang menjadi faktor penting dalam pemasyarakatan tidak diasingkan dari masyarakatnya terutama hubungan keluarga telah menjadi ajang rebutan kekuasaan dan penghasilan.

Ada rumor, sering terjadi hubungan sex sesama narapidana, apa betul?
Memang. Sering terjadi hubungan mesra termasuk oral sex antara narapidana dengan pasangannya tidak dapat dihindarkan, dan terjadi serta dilihat oleh orang sekitarnya, termasuk anak-anak. Dengan dipasangnya kamera monitor di ruang kunjungan, semua prilaku narapidana dan pengunjung dapat dilihat oleh para petugas di operation room. Kalau kunjungan kebutuhan biologis ini tidak diatur, maka kekerasan seksual antar sejenis akan terjadi.

Anda kelihatan paham betul dengan kondisi LP. Itukah alasannya membentuk dan memimpin Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI)?
Teman-teman komunitas suku ras atau kelompok di LP merasa perlu adanya kelompok yang lebih tinggi mewadahi kepentingan mereka semua. Nggak tau saja kenapa saya yang dipilih. Mungkin mereka menganggap saya sesepuh atau pernah dibilang pengganti Pak De. Ya karena saya pikir niatnya baik, akhirnya saya dan rekan-rekan coba seriusi lembaga NAPI ini sampai akhirnya resmi legal berdiri.

Membela kepentingan napi, bukankah itu citranya negatif?
Setiap Napi, termasuk saya memang orang bodoh, bego atau kasar dan jahat. Tapi prinsipnya semua manusia itu sama. Ada yang ingin berubah lebih baik. Dan sebagian napi pun ada yang tidak murni dihukum atas kejahatan. Ada juga yang dijebak hasil rekayasa dan sebagainya. Lagipula perilaku di dalam maupun di luar LP itu kan sama. Coba sebutkan mana yang beda?

Di LP sering terjadi tawuran antara napi, komentar Anda?
Sama kan dengan kerusuhan antar suporter bola atau tawuran antar anak SMA. Tapi, kerusuhan di LP terjadi karena ada kegiatan silaturahmi yang mulai hilang. Salah satunya safari ramadhan yang dulu biasa saya galakan.

Selain pimpin NAPI, apa kegiatan Anda sekarang?
Hanya mengajar, membaca dan menulis artikel di media massa.

Tidak ada bisnis atau laba usaha?
Nggak ada sama sekali.

Lalu dari mana Anda bisa memenuhi operasional kebutuhan keluarga?
Kan masih ada istri dan anak-anak saya. Meskipun tidak menutup mata bahwa saya ini masih punya tabungan.

Anda tidak malu sebagai kepala keluarga?
Buat apa. Inilah sejatinya sebuah keluarga. Asal ada pengertian dan pemahaman yang baik antar anggota keluarga, semuanya tidak ada yang jadi masalah. Tapi jujur saja, istri dan anak-anak tercinta telah membantu dan mendukung saya hingga masih tegak berdiri sampai sekarang.

http://teguhtimur.wordpress.com/2007/09/21/oral-sex-di-lp-cipinang-itu-biasa-bung/

Selasa, 11 September 2007

Usai Ditahan, Revaldo Belum Pernah Menerima Job

PESINETRON Revaldo Fifaldi Surya Permana telah menghirup hawa kebebasan. Aktor yang bermain dalam film 30 Hari Mencari Cinta ini dinyatakan bebas bersyarat pas seminggu sebelum Ramadan. Aldo sebelumnya divonis bersalah dalam kasus narkotik dan obat-obatan berbahaya. Dia sempat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Pekalongan, Jawa Tengah.

Untuk merayakan kebebasannya, Aldo-panggilan Revaldo-menggelar syukuran di rumah keluarga di Sukabumi, Jawa Barat. "Rasanya senang bisa ketemu keluarga," ucap Aldo bersyukur. Dalam acara tersebut, Aldo diceburkan ke kolam sebagai tanda kebebasannya.

Aldo tentunya tidak bisa melepaskan predikat sebagai mantan narapidana. Julukan ini tentunya dapat berdampak pada pekerjaannya. Hingga kini belum ada satu pun tawaran job untuk lelaki berambut ikal ini. "Kalau pekerjaan, gue belum mikirin," kata Aldo.

Namun, hal tersebut tidak mengganggu pikiran Aldo. Ia cukup bahagia karena doanya terkabul. Aldo ingin sekali menikmati Ramadan di luar penjara.Setahun silam, Aldo menjalankan puasa di hotel prodeo. "Senang bisa dikasih kesempatan puasa bareng keluarga," ujar Aldo.

Di balik itu terdapat tudingan miring seputar pembebasan pemain sinetron Ada Apa Dengan Cinta ini. Pembebasan bersyarat ini dinilai lantaran profesi Aldo sebagai public figure. "Terlepas dari dia selebritis. Semuanya sesuai proses," tutur Riri, pengacara Aldo.

Kebebasan ini tentunya disambut bahagia segenap keluarga Aldo. Tak terkecuali, sang ayah Roy Permana. "Saya kira dengan kebebasan ini Aldo sudah mengerti yang mana teman sejati dan teman biasa," ucap Roy. Dia mengimbau agar Aldo tidak mengulangi kesalahannya.

Kabar ini disambut suka cita teman-teman Aldo. Salah satunya, pesinetron Dwi Andhika yang dikenal sebagai sahabat Aldo. "Alhamdullilah banget. Aku senang bisa melihat perkembangan Aldo sekarang," ucap Dwi.
(Rn-110907)

http://www.sctv.co.id/view/134,17906,1,1189443600,1189496362.html

Minggu, 09 September 2007

Partai Napi

Budaya

DI ERA yang serba mungkin ini, Partai Napi Indonesia—apalagi kalau disingkat PNI,mempunyai peluang lebih bagus dibandingkan partai gurem yang cita-cita tertingginya menjadi pemasok partai lain.

Dari segi keanggotaan, Partai Napi mewakili lapisan masyarakat mana saja—nasionalis, agamais, fundamentalis, marhaenis,juga mewakili etnis mana saja tercantum dalam data.

Dari segi pengalaman jabatan,barang kali tak ada tandingannya: ada jenderal masih aktif ketika dinapikan, ada pengusaha kelas konglomerat—dari berbagai disiplin bisnis,ada pembalap kampiun,ada anak mantan presiden, ada yang pernah menjabat, bupati, wali kota, kepala daerah, seniman, pejuang, ustad,wartawan, penerima wahyu, selebritis, calon presiden, pengatur pemilihan, bendahara, atau yang dianggap extremis, teroris, sampai pengebom,copet,maling,penodong, pembunuh.Atau sebut apa saja.

Tak ada partai lain yang memiliki keanggotaan begitu beragam dan penuh pengalaman seperti ini. Perwakilan mereka juga tersebar di seluruh pelosok, dari alumni rumah tahanan negara atau lembaga pemasyarakatan, baik kelas satu, kelas dua, atau kelas persinggahan sementara, di seluruh pelosok Indonesia. Dan yang lebih menjanjikan lagi,jumlah anggotanya bertambah biak dengan sendirinya.

