PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Team Futsal Narapidana Indonesia

Buktikan Sportivitasmu dan Buktikan Kamu Mampu, Semboyan olaharaga Narapidana Indonesia dalam rangka Pembinaan Kepribadian

Rabu, 30 Mei 2007

PN. PALEMBANG MELANGGAR HAM

SUARA PEMBARUAN DAILY
Rahardi Ramelan: JUBIR NAPI

[JAKARTA] Tindakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang yang tidak mengizinkan seorang tahanan H Muhammad Yassin untuk melayat istrinya, Hj Siti Aisyah yang meninggal dunia, sungguh melanggar hak asasi manusia (HAM). Karena tindakan hakim yang tidak manusia, jenazah istri Muhammad Yassin terpaksa "menjenguk" suaminya ke Rumah Tahanan (Rutan) Merdeka, Palembang.

"Persatuan Napi Indonesia (NAPI) menyatakan protes keras atas kejadian memilukan dan melanggar HAM itu," tandas Juru Bicara NAPI, Prof Dr Rahardi Ramelan MSc ME, Rabu (30/5) pagi, menanggapi berita SP Senin 28/5. Jenazah "membesuk" suami di penjara, mungkin pertama di dunia. "Ini tidak boleh terulang lagi," tandas Rahardi yang juga mantan Menperindag dan mantan Kepala Bulog.

Pernyataan sikap NAPI yang sekaligus menjadi siaran pers, ditujukan kepada Mahkamah Agung (MA), Menteri Hukum dan HAM (Menhukam), Komisi III DPR, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komisi Nasional Hak Asasi HAM. NAPI sendiri, dideklarasikan di LP Cipinang 17 September 2006. Pengurus NAPI adalah Euriko Guterres, Aprilla Widharta dan Sihol P Manullang. Juru Bicara, Rahardi Ramelan dan Dr Ir Sussongko Suhardjo MSc MPA.

Rahardi mengatakan, NAPI mendesak MA untuk mempelajari kasus ini, dan mengambil tindakan tegas terhadap hakim yang menangani perkara H Muhammad Yassin. MA juga perlu mengingatkan kembali kepada seluruh Hakim di Indonesia, agar memahami tata cara Cuti Luar Biasa bagi tahanan.

NAPI juga mendesak Menteri Hukum dan HAM untuk memberikan keterangan kepada masyarakat mengenai kejadian tersebut, secara transparan tanpa ditutupi.

Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan Jakarta, perlu menelusuri kasus ini agar tidak terulang di masa akan datang. "Kalau memang DPR membela rakyat, kasus ini tak boleh luput dari perhatian Komisi III DPR."

"Kami meminta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk mengkaji kasus ini, selanjutnya bersama-sama NAPI membawa dan menuntaskan masalah ini sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Anggaran Dasar YLBHI yang antara lain mengatakan semua manusia harus diperlakukan sama dan sederajat, hendaknya menjadi landasan kuat bagi YLBHI untuk terus mendampingi kaum yang tak berdaya," tandasnya.

NAPI mengharapkan, Komnas HAM kiranya melakukan investigasi dan mengumumkan hasilnya kepada publik. Narapidana dan tahanan di seluruh Indonesia rentan terhadap pengebirian hak, sehingga Komnas HAM seharusnya lebih berperan dalam pencegahan eliminasi hak-hak napi dan tahanan. [W-8]

Last modified: 30/5/07

ditulis dari Media cetak Suara pembaruan, hal 12 Nusantara


Selasa, 29 Mei 2007

SURAT NAPI ke II pada MENHUKHAM

Jakarta, 27 Mei 2007
Nomor : 03/NAPI-JB-RR/V/07
Hal : Protes keras atas perlakuan terhadap Tahanan di LP Palembang

Kepada Yth
1. Ketua Mahkamah Agung (MA)
2. Menteri Hukum HAM
3. Komisi III DPR RI
4. Ketua YLBHI
5. Ketua Komnas HAM
6. Media Massa Nasional

Dengan hormat.
Sebagaimana disiarkan Metro TV (Minggu 27/5 pagi) dan media massa cetak nasional, seorang tahanan di LP Palembang, H Muhammad Yassin, mengalami perlakuan yang tidak manusiawi: Hakim PN Palembang, cq Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut, tidak memberi ijin untuk melayat istrinya yang meninggal dunia pada tanggal 25 Mei 2007.