Kaderisasi berlaku secara otomatis dalam jumlah besar, apalagi kalau menjelang Lebaran seperti ini. Jangan dilupakan,para kader ini telah digembleng, didewasakan dengan latihan hidup,diasramakan yang bisa sama waktunya atau bahkan lebih, dibandingkan melatih calon pegawai negeri,atau calon perwira,atau calon rama sekalipun. Kalau jumlahnya masih kurang, bisa diasumsikan keluarga akan menjadi pembantu penyokong suara.

Kalau mau dihitung surut ke belakang,aha,jumlahnya lebih menggiurkan.Dihitung dari tahun 1965 saja—di mana kadang mereka ini tak mendapat predikat napi karena ditahan tanpa sidang pengadilan, jumlahnya sudah melebihi standar untuk berorganisasi. Apalagi yang dianggap ”pemberontak” bukan hanya tahun itu. Masih bisa ditambahkan, dari segi keanggotaan, bisa dengan mudah membentuk cabang-cabang di luar negeri,karena selama ini napi—atau mantan napi, ada beberapa dari warga negara asing.

Sumber daya manusia yang betul-betul mengalami langsung ketidakadilan, ketidaknyamanan, ketidakberdayaan, merupakan modal besar untuk berani mati sekali pun. Dengan kata lain, ”PNI front residivis”, secara struktural,secara natural,juga secara akal sehat bisa menjadi partai yang akan menggeliat, bahkan mungkin menyengat.

Apalagi untuk simbol sudah sangat memasyarakat: kaos garis-garis simbol jeruji besi,warna biru kusam—seragam napi kalau masuk televisi (sehari-hari mereka berpakaian biasa), dengan lagu wajib ”Napi juga manusia”, atau ”Chain of Love” sampai ”Green-green Grass of Home”, mudah dihafal disenandungkan ” makan nasi jagung/badan terkurung…”

Di era reformasi yang kadang lupa basa- basi ini, kalau secara perorangan belum diizinkan,Partai Napi bisa mewakili. Di era di mana bentuk-bentuk dan cara berkomunikasi lebih mengedepankan aksi dibandingkan misi-visi, peluang ”PNI”lebih menarik perhatian.
Apa lagi kalau berandai-andai, partai ini belum tentu lebih buruk dari partai nonnapi.

Paling tidak, lebih berpengalaman untuk tidak membuat skandal ala katro,culun, dan abal-abal karena mereka ini jawara, abang-abang, brengos, bos, yang lolos dari ketidaknyamanan. Bisa terjadi begitu. Bisa terhenti dengan memperhatikan dan memperjuangkan hak-hak para napi,seperti yang diprakarsai para tokoh,para mantan napi yang baru saja membuat deklarasi. Hak-hak sederhana untuk menempati ruangan,untuk mandi, untuk ”hajat besar”, untuk ”memperbaiki diri”, untuk mendapatkan remisi, atau hak merasa aman.

Hak yang seharusnya tetap ada,karena hukuman yang dijalaninya bukanlah meniadakan hak itu. Ini upaya menawan yang bisa menyentuh para simpatisan—tak usah dari keluarga atau dari mantan, karena tujuannya memperjuangkan kemanusiaan. Baik dari tata krama maupun tata nilai yang perlu selalu diingatkan.Semua ini bisa dilakukan dengan ”aman, lancar, terkendali”, dalam suasana yang ”kondusif”, dan ”diinformasikan”kepada pihak- pihak yang bertugas menangani, membimbing, meneladani.

Berikan kesempatan kepada mereka yang telah mengalami realitas empiris untuk melakukan sesuatu yang bisa membantu. Ini merupakan sisi emas, dengan menapikan mereka. Ini sisi terbaik yang terjadi di lembaga pemasyarakatan— yang bahkan tidak dianggarkan atau direncanakan. Selalu lebih nyaman berhubungan dengan mantan napi—karena ia telah meninggalkan kejahatan apapun yang dilakukan, dibandingkan dengan calon napi—yang masih menjalankan kejahatan tapi belum dibuktikan.(*)

Arswendo Atmowiloto
Pengamat Budaya
MANTAN NAPI JUGA



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/budaya/partai-napi-2.html

Jumat, 07 September 2007

Hotel Prodeo Bintang Lima

Mengintip lewat celah sempit jeruji penjara. Banyak narapidana tak dimanusiakan. Ada yang mampu membeli kebebasan.

2 Oktober 1992. Penjara Carandiru berubah menjadi medan pertempuran brutal. Perang antargeng di penjara Sao Paolo, Brasil, itu mengakibatkan sembilan narapidana tewas dibantai sesama penghuni sel. Bahkan, kerusuhan meluas dan 102 pesakitan tewas mengenaskan dihujam butir timah panas polisi militer. Alih-alih mengatasi kerusuhan, polisi militer justru memberondong para napi yang kalang-kabut dan panik di balik jeruji besi.

Tragedi Carandiru tercatat sebagai kerusuhan terbesar dalam penjara yang pernah terjadi di negara sepak bola itu. Kepadatan penghuni penjara menjadi pemicu kerap terjadinya perang antargeng di dalam sel. Kejadian sepele dapat memicu ledakan kerusuhan mengerikan dalam penjara. Tragedi Carandiru dipicu saling ejek suporter sepak bola pada pertandingan antarnapi.

Akhir Juli lalu Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, juga mengalami kerusuhan serupa. Dua napi dinyatakan tewas akibat kerusuhan yang berlangsung beberapa jam tersebut. Penyebabnya juga hampir sama: saling ejek antarsuporter seusai pertandingan sepak bola dalam rangkaian peringatan hari kemerdekaan.

Setelah kerusuhan, penjara Cipinang diisolasi. Wartawan dilarang meliput dan segera digelar razia senjata tajam. Beberapa napi berbahaya dan dianggap sebagai pemicu kerusuhan dipindah ke sejumlah penjara lain. Bentrokan antarnarapidana di Blok C dan F penjara Cipinang itu bukan yang pertama terjadi. Dari sekian banyak bentrokan yang tidak terjejak media, tercatat 4 kerusuhan pernah terjadi di penjara terbesar di Jakarta itu. Dua kerusuhan di antaranya berujung maut, 9 narapidana meregang nyawa.

Dalam kerusuhan di penjara Cipinang, Selasa 31 Juli 2007, itu dua napi, Sukamat alias Munthe dan Syamsul Hidayat tewas. Narapidana penghuni Blok F penjara kelas I ini tewas dianiaya penghuni Blok C.

Penyebab utama kerusuhan itu mulai diperbincangkan orang, jauh di luar tebalnya dinding penjara. Perang memperebutkan kekuasaan di antara raja-raja kecil dalam sel? Atau kelebihan penghuni yang membuat pendek sumbu pemikiran para napi sehingga kerusuhan mudah meledak?

Alasan-alasan tersebut kemudian berpilin membentuk simpul tak beraturan yang menjadi faktor sebab-akibat keruwetan masalah dalam penjara. Simpul utama dibentuk oleh ikatan pokok sesaknya penjara karena kelebihan penghuni.

Untung Sugiono, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, mengatakan penjara di seluruh Indonesia saat ini dihuni 113.000 narapidana yang idealnya ditempati 79.000 orang. Karena keterbatasan kapasitas itu napi harus tinggal bersesakan. Sel yang seharusnya hanya untuk 7 orang terpaksa dihuni 9 orang.

"Kapasitas untuk seluruh Indonesia itu 79.000 napi. Diisi 113.000. Itu sudah melebihi kapasitas. Terutama di kota-kota besar," kata Sugiono.

Kekurangan kapasitas atau daya tampung penjara ini diakui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Matalata. Menurut dia, sesaknya penjara bukan karena semakin banyak terdakwa yang divonis dan dipenjarakan. Tiga puluh sampai 35 persen penghuni penjara adalah tahanan titipan kejaksaan ataupun kepolisian yang menunggu proses persidangan.

Untuk mengatasi sesaknya penjara yang dijejali tahanan, melalui perubahan aturan penahanan, polisi dan kejaksaan seharusnya dapat menerapkan tahanan kota untuk terdakwa yang dianggap tidak berbahaya dan tidak dikhawatirkan melarikan diri. "Susahnya sekarang masyarakat ingin menahan semua orang. Kenapa tidak diaktifkan tahanan kota? Kan ada orang-orang yang tidak mungkin melarikan diri," kata Menteri Matalata.

Departemen Hukum dan HAM kemudian memikirkan cara lain untuk mengurangi kepadatan hunian penjara. Salah satunya memberikan pengurangan masa hukuman kepada sejumlah napi yang dianggap berkelakuan baik selama dipenjara. "Korting" masa hukuman juga dijadikan departemen ini untuk mengukur keberhasilan pengurus penjara dalam membina narapidana.

"Jadi, falsafahnya bagaimana menyimpan napi tidak terlalu lama. Sama dengan sekolah. Kalau ada sekolah yang menyimpan muridnya terlalu lama, berarti sekolah itu tidak beres," ujar Andi.
Selain masalah kelebihan penghuni penjara, masalah lain yang menghantui para pesakitan adalah rendahnya pemenuhan hak hidup dasar mereka. Kondisi penjara yang tidak memperhatikan kesehatan, makanan, dan kebutuhan beribadah menjadi masalah tambahan yang membuat tembok penjara terasa semakin sesak.

Pakar hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo mengatakan pemenuhan hak hidup dasar narapidana di Indonesia masih jauh dari ideal. Hal itu disebabkan rendahnya pemahaman pegawai lembaga pemasyarakatan mengenai makna pembinaan dan minimnya anggaran negara untuk menyediakan fasilitas hak dasar para narapidana.

"Hak atas kesehatan, makanan, beribadah tidak semuanya terpenuhi secara optimal. Kalau bicara hak asasi manusia memang sangat minimum yang bisa diberikan, karena memang kondisi fasilitasnya tidak terlalu memungkinkan," kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1979 ini.

Rendahnya pemahaman sipir penjara soal pembinaan napi, ditanggapi Wilson, mantan tahanan politik rezim Orde Baru. Menurut dia, gaji sipir penjara yang rendah membuat mereka malas mengurusi kebutuhan para napi. Bahkan, untuk urusan makan, penghuni penjara harus kreatif putar otak memenuhi kebutuhan gizi.

Kebutuhan olah raga juga tidak diperhatikan. Padahal, energi berlebih para napi karena tidak berkegiatan harus disalurkan lewat cara-cara yang positif. Hal itulah yang membuat Wilson beserta tahanan politik lainnya saat itu menggerakkan kegiatan olah raga di hotel prodeo tersebut.

"Para sipir berpikir dengan yang kecil, mereka enggan bersusah payah mengurusi para napi yang galak-galak. Dengan tingkat kesejahteraan yang seadanya, mereka tidak punya semangat untuk mengurus penghuni penjara," katanya.

Rendahnya kesejahteraan sipir inilah yang juga memicu kreativitas "ngobyek" memberikan fasilitas ekstra dengan imbalan uang. Praktik ini, menurut Anton Medan, menyebabkan tingkatan atau strata penghuni penjara.

Mantan napi kelas kakap penjara Cipinang ini menuturkan, napi berduit dan mampu membayar fasilitas lebih yang ditawarkan sipir dikategorikan sebagai napi elite. Sedangkan napi kere yang tidak mempunyai banyak uang dikategorikan sebagai napi abal-abal.

Beragam fasilitas bisa didapat para napi elite, tergantung jumlah uang sogokan kepada sipir. Mulai dari sel ber-AC, televisi, prempuan, bahkan izin keluar penjara dengan alasan berobat karena sakit. "Saya bahkan bisa punya anak dengan istri saya yang tinggal di luar penjara," ujarnya. (E1)

Penulis: Angga Haksoro. Reporter: Yulianti, Fathiah Wardah Alatas, Liza Desilanhi, Kurniawan Tri Yunanto, Indah Nurmasari.

http://www.vhrmedia.com/vhr-news/bingkai-detail.php?.g=news&.s=bingkai&.e=4o



©2007 VHRmedia.com


Kamis, 06 September 2007

Persatuan Narapidana Indonesia

Pidana
Mas Kopdang

Narapidana apakah bentukan katanya sama dengan narasumber? Sepertinya iya. Atau malah berbeda jauh?

Lalu Apakah Narapidana yang identik sebagai orang bertato, sampah masyarakat dapat dijadikan seorang narasumber? Kenapa tidak?

Pidana, walaupun “ada” dan “menjadi bagian dari “udara pagi-siang malam” kehidupan masyarakat Indonesia, namun aktualisasi pencitraan dirinya sungguh memprihatinkan.

Siapa yang mau datang ke kantor polisi selain bikin Surat Keterangan Berkelakuan Baik untuk syarat masuk PNS atau BUMN? Atau masuk TNI dan POLRI.

Pidana identik dengan hukuman. Dan itulah yang dialami oleh Roy Marten, Mulyana W Kusumah, dan Rahardi Ramelan. Mereka bertiga, mantan narapidana yang menginspirasikan diri mereka sendiri untuk membentuk Persatuan Narapidana Indonesia (KOMPAS hari ini).

Apakah Setiap Narapidana itu Jahat ?

Pertanyaan yang klise. Yang bertanya saja mungkin bosan, apalagi yang menjawabnya. Saya dalam hal ini melepaskan diri dari pengkutuban Pidana Indonesia, sebagai turunan dan hasil eksperimen Ahli Hukum Belanda, dengan membaginya menjadi Pelanggaran dan Kejahatan.

Bila kita kena Tilang, sesuai kepanjangannya -Bukti Pelanggaran- maka kita dianggap telah dianggap melakukan tindak pidana. Apakah kena tilang lantas kita berubah menjadi jahat?

Dan Hukum Pidana Indonesia bukanlah Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah) maupun Hukum Pidana Agama lainnya ataupun bila dikatakan Hukum Tuhan. Mengapa saya menyatakan demikian? Karena memang sumbernya sangat berbeda.