Demikian juga Kepala Rutan Palembang yang dimohonkan ijin-nya, juga menolak permintaan tersebut , karena status saudara H Muhammad Yassin adalah tahanan. Akhirnya, keluarga membawa jenazahnya ke LP-Rutan Palembang, agar H Muhammad Yassin bisa melihat istrinya, untuk terakhir kali.

Atas pengebirian hak tahanan tersebut, Persatuan Napi Indonesia (NAPI) menyatakan sebagai berikut:
  1. Menyatakan protes keras terhadap Majelis Hakim PN Palembang yang tidak memberikan ijin kepada tahanan tersebut. Hakim PN Palembang telah menginjak-injak hak asasi manusia.

  2. Mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk memperlajari kasus ini, dan mengambil tindakan tegas terhadap Hakim yang menangani perkara H Muhammad Yassin. Supaya kasus serupa tidak terulang lagi di masa mendatang, maka MA perlu mengingatkan kembali kepada seluruh Hakim di Indonesia, agar memahami tata cara Cuti Luar Biasa (CLB) bagi tahanan dan narapidana.

  3. Mendesak Menhuk HAM untuk memberikan keterangan kepada masyarakat, secara transparan tanpa ditutupi mengenai kejadian tersebut.

  4. Meminta kepada Komisi III DPR untuk menulusuri kasus ini agar tidak terulang dimasa akan datang.

  5. Mendesak YLBHI untuk mengkaji kasus ini, untuk selanjutnya bersama-sama NAPI membawa dan menuntaskan masalah ini sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Anggaran Dasar YLBHI yang antara lain mengatakan bahwa semua manusia harus diperlakukan sama dan sederajat, hendaknya menjadi landasan kuat bagi YLBHI untuk terus mendampingi kaum yang tak berdaya.

  6. Meminta Komnas HAM untuk melakukan investigasi dan mengumumkan hasilnya kepada publik. Narapidana dan tahanan di seluruh Indonesia rentan terhadap pengebirian hak, sehingga Komnas HAM dapat lebih berperan dalam pencegahan eliminasi hak-hak naparapidana dan tahanan.

  7. Mengharapkan media massa nasional untuk terus meliput kasus semcam ini dan memberi edukasi mengenai hak-hak narapidana kepada publik. Sebagai peyambung lidah rakyat, terutama anggota publik yang hak-haknya teraniaya, kiranya pers akan semakin memperkokoh fungsi advokasi dalam alam demokrasi sekarang ini.

    Demikian pernyataan NAPI.
    Terima kasih.

    Prof Dr Rahardi Ramelan MSc ME
    (Juru Bicara NAPI)

Tembusan:
1. Ketua PN Palembang.
2. Dirjen Pemasyarakatan Dephuk-HAM.
3. Dirjen HAM Dephuk-HAM.
4. Kepala Rutan Palembang.
5. Ketua LBH Palembang.

Jl Bungur Raya 9 Harjamukti Cimanggis Depok 16954 Tel 021- 873 47 09 Faks 021 - 873 01 05 allnapi@yahoo.com


Minggu, 20 Mei 2007

LEMBAGA PEMASYARAKATAN bukan PENJARA


PEMASYARAKATAN
Rahardi Ramelan

Dipicu oleh kenyataan bahwa banyak narapidana yang meninggal dunia di dalam lembaga pemasyarakatan atau LP akhir-akhir ini banyak dibicarakan berbagai masalah keadaan LP.

Berkembangnya produk perundangan untuk mengawal jalannya pembangunan menimbulkan juga beragamnya tindakan yang bisa dipidanakan. Dalam pelaksanaan pidana ini, kita bersumber pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946, yang telah dikuatkan dengan UU No 73/1958 yang dikenal dengan nama "Wetboek van Straftrecht". Sejak tahun 1946 telah menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP serta telah mengalami perubahan dan pengembangan sesuai dengan dinamika pembangunan hukum.

produk hukum baru telah membawa implikasi luas bagi mereka yang terkena pidana dan harus menjalankan hukuman penjara. LP yang tadinya disebut penjara bukan saja dihuni oleh pencuri, perampok, penipu, pembunuh, atau pemerkosa, melainkan juga ditempati oleh pemakai, kurir, pengedar dan bandar narkoba, serta penjudi dan bandar judi. Selain itu, dengan intensifnya penegakan hukum pemberantasan KKN dan white collar crime lainnya, penghuni LP pun makin beragam, antara lain mantan pejabat negara, direksi bank, intelektual, profesional, bankir, pengusaha, yang mempunyai profesionalisme dan kompetensi yang tinggi. Penghuni LP pun menjadi sangat bervariatif, baik dari sisi usia maupun panjangnya hukuman dari hanya tiga bulan sampai hukuman seumur hidup dan hukuman mati.

Spektrum penghuni LP yang sangat luas, baik dari kejahatan, latar belakang, profesionalisme, usia, maupun lamanya hukuman, menyebabkan pengelolaan LP pun menjadi sangat kompleks dan memerlukan penyesuaian ataupun perubahan.

Pemasyarakatan

Sistem kepenjaraan kita yang sebelumnya menganut berbagai perundangan warisan kolonial, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan UUD 1945, telah berangsur diubah dan diperbaiki. Pemikiran baru mengenai fungsi hukuman penjara dicetuskan oleh DR Sahardjo pada tahun 1962 dan kemudian ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 April 1964 dan tercermin di dalam UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan telah dihapus dan diubah dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, di mana sistem pembinaan bagi narapidana telah berubah dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan.

Dari "rumah penjara" menjadi "lembaga pemasyarakatan" bukan semata-mata hanya secara fisik mengubah atau mendirikan bangunannya saja, melainkan yang lebih penting menerapkan konsep pemasyarakatan. Desain fisik LP baru justru berbeda dengan konsep pemasyarakatan. Perlu diresapkan yang disampaikan Hazairin dalam bukunya, Tujuh Serangkai Tentang Hukum: " …hidup dalam penjara walaupun dalam penjara yang super modern adalah hidup yang sangat menekan jiwa, pikiran, dan hidup kepribadian".

Pertanyaannya adalah apakah pelaksanaan UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan dengan berbagai peraturan pelaksanaannya telah sesuai dengan pemikiran mulia tahun 1964 dan pesan moral UUD 1945? Apalagi akhir-akhir ini, dengan makin dirasakannya kesemrawutan baik sistem maupun proses peradilan kita, seperti suap, pemerasan, kekerasan, "mafia" peradilan, tebang pilih, dan intervensi politik, telah menimbulkan keraguan apakah mereka yang berada di LP adalah yang benar-benar harus dipidana?

Pemidanaan

LP adalah muara dari proses peradilan. Penahapan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa institusi yang terpisah dan independen harus diartikan agar tercipta proses check and balance dalam pelaksanaannya. Namun, kenyataannya proses check and balance sekarang ini tidak berjalan semestinya.

Ketidakjelasan proses peradilan dan politik menyebabkan sebagian penghuni LP bukanlah mereka yang seharusnya menjalani hukuman dan akhirnya menjadi beban LP. Minimalnya anggaran menyebabkan setiap tempat penahanan berusaha untuk mendapatkan penghuni "jelas", untuk bisa membiayai keperluan institusinya dan menjadikan mereka sebagai "sumber pendanaan". Terpidana tidak saja berada di LP, tetapi juga berada di tahanan Kejaksaan Agung dan kepolisian. Di sisi lain, LP juga dijejali dengan tahanan, baik dari kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Keadaan demikian makin memperparah keadaan di LP dan semakin menjauhkan LP dari cita-cita sebagai "lembaga pemasyarakatan".

Keterbatasan anggaran menjadikan sebutan "hotel prodeo" hanya tinggal istilah, hampir semua proses ada ongkosnya. Pembangunan LP baru, walaupun kelihatan modern, sudah jauh meninggalkan konsep "lembaga pemasyarakatan". Lembaga pemasyarakatan haruslah diartikan bukan hanya dari segi fisiknya belaka, melainkan juga dari sisi pembinaannya secara utuh.