Hukum Tuhan ya asal-muasalnya dari Firman Tuhan yang disampaikan oleh Yang Mulia Para Penyampai Amanah. Sebuah dogma. Tanpa bisa ditawar. Take it or Leave it. Persis kalau belanja di Carrefour. Punya duit silahkan ambil, ndak punya silahkan minggir.

Nah, sedangkan Pidana Indonesia muncul dari kesepakatan Penyelenggara Negara dengan proses dasar penalisasi. Membuat pidana sebuah Perbuatan. Membuat Pidana Sebuah Keadaan. Bahkan membuat delik Pidana saat kita tak melakukan apa-apa.

Contohnya yang paling mudah:

Di Negara X, para pecandu psikotropika (extasy) masih dianggap sebagai korban/ victim, bukan pelaku kejahatan. Sedangkan di Indonesia, sebelum adanya Undang-undang Psikotropika di negara kita, peminum amfetamin dan ekstasi, boleh-boleh saja. Namun Lama-kelamaan dapat merusak generasi muda, maka penyelenggara negara berembug mencari solusi, maka dibuatlah proses yang disebut Penalisasi.

Membuat yang tadinya BOLEH menjadi TIDAK BOLEH.

Dalam kasus perdagangan Candu-pun seperti ini. Jaman dulu, tempat plesiran di Batavia terdapat kedai untuk menghisap candu. Qua peraturan, dulu boleh. Namun apa lacur bila kedai tersebut buka saat ini? Perbedaannya adalah dahulu boleh sedangkan sekarang sangat dilarang.

Pihak pemutus boleh-tidaknya adalah negara melalui Peraturan Perundang-undangan. Inilah yang disebut Penalisasi. Sebuah perbuatan biasa, yang diubah menjadi perbuatan pidana melalui proses pengaturan via Undang-undang.

Sehingga Pidana adalah masalah hubungan baik - ketaatan seseorang - kepada aturan yang berlaku di negara tempat seseorang tersebut berkewarganegaraan.

Singkatnya: Hubungan Hukum antara Warga Negara dan Negaranya.

… bersambung …

http://kopidangdut.wordpress.com/2007/09/06/pidana/

Kebijakan Pembebasan Bersyarat Masih Sekedar Pemanis

Pemerintah Belum Serius Atur Pembebasan Bersyarat



Peraturan Menhukham Andi Matalata tentang pemberian pembebasan bersyarat dinilai NAPI hanya sebagai pemanis.

Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI) protes terhadap ketentuan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenhukham) No. M.01.PK.04-10 tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. “Belum mengubah paradigma memelihara narapidana selama mungkin di penjara,” kata Rahardi Ramelan, Ketua NAPI, saat deklarasi NAPI di Jakarta, Rabu (5/9).

Peraturan yang dikeluarkan di rezim Andi Matalata ini, memang memperbaharui sistem perhitungan pembebasan bersyarat (PB) yang sebelumnya diatur dalam Kepmenkeh M.01-PK.04.10 tahun 1999. Sejatinya peraturan yang ditelorkan pada 16 Agustus 2007 ini akan dijadikan ajang cuci gudang Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Perbedaan Pola Perhitungan Pembebasan Bersyarat

Permenhukham No. M.01.PK.04-10/2007
PB = 2/3 (hukuman-remisi)--------> Dihitung sejak in kracht

Kepmenkeh No. M.01-PK.04.10/1999
PB = 2/3 (hukuman-masa tahanan-remisi)---------> Dihitung sejak ditahan


Perhitungan PB yang dimulai sejak ditahan, menurut Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiono beberapa waktu lalu, justru akan mempercepat proses PB. Hal ini juga diakui oleh NAPI dalam siaran persnya. “Bisa mempercepat satu bulan sepuluh hari,” seperti tertuang dalam pers release tertanggal 5 September 2007.

Sayangnya, perhitungan baru itu tetap menghilangkan sepertiga masa remisi. Karena komponen remisi dikalikan dua pertiga. Padahal, “Remisi harus diberikan secara utuh,” ujar Mulyana Wira Kusumah, anggota KPU, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal NAPI.

Menurut NAPI, hal itu justru bertentangan dengan Pasal 14 UU No. 12/95 tentang Lembaga Pemasyarakatan. Berbenturan pula dengan PP No. 32/99 dan Keppres No. 174/1999, keduanya khusus mengatur tentang Remisi. “Ketiga aturan itu sama sekali tidak menyebutkan pemotongan remisi,” jelas Mulyana. Apalagi, lanjutnya, pemotongan remisi inilah yang menyebabkan kapasitas Lapas membludak.

Sedangkan ketentuan Kepmenkeh diatas malah menghilangkan sepertiga masa tahanan dan remisi. Karena itu, kebijakan Andi Matalata dinilai hanya sebagai ‘pemanis’ dalam mengurangi kapasitas Lapas. “Regulasi yang menyimpang ini harus segera dihentikan,” tegas Rahardi Ramelan.

Selain itu, NAPI juga menghimbau pemerintah dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM, agar membebaskan pengajuan PB dari pungli. Masalah klasik ini masih saja menghantui narapidana untuk mendapatkan hak-haknya.

Seorang mantan narapidana yang juga hadir dalam acara itu, menuturkan pengalamannya ketika ditahan di Rutan Salemba. “Untuk mengajukan PB saya harus memberikan uang sebesar Rp8 juta,” katanya.

Untuk itu, NAPI meminta kepada pemerintah untuk membenahi mental pra petugas penjara. NAPI berpendapat semua biaya harus menjadi tanggungan pemerintah. Selain itu, PB harus diberikan secara otomatis jika sudah jatuh tempo, sepanjang narapidana yang besangkutan berkelakukan baik.

Sebelumnya, Untung Sugiono menjamin pemberian PB akan sampai dengan selamat ke tangan narapidana. Pasalnya, saat ini ia mulai melakukan pendataan narapidana dengan sistem online. Dengan sistem ini semua data tentang narapida dan hak-haknya bisa diakses oleh pihak yang berkepentingan. “Dengan sistem terbuka maka tidak akan ada lagi pungli,” kata Untung.


Perjuangan NAPI

Melihat kondisi narapidana yang masih terlilit masalah dalam memperjuangkan hak-haknya, NAPI hadir untuk memperjuangkan hak-hak narapidana sesuai dengan nilai-nilai hak azasi manusia.

Ada tiga hal yang akan dilakukan NAPI dalam perjuangannya :


  1. melakukan revisi aturan teknis yang menghambat hak narapidana, salah satunya soal perhitungan PB.
  2. melakukan reformasi praktik penyelenggara lembaga pemasyarakatan.
  3. perbaikan kelembagaan Lapas itu sendiri.

Untuk memperjuangkan cita-citanya, NAPI tidak sendirian. NAPI menggandeng Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). “YLBHI akan membantu dalam advokasi kebijakan,” terang Taufik Basari, Direktur Hukum dan Advokasi YLBHI.

Strategi yang akan dilakukan dengan melakukan diskusi kajian-kajian terhadap masalah-masalah yang terjadi di Lapas. Hasilnya akan dituangkan dalam paper position dan disampaikan kepada instansi terkait. “Narapidana harus diperlakukan sesuai dengan haknya sebagai manusia,” tegas Taufik.

(Mon)

http://hukumonline.com/detail.asp?id=17530&cl=Berita

Rahardi Ramelan Dirikan Organisasi NAPI


Sejumlah mantan pejabat, pengusaha, dan artis yang pernah merasakan sengsaranya hidup di balik jeruji besi, mendeklarasikan Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI). Organisasi ini menggandeng Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). NAPI akan membantu memperjuangkan hak-hak narapidana secara intelektual.

Deklarasi NAPI dibacakan oleh mantan Menperindag/Kabulog Prof Dr Rahardi Ramelan sekaligus sebagai ketua umum organisasi yang didirikannya itu di Jakarta, Rabu (5/9).

Ketua ditempati mantan Panglima Prointegrasi Eurico Guttcrres dan Roy Marten. Sedangkan bendahara dijabat Sussongko Suharjo, Sekjen Mulyana W Kusumah, Dewan Pembina Probosutedjo dan Dewan Pengawas DL Sitorus. Organisasi yang beranggotakan 18 ribu napi dan eks napi di seluruh Indonesia ini, kata Rahardi, dibentuk dari meprihatinan terhadap kondisi napi. "Zaman sekarang napi lebih sengsara dari zaman dulu, gerakan reformasi yang kebanyakan dianggap orang era demokrasi malah lebih menyengsarakan napi dan mendorong mereka sebagai obyek," kata Rahardi yang lebih 2 tahun merasakan pahitnya hidup di dalam LP.

Regulasi yang menyimpang, kata Rahardi, harus segera dihentikan. Karena itu, organisasi ini nantinya akan membantu memperjuangkan hak para napi.

Yang paling menonjol, kata sahabat BJ Habibie ini, soal peraturan Menkum HAM hanya mempercepat napi yang mengambil fasilitas pembebasan bersyarat sepertiga dari masa tahanan. Aturan ini dianggap baik, namun di sisi lain pengurusannya membutuhkan biaya banyak sehingga hanya sebagian kecil napi yang bisa membiayai.
"Jika pemeritah serius menangani LP, maka seharusnya fasilitas pembebasan bersyarat diberikan otomatis tanpa biaya bukan membebankan biaya kepada napi,"ujarnya. 05 dtc

Sumber : Berita Kota, 6 September 2007

http://www.ylbhi.or.id/index.php?cx=2&cy=1.8&op=3000



Rabu, 05 September 2007

Rahardi Deklarasikan NAPI: Probo Pembina, Mulyana Sekjen



Nadhifa Putri - detikcom

Jakarta - Sejumlah mantan pejabat, pengusaha dan artis yang pernah merasakan sengsaranya hidup di balik jeruji besi, mendeklarasikan Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI). NAPI menggandeng YLBHI.

Organisasi ini akan membantu memperjuangkan hak-hak narapidana secara intelektual.

Deklarasi dibacakan mantan Menperindag/Kabulog Rahardi Ramelan yang menjabat sebagai ketua umum.

Duduk di jajaran organisasi ini orang-orang terkenal, seperti ketua yang ditempati mantan Panglima Pro Integrasi Eurico Gutterres dan Roy Marten. Sedangkan bendahara dijabat Sussongko Suharjo, Sekjen Mulyana Kusumah, Dewan Pembina Probosutedjo dan Dewan Pengawas DL Sitorus.

Organisasi yang beranggotakan 18 ribu napi dan eks napi di seluruh Indonesia ini, kata Rahardi di sela deklarasi di Hotel Accacia, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (5/9/2007), dibentuk dari keprihatinan terhadap kondisi napi.

"Zaman sekarang napi lebih sengsara dari zaman dulu. gerakan reformasi yang kebanyakan dianggap orang era demokrasi malah lebih menyengsarakan napi dan mendorong mereka sebagai obyek," kata Rahardi yang lebih 2 tahun merasakan pahitnya hidup di dalam LP.

Regulasi yang menyimpang, kata Rahardi, harus segera dihentikan. Karena itu, organisasi ini nantinya akan membantu memperjuangkan hak para napi.

Yang paling menonjol, kata sahabat BJ Habibie ini, soal peraturan Menkum HAM hanya mempercepat napi yang mengambil fasilitas pembebasan bersyarat sepertiga dari masa tahanan. Aturan ini dianggap baik, namun di sisi lain pengurusannya membutuhkan biaya banyak sehingga hanya sebagian kecil napi yang bisa membiayai.

"Jika pemeritah serius menangani LP, maka seharusnya fasilitas pembebasan bersyarat diberikan otomatis tanpa biaya bukan membebankan biaya kepada napi," ujarnya.

Bisa saja, Depkum HAM menutup mata dan telinga terhadap penyimpangan ini. "Jika itu terjadi, maka NAPI dan YLBHI akan mengajukan uji material kepada MA atau MK.
(umi/nrl)

http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/05/time/163854/idnews/826084/idkanal/10



YLBHI - Partai?

pada sebuah acara. deklarasi persatuan narapidana indonesia (NAPI), sebuah organisasi eks napi dan napi yang memperjuangkan hak hak napi. -well, napi juga manusia-

organisasi semacam ini tidak satu. banyak. kebanyakan menjadi tempat tujuan pertama para eks napi begitu keluar lapas untuk cari info lowongan kerja. tidak berjuang di jalur konstituen.

namun NAPI yang dideklarasikan kemarin punya niat untuk berjuang di jalur konstituen. artinya, mereka berupaya memperjuangkan kebijakan dan implentasi positif yang mewujudkan hak-hak napi seperti akses kesehatan, misalnya. karena hak-hak itu perlu dilindungi secara legal, maka mereka menggandeng YLBHI sebagai mitra. untuk keperluan advokasi bidang hukum.

lalu, mbak-mbak berseragam biru sama denganku, yang duduk didepan tak berbaur, mengacung.

“saya dari media group. - grr… sekarang ganti ya, jadi media group - saya mau tanya, apa organisasi ini nantinya akan berarah membentuk sebuah partai politik?”

gerrr. twew twew….. seisi ruang berpandangan geli. beberapa menegok ke arahku. heh.. anak media group tuh..

lantas, si mbak berjepit di poni kiri seperti menyadari keanehan pada pertanyaannya. ia cepat cepat menambahkan dengan argumennya. mungkin agar terlihat masuk akal. “Ya soalnya saya lihat disini ada YLBHi yang jadi mitra?”

GEEERRRRRRRRR…. bener-bener deh ketawa. jeng antara dah ngikik sembari ngeliat gue dengan muka kasian. media group tuh ca. temen lo tuh.

hehe. bener-bener deh. jaka sembung bawa golok. nggak nyambung, nyong.

http://seeca.blogsome.com/

Sabtu, 01 September 2007

REMISI DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN INDONESIA

Menurut Pasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No.174 Tahun 1999, remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana. Merujuk pada Keppres tersebut, remisi dihitung pada saat menjalani masa pidana dan tidak dihitung dengan mengakumulasi masa penahanan.