Hak-hak narapidana sesuai dengan perundangan dan peraturan yang ada perlu ditinjau kembali pelaksanaannya agar sesuai dengan falsafah dan konsep pemasyarakatan yang kita anut.

Dalam menjalankan proses "reintegrasi sosial", narapidana mempunyai hak untuk mendapatkan cuti mengunjungi keluarga (CMK), asimilasi, pembebasan bersyarat (PB), dan cuti menjelang bebas (CMB), tetapi kenyataannya proses dan administrasi mendapatkan hak-hak tersebut ruwet serta memakan waktu dan ongkos. Dengan demikian, pelaksanaannya terhambat, misalnya di LP Cipinang dalam dua tahun terakhir ini hampir tidak ada yang menjalankan hak asimilasi. Untuk terpidana kasus-kasus tertentu, hak-hak narapidana seperti di atas, termasuk remisi, telah dikebiri lagi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006, tanggal 28 Juli 2006.

Langkah yang mendesak untuk dilakukan dalam waktu dekat untuk memperbaiki keadaan LP adalah mengurangi huniannya. Pertama, memberikan segera hak PB dan CMB pada waktunya, tanpa prosedur yang berbelit-belit dan tanpa ongkos. Menghilangkan berbagai peraturan yang justru mempersulit pemberian hak tersebut. Kedua, segera memberlakukan hukuman berupa kerja sosial bagi terpidana di bawah 6 bulan, yang sudah sejak enam bulan yang lalu didengung-dengungkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Ketiga, meninjau kembali seluruh PP, keputusan presiden (kepres), keputusan menteri (kepmen), sampai surat edaran dirjen pemasyarakatan agar tidak bertentangan dengan UU No 12/1995. Keempat, mengevaluasi kembali desain dari LP baru.

Rahardi Ramelan Mantan Narapidana;
Juru Bicara Napi–Narapidana Indonesia
ditulis oleh Media Kompas 19 Mei 2007

PENJARA adalah MINIATUR MASYARAKAT

Sosok Dan Pemikiran
Susana Rita

Negara tidak boleh membuat seseorang menjadi lebih jahat atau buruk daripada sebelum orang yang bersangkutan dipidana. Dengan kondisi penjara seperti saat ini—yang lebih mirip gabungan organisasi ketentaraan dan rumah sakit jiwa—mungkinkah hal tersebut terpenuhi?

Penjara itu miniatur masyarakat. Banyak persoalan kemanusiaan di sana," ungkap ahli kriminologi sekaligus pengamat lembaga pemasyarakatan (LP) dari Universitas Indonesia (UI), Thomas Sunaryo.

Ada banyak cerita dari balik penjara yang kini bukan menjadi rahasia. Itu mencerminkan beragam persoalan, mulai dari kapasitas penjara yang mulai tak mampu menampung narapidana (napi), isu kesehatan, isu pungutan liar, dan berbagai isu lainnya.

Thomas menggambarkan situasi penjara yang dianalogikannya dengan gabungan rumah sakit jiwa dan ketentaraan. Sedemikian menyedihkannya sehingga tak hanya napi yang enggan berdekatan dengan lingkungan tersebut. Mayoritas petugas LP atau sekitar 70 persen pun mengaku ingin pindah ke bagian lain jika memungkinkan.

Fakta tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan ahli kriminologi sekaligus pengamat pemasyarakatan itu. Penelitian dilakukan di 20 LP di seluruh Indonesia. Penelitian dilakukan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan HAM pada 2005. Berikut petikan wawancara dengan Thomas, saat ditemui di Kampus UI, Salemba, pekan lalu.

Bagaimana Anda melihat penjara?

Penjara, baik manusia maupun lingkungan sosialnya, sebenarnya mencerminkan miniatur dari masyarakat. Di situ banyak sekali persoalan kemanusiaan, bukan cuma masalah napi kabur. Itu hanya seperti puncak gunung es. Hanya saja, penjara ini termasuk lingkungan yang tidak pernah dilihat orang atau unseen environment. Orang tidak tahu apa yang terjadi di dalamnya.