DASAR HUKUM PEMBERIAN REMISI

  1. Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (pasal 14).
  2. Keputusan Presiden RI No.174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
  3. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan No.M.09.HN.02-01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keppres No.174 Tahun 1999 tentang Remisi.
  4. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.04-HN.02.01 Tahun 2000 tentang Remisi Tambahan bagi Narapidana dan Anak Didik.
  5. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.03-PS.01.04 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi Bagi Narapidana Yang Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara.
  6. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.01-HN.02.01 Tahun 2001 tentang Remisi Khusus Yang Tertunda dan Remisi Khusu Bersyarat serta Remisi Tambahan.

Ada beberapa jenis remisi pada Sistem Pemasyarakatan Indonesia :

Remisi Umum : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus.

Remisi Khusus : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana pada Hari Besar Keagamaan yang dianut oleh yang bersangkutan dan dilaksanakan sebanyak-banyaknya I (satu) kali dalam setahun bagi masing-masing agama.

Remisi Tambahan : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan atau melakukanperbuatan yang membantu kegiatan lembaga pemasyarakatan.

Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.

Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai Pasal ayat 7 UU.No.12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.


Hak-hak tersebut adalah :

  1. Hak untuk melakukan ibadah
  2. Hak untuk mendapat perawatan rohani dan jasmani
  3. Hak pendidikan
  4. Hak Pelayanan Kesehatan dan makanan yang layak
  5. Hak menyampaikan keluhan
  6. Hak memperoleh informasi
  7. Hak mendapatkan upah atas pekerjaannya
  8. Hak menerima kunjungan
  9. Hak mendapatkan remisi
  10. Hak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk mengunjungi keluarga
  11. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat
  12. Hak mendapatkan cuti menjelang bebas,
  13. serta hak-hak lain sesuai dengan peraturan yang berlaku

Perlu diingat bahwa hak-hak tersebut tidak diperoleh secara otomatis tetapi dengan syarat atau kriteria tertentu. Sama halnya dengan pemberian remisi.


Proses Pembinaan Narapidana
Ada 4 tahap dalam proses pembinaan narapidana Sistem Pemasyarakatan Indonesia. Remisi sudah dapat dihitung semenjak yang bersangkutan yang telah berstatus narapidana menjalani masa pidana atau dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia disebut dengan menjalani proses pembinaan.

Dalam tahap pertama menjalankan proses pembinaan terhadap narapidana, lembaga pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap hal ikhwal narapidana; sebab dilakukannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) masa pidananya. Pada tahap ini, pembinaan dilakukan didalam lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan maksimum.

Pada
tahap kedua proses pembinaan, setelah yang bersangkutan telah menjalani 1/3 masa pidana yang sebenarnya, serta narapidana tersebut dianggap sudah mencapai cukup kemajuan maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan dalam pengawasan medium security. Yang dimaksud dengan narapidana telah menunjukkan kemajuan disini adalah dengan terlihatnya keinsyafan, perbaikan diri, disiplin dan patuh pada peraturan tata-tertib yang berlaku di Lembaga.

Setelah menjalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari 2 bagian yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan 1/2 dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dengan sistem pengawasan menengah (medium security). Tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum.

Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan
tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan.

Besarnya Remisi Yang Diberikan Kepada Narapidana dan Anak Pidana

A. Remisi Umum (17 Agustus)

a. Tahun Pertama apabila telah menjalani 6 bulan s/d 12 bulan, besarnya remisi 1 bulan.
b. Tahun Pertama apabila telah menjalani lebih dari 12 bulan, besarnya remisi 2 bulan.
c. Tahun Kedua, besarnya remisi 3 bulan.
d. Tahun Ketiga, besarnya remisi 4 bulan.
e. Tahun keempat, besarnya remisi 5 bulan.
f. Tahun kelima, besarnya remisi 5 bulan.
g. Tahun keenam, besarnya remisi 6 bulan.
h. Tahun ketujuh dan seterusnya, besarnya remisi 6 bulan
.
B. Remisi Khusus (Idul Fitri, Natal, Nyepi dan Waisak)

Tahun Pertama apabila telah menjalani pidana 6 bulan sampai dengan 12 bulan, diberikan remisi sebesar 15 hari.
Apabila telah menjalani 12 bulan atau lebih, diberikan remisi sebesar 1 bulan.
Tahun kedua dan ketiga, diberikan masing-masing 1 bulan.
Tahun keempat dan kelima , diberikan masing-masing 1 bulan 15 hari.
Tahun keenam dan seterusnya, diberikan remisi 2 bulan.

C. Remisi Tambahan
a. Berbuat jasa pada negara :

  • Membela negara secara moral, material dan fisik dari serangan musuh.
  • Membela negara secara moral, material dan fisik terhadap pemberontakan yang berupaya memecah belah atau memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI.
    Besarnya remisi : 1/2 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan
    .

b. Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan.

  • Menemukan inovasi yang berguna untuk pembangunan bangsa dan negara RI.
  • Turut serta mengamankan Lapas atau Rutan apabila terjadi keributan atau huru hara.
  • Turut serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan bencana alam di lingkungan Lapas, Rutan atau wilayah sekitarnya.
  • Menjadi donor darah 4 (empat) kali atau salah satu organ tubuh bagi orang lain.
    Besarnya remisi yang diberikan sebesar 1/2 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan.

c. Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lapas atau Rutan.

Pemuka kerja.
Melakukan pendidikan dan pengajaran kepada sesama narapidana dan anak didik.
Besarnya remisi yang diberikan 1/3 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan

Dengan mengetahui cara menghitung pemberian remisi maka masyarakat dapat membuat estimasi angka remisi. Angka remisi yang didapat tentunya akan mengurangi jumlah masa hukuman seorang narapidana, serta membuat seorang narapidana dapat lebih cepat kembali kepada keluarga dan masyarakatnya sebagai warga negara yang baik, menyongsong masa depan yang lebih baik.

------------------------
Oleh. Fatma Puspita Sari
Penulis adalah Staf pada Biro Humas dan HLN


http://www.depkumham.go.id/templates/NewsComment.aspx?pm3nc=1&params=Z3VpZD0lN2JCNTVEN0Y1Ny1BMDAwLTREQUQtQjg1RS0wQzRDQURCNkUwMEIlN2Q%3D



Senin, 27 Agustus 2007

PEMASYARAKATAN, Antara CITA-CITA dan REALITA

Sudut Pandang Narapidana di LP Cipinang

PENDAHULUAN
Mengalami proses penyidikan sebagai tersangka di Kejaksaan Agung dan pengadilan di PN Jakarta Selatan, serta proses banding di Pengadilan Tinggi dan Kasasi serta Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung pada tahun 2002 – 2006, bisa mendapatkan gambaran sepintas apa yang telah terjadi dalam peradilan kita.

Kemudian pengalaman menjadi penghuni LP Cipinang sebagai tahanan Kejaksaan Tinggi dan Pengadilan Negeri pada tahun 2002 selama 69 hari dan sebagai narapidana pada tahun 2005/2006 selama 13 bulan, telah memberikan pengertian mengenai kehidupan di penjara beserta segala masalahnya. Interaksi dengan narapidana lainnya dengan berbagai kasus dan jenis hukuman makin melengkapi pengetahuan mengenai keadaan peradilan kita.

Masalah pemasyarakatan tidak bisa terlepas dari proses peradilan sebelumnya, dan juga tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat umumnya.
Berbagai isyu yang menyelubungi peradilan kita seperti masalah suap, rekayasa, intervensi penguasa dan lainnya, akhirnya akan bermuara di Lembaga Pemasyarakatan.

Dengan meningkatnya penanganan masalah kasus korupsi oleh KPK dan Tastipikor juga membawa dampak yang signifikan dalam proses peradilan dan kehidupan di Lapas.
Apa yang terjadi di Lapas harus dilihat dari falsafah (konsep) mengenai pemasyarakatan yang dicetuskan oleh DR. Sahardjo pada tahun 1962, dan kemudian ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964

CITA – CITA
Peradilan
Pentahapan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa institusi yang terpisah dan independen, harus diartikan bahwa ingin diciptakannya proses check and balance dalam pelaksanaannya. Pantahapan mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan (pengadilan) dan akhirnya pemidanaan merupakan proses agar seseorang mendapatkan keadilan yang sesungguhnya. Proses inipun diharapkan akan menjamin seseorang atau “barang siapa” dapat kembali ke masyarakat dan lingkungannya dengan baik.

Narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan hanya merupakan bagian kecil dari mereka yang melakukan pelanggaran atau melawan hukum, sebagian besar dari mereka berada didalam masyarakat dan menikmati kebebasan. Apalagi dengan berkembangnya ketidak adilan, rekayasa, dan pengaruh kekuasaan (uang dan penguasa) dalam proses peradilan, menyebabkan sebagian penghuni Lapas bukanlah mereka yang seharusnya menjalani hukuman. Kesemrawutan proses peradilan dan politik tersebut akhirnya menjadi tanggung jawab Lapas.

Dengan berkembangnya sistem peradilan kita, yang juga menempatkan Kejaksaan kedalam tugas penyelidikan dan penyidikan untuk menangani kasus subversi, ekonomi dan korupsi, dan kemudian ditambah dengan dibentuknya KPK dan TASTIPIKOR untuk menangani kasus-kasus korupsi, maka sistem check and balance dalam tahapan peradilan kita menjadi tidak terwujud dengan baik.

Selain tempat tahanan di Kepolisian, mulai Polsek sampai Mabes, berkembang juga ruang-ruang tahanan di Kejaksaan, termasuk Kejaksaan Agung. Dengan alasan yang berbeda masing-masing institusi mempertahankan “orang-orang tertentu” tetap berada dalam tahanan mereka, terkadang memasuki masa pemidanaan.

Contohnya kasus-kasus KPU, BNI, Jamsostek, Suap polisi dan yang lainnya, menimbulkan banyak pertanyaan. Kesemua ini menimbulkan semakin berkurangnya arti “sama dimuka hukum” atau arti “barang siapa”. Terjadilah istilah-istilah “tebang pilih” atau dijadikannya seseorang sebagai “ATM”. Kesemua ini menambah perasaan “sakit hati” bagi penghuni Lapas.

Pemidanaan
Keadaan di Lapas tidak terlepas dari proses sebelumnya. Terjadinya diskriminasi terhadap “barang siapa” untuk ditahan ditempat yang berbeda. Istilah tahanan “jelas” dan “tidak jelas” pun menjadi populer. Masing-masing tempat penahanan berusaha untuk mendapatkan penghuni “jelas”, untuk bisa membiayai keperluan institusinya dan dijadikan sebagai “ATM”. Terpidana bukan saja berada di Lapas, tetapi juga berada di tahanan Kejaksaan Agung atan Kepolisian. Disisi lain Lapas juga dijejali dengan tahanan baik dari Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan. Keadaan demikian makin memperparah keadaan di Lapas, dan menjauhkan Lapas dari cita-cita “pemasyarakatan”.

PEMASYARAKATAN
Kalau kita akan membahas pengelolaan atau manajemen Lapas, kita harus berangkat dari Konsep Pemasyarakatan yang ditetapkan pada tahun 1964. Dari 10 prinsip pemasyarakatan, ada 5 hal yang saya anggap penting

o Satu-satunya hukuman adalah kehilangan kemerdekaan bergerak
o Pemidanaan bukan upaya balas dendam negara
o Tidak diasingkan dari masyarakatnya
o Tidak boleh lebih buruk atau jahat dari semula
o Narapidana juga manusia

Untuk melaksanakan ini berbagai peraturan perundangan kolonial yang sudah tidak sesuai, dipebaharui dan disesuaikan melalui berbagai Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri maupun Keputusan Dirjen.

Baru kemudian lahir Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tetang Pemasyarakatan. Dalam prakteknya, setelah diundangkannya UU 12/1995, masih banyak peraturan pelaksanaannya menggunakan peraturan perundangan sebelumnya dan juga peraturan perundangan zaman kolonial. Pada tahun 1999 berbagai Peraturan Pemerintah telah dibuat.

Sampai akhirnya muncul PP 28 tahun 2006, yang merupakan pengukuhan Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan sebelumnya. PP 28/2006 dipandang dari kacamata narapidana kasus-kasus tertentu sangat merugikan. Apalagi dengan keadaan peradilan kita yang diragukan menegakkan keadilan yang sebenarnya. Dengan suasana “kegundahan” para terpidana yang demikianlah, Lapas harus dikelola.

LP KELAS I CIPINANG
Baik sebelum maupun sesudah ada gedung baru. LP Cipinang tetap saja penghuninya berjubel (sekitar 4000 orang pada bln Nopember 2006). Setengahnya adalah tahanan titipan dari Kejaksaan (terutama yang “tidak jelas”) maupun Pengadilan.
Sisanya adalah narapidana, yang sebagian besar (70%) adalah mereka yang harus menjalani hukuman diatas 1 tahun, 29 % dengan hukuman antara 3 bln dan 1 tahun, sisanya SH dan MT. Mereka menjadi penghuni Cipinang dilatari kejahatan yang bebeda, pencurian, penipuan, perampokan, narkoba, terorisme, pembunuhan, HAM berat, sampai kejahatan ekonomi dan korupsi.

Mereka belum tentu bersalah, ada yang sengaja dijebak atau kejebak, tertangkap atau direkayasa karena keinginan kekuasaan ataupun tidak mempunyai uang.

Penghuni LP Cipinangpun sangat heterogen dilihat dari berbagai sisi. Pendidikan mulai yang buta huruf sampai Doktor atau Guru Besar. Intelektualnya yang sangat berbeda, mungkin dari IQ 90 sampai 140. Perbedaan ketrampilan, status sosial, suku dan lamanya hukuman menjadikan masyarakat LP Cipinang sangat heterogen. Muncul berbagai pengelompokan, yang merupakan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).