Penjara itu sebenarnya merupakan sebuah lingkungan yang unik. Unik, karena terdiri atas manusia dari golongan yang beragam, kaya, miskin, suku, maupun agama. Unik, karena penjara itu mirip gabungan organisasi ketentaraan dengan rumah sakit jiwa. Mirip tentara karena setiap orang diperlakukan seragam. Mirip rumah sakit jiwa karena lingkungan penjara merupakan lingkungan yang antitesis terhadap kebebasan orang bertindak. Ini menyebabkan derita psikologis yang lebih berat daripada hukuman fisik.

Orang dipenjara itu kan kehilangan kemerdekaan. Begini saja, Anda mengikuti kuliah jika lebih dari dua jam pasti sudah gelisah. Mereka setiap hari berada di dalam sekat-sekat. Itu pasti membosankan. Belum lagi hilangnya komunikasi dengan orang yang mempunyai hubungan emosional. Ini berakibat macam-macam; cepat marah, kehilangan kreativitas, kehilangan semangat, apatis, dan perilaku berpura-pura.

Di sisi lain, ada petugas LP berkuasa yang menekankan pada pendekatan keamanan, bukan pembinaan. Karena memang yang dibutuhkan di dalam penjara pendekatan keamanan. Kenapa? Karena kalau ada narapidana yang ribut-ribut atau lari, dia ditegur atasan. Tapi, kalau salah pembinaan, dia tidak kena masalah.

Di dalam LP, ada hubungan simbiosis mutualisme dan diskriminasi di dalam relasi antara napi dan petugas. Ini terjadi karena dua kepentingan tadi, napi ingin mengurangi penderitaannya. Ia menyogok. Petugas memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya.

Bukankah memenjara adalah memasyarakatkan?

Di dalam implementasinya, tidak jalan. Kalau lihat gambar tadi, itu kan pindang.

(Sebelum memulai perbincangan, Thomas memperlihatkan foto-foto situasi dan kondisi LP. Penuh sesak. Di siang hari, napi berserak di mana-mana, hampir di setiap sudut dan ruang terbuka di areal LP. Di malam hari, mereka tidur berbaring seperti ikan pindang yang berjejer. Tak ada sedikitpun sisa ruang untuk mengubah posisi anggota badan.

Kamera Thomas juga sempat menangkap gambar napi yang tidak kebagian tempat di lantai. Napi itu terpaksa tidur bergelantung pada kain sarung yang diikatkan di jeruji sel. Ada pula yang tidur di atas tembok pemisah kamar mandi. Yang satu ini tentu membutuhkan keahlian khusus karena lebar tembok tak lebih dari 30 sentimeter.)

Jadi, bagaimana?

Konsep pemasyarakatan itu diperkenalkan oleh Saharjo, ada 10 prinsip pemasyarakatan. Yang paling bagus, menurut saya, adalah bagian yang menyebutkan negara tidak boleh membuat seseorang lebih jahat atau lebih buruk dari sebelumnya. Artinya, di dalam kacamata negara, napi adalah sumber daya. Napi itu tidak boleh menganggur.

Tapi, itu kembali lagi antara das solen dan das sein yang sangat berlainan. Petugas dihadapkan oleh ketakutan napi akan berantem dan sebagainya, petugas tidak bisa berpikir kreatif.

Di Australia, pembuatan pelat nomor dikerjakan napi. Mereka menyediakan jasa pencucian untuk rumah sakit. Di tempat kita, pada zaman Belanda, kita punya yang semacam itu. LP di Yogyakarta dengan sepatu kulitnya, di Bandung ada usaha percetakan, di Cirebon ada baju. Sekarang tidak bisa karena masalah daya saing.

Beberapa waktu lalu memang ada pengusaha di LP Cipinang yang membuat peternakan ayam. Di penjara, banyak orang potensial yang punya akses ke mana-mana. Tetapi, kenapa ini tidak dilakukan, kembali lagi karena kreativitas petugasnya tidak ada.

Kalau kita tarik ke masalah komitmen, ini yang susah. Kebanyakan orang masuk ke Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) karena tidak ada pilihan lain. Ditanya kalau ada pilihan pindah ke bagian lain, 70 persen mengatakan ya, ingin kerja di bidang lain. Jadi, yang tidak betah di LP tidak hanya napinya, petugasnya juga. Kalau orang bekerja sudah tidak betah, integritasnya... ya sudah. Yang penting apa adanya.

Namun, konsep ini seharusnya tidak hanya dilihat dari dalam LP saja. Itu juga harus terkait dengan polisi, jaksa, hakim, dan LP sebagai bagian dari criminal justice system. Tetapi, semuanya berjalan sendiri-sendiri. Polisi bertindak mengacu pada UU Kepolisian, buat dia makin cepat menangkap orang makin baik. Jaksa dengan UU Kejaksaan, hakim dengan UU Kekuasaan Kehakiman. LP dengan UU Pemasyarakatan.

Mengapa terjadi?

Karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang memayunginya tidak menjelaskan tujuan atau filosofi dari pemidanaan/hukuman. Hanya dikatakan, barang siapa begini dikenai hukuman sekian tahun. Padahal, tujuan hukuman itu mendasar.

Sebenarnya, konsep pemasyarakatan itu kuncinya di hakim. Dia yang memutuskan seseorang masuk ke LP. Padahal, kenapa harus selalu dimasukkan ke sini sampai pelanggar perda yang dihukum dalam hitungan hari pun juga dipenjara.

Di luar negeri, seorang pengutil dijatuhi hukuman 60 hari. Namun, ia diperbolehkan memilih apakah akan melakoni hukuman tersebut atau memakai baju dari kardus, seperti Kick Andy yang ditulisi I’m thief atau saya pencuri. Ini untuk memberi rasa jera.

Di dalam RUU KUHP yang baru, tujuan pemidanaan disebutkan untuk pemasyarakatan. Kalau ini gol, diharapkan polisi, jaksa, dan hakim tahu apa itu pemasyarakatan.

Reformasi

Persoalan mengenai narapidana memang diakuinya sangat kompleks. Lelaki yang akrab dengan lingkungan penjara itu (sejak belia memang sudah sering berkunjung ke penjara) mengatakan, perlu ada reformasi di bidang pemasyarakatan. Mengenai dari mana reformasi dilakukan, perbaikan dilakukan secara simultan. Internal pemasyarakatan diperbaiki, KUHP juga perlu diperbaiki. Apabila tidak, kata dia, akan seperti bayi prematur karena induknya belum diperbaiki.


ditulis oleh Media KOMPAS 19 Mei 2007


Minggu, 06 Mei 2007

SURAT NAPI kepada MENTERI HUKUM dan HAM RI

Jakarta, 25 April 2007

Nomor : 01/NAPI-JB-RR/IV/07
Lampiran : Deklarasi Pembentukan NAPI
Hal : Pemberian hak narapidana secara jujur sekaligus mengurangi populasi Lembaga Pemasyarakatan.

Kepada Yth
1. Menteri Hukum dan HAM RI
2. Komisi III DPR RI

Dengan hormat.

Sebagaimana diberitakan media massa akhir-akhir ini, penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) di kota-kota besar Indonesia dewasa ini, jauh melebihi kapasitas. Pada saat bersamaan, pelayanan yang buruk, membuat penjara menjadi rawan penyakit. Bahkan seperti yang banyak ditulis belakangan ini, masuk penjara indentik dengan “menjemput maut.”

Rutan Salemba dan LP Cipinang, termasuk diantara yang terparah. Di Rutan Salemba, kapasitas yang tidak sampai 1.000 orang, sudah dihuni lebih dari 3.200 orang. Tidak ada jalan lain, bahwa tahanan dan narapidana terpaksa tidur di emperan blok. Hal yang sama terjadi di LP Klas I Cipinang, kapasitas yang hanya sekitar 1.500, sekarang sudah dihuni lebih dari 4.000 orang.

Dengan telah diratifikasinya Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan mengingat bahwa penataan HAM di Indonesia justru berada di departemen yang sama dengan yang mengurus LP, seharusnya, penataan pemasyarakatan di Indonesia bisa lebih lugas dilaksanakan, supaya kondisi LP seperti diatas dapat dicarikan solusi yang tepat dan nyata, agar sesuai dengan ketentuan HAM.

Pembenahan kondisi penjara di Indonesia dewasa ini, tidak bisa terlepaskan dari terjadinya pengebirian hak-hak narapidana yang selama ini secara sadar dilakukan oleh para petinggi penjara. Maka pembenahan yang