Dari sisi manajemen LP, jumlah staf, pegawai, dan petugas yang sangat terbatas tidak seimbang dengan jumlah narapidana. Struktur kepegawaian yang pincang, terutama kurangnya tenaga lapangan. Tidak memberikan kesempatan berkembang bagi pegawai non AKIP.

Pegawai yang mendapatkan pendidikan lanjutan, setelah selesai jarang mendapatkan tempat yang sesuai dengan keahliannya. Sifat dan prilaku organisasi yang otoriter dan militeristik menyebabkan tidak bekembanganya inisiatif dari bawah. Ditambah lagi dengan terbatasnya penghasilan dan tunjangan. Adanya tunjangan pemasyarakatan yang disebut tunjangan fungsional (bukan tunjangan fungsional yang sebenarnya) yang keliru, menyebabkan tidak mungkin berkembangnya jabatan fungsional lainnya (pranata komputer, dll).

Saat ini telah ditetapkan juga tunjangan risiko pekerjaan. Tetapi semua ini tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya di Jakarta. Banyak keputusan yang bekaitan dengan kewenangan Kalapas, ditarik keatas sampai tingkat Dirjen dan Menteri.

Walaupun kelihatannya seperti ada pendelegasian, tetapi yang didelegasikan bukan kewenangan tetapi tugas penanda tanganan.

Anggaran yang dialokasikan untuk operasional sangat terbatas, sehingga selalu diperlukan “partisipasi” narapidana dalam membiayai kegiatan tertentu, temasuk biaya operasional Lapas.

Hak seorang narapidana untuk mendapatkan kutipan keputusan, hanya bisa didapatkan dengan mengeluarkan biaya. Keputusan MA yang sering terlambat (kasus saya 10 bulan) sangat merugikan narapidana untuk mendapatkan hak-haknya.

Istilah hotel pordeo bagi LP dasarnya dudah tidak berlaku lagi. Berbagai kebutuhan dasar seperti perlengkapan kamar, makan, kesehatan, media-informasi, pendidikan harus dibiayai sendiri. Gedung baru yang mulai dioperasikan belum setahun, sudah terkesan kumuh. Pengamatan narapidana, gedung baru dibangun dengan konsep kembali ke penjara atau “boei”, jauh dari upaya pembentukan Lembaga Pemasyarakatan.

Kamar yang seyogyanya diisi 3 orang sekarang diisi 7 orang, yang untuk 5 orang diisi sampai 11 orang, dan yang untuk 7 orang diisi diatas 15 orang. Ruangan umum untuk narapidana bisa bersosialisasipun sudah dipadati oleh narapidana.

Fungsi beberapa ruangan lainnyapun sudah keliru sejak awal. Kamar mandi bersama yang dilengkapi sprinkle, sekarang dimanfaatkan menjadi kamar atau dapur (walaupun sebetulnya dapur digedung baru tidak diperkenankan), incinerator untuk sampah belum pernah dioperasikan, demikian juga generator back up berdiri seperti semula.

Sumber dan volume air yang dibangun baru, tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga beberapa buah sumur bor terpaksa sibuat disekeliling bangunan (tentu atas biaya penghuni). Kunjungan yang menjadi faktor penting dalam pemasyarakatan (tidak diasingkan dari masyarakatnya) terutama hubungan keluarga telah menjadi ajang rebutan kekuasaan dan penghasilan. Hubungan mesra (termasuk oral sex) antara narapidana dengan pasangannya tidak dapat dihindarkan, dan terjadi serta dilihat oleh orang sekitarnya, termasuk anak-anak.

Dengan dipasangnya kamera monitor diruang kunjungan, semua prilaku narapidana dan pengunjung dapat dilihat oleh para petugas di operation room. Kalau kunjungan kebutuhan biologis ini tidak diatur, maka kekerasan sexual antar sejenis akan terjadi.

Dalam reintegrasi sosial, peraturan perundangan telah mengatur berbagai ketentuan seperti remisi, asimilasi, CMK, PB, dan CMB. Tetapi berbagai peraturan yang mengatur prosedur pelaksanaanya sedemikian ruwetnya, sehingga hanya bisa berjalan kalau ada biayanya (surat jaminan, surat keterangan RT/RW/Lurah, Rapat TPP disemua tingkatan).
Keadaan demikian menimbulkan meluasnya budaya “imbalan”.

Kehidupan didalam LP merupakan sub-kultur yang susah dimengerti, tetapi harus dialami, dan merupakan refleksi keadaan diamasyarakat luas.

MANAJEMEN
Sampai sekarang (sekurang-kurangnya di LP Cipinang), penilaian terhadap kinerja manajeman LP ditetapkan oleh dua faktor yaitu ketenangan dan keamanan, serta tidak terjadinya pelarian. Faktor-faktor inilah yang menjadi perhatian utama manajeman, dengan mengenyampingkan berbagai peraturan seperti disiplin, pemakaian HP, pemakaian dan peredaran narkoba, menyediakan makanan sendiri dan lain-lain.

Banyaknya “keharusan” narapidana dapat menyediakan kebutuhannya sendiri, karena kemampuan ekonomi yang berbeda, telah menimbulan kesenjangan sosial, yang mengarah kepada terjadinya friksi sosial diantara penghuni. Inilah yang menimbulkan diperlukannya “uang keamanan” atau “uang gaul” diantara kelompok-kelompok narapidana.

Seyogyanya kinerja manajemen LP perlu dinilai dari keberhasilan proses pemasyarakatan itu sendiri. Misalnya jumlah narapidana yang melakukan asimilasi, apakah CMK, PB dan CMB dilaksanakan tepat pada waktunya. Sepengetahuan saya selama 2 tahun terakhir di LP Cipinang tidak ada yang menjalankan asimilasi. Pelaksanaan PB dan CMB molor dari waktunya.

Bagi saya sendiri misalnya, pengusulan mendapatkan CMK samasekali tidak ditanggapi, yang berarti ditolak.

Banyak hal lain yang masih dapat diungkapkan berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, bimbingan kerja dan lain lian. Mungkin bisa lebih fokus kita bahas dalam kesempatan lain.

PENUTUP
o Perbaikan atau revitalisasi manajemen Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari perbaikan sistem peradilan kita secara keseluruhan. Check and balance harus ditegakkan, agar sekurang-kuragnya “barang siapa” mendapatkan proses pengadilan yang fair.

o Lapas adalah muara dari proses peradilan, dan tempat yang paling lama akan dihuni oleh seorang narapidana.

o Pengaturan kembali penetapan rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, untuk tidak menimbulkan kecurigaan, perlakuan istimewa, atau kerugian bagi narapidana.

o Perbaikan kesejateraan pegawai dan petugas merupakan langkah penting untuk mengurangi budaya “imbalan”.

o Perbaikan atau perubahan manajemen di Lembaga Pemasyarakatan, tidak terbatas pada revitalisasi, tapi harus merupakan perubahan budaya atau “change”.

o Apakah konsep pemasyarakatan 1964 masih akan diterapkan dan dilanjutkan?

Jaharta, 25 Nopember 2006
Rahardi Ramelan
Mantan penghuni LP Cipinang
disadur kembali oleh http://napi1708.blogspot.com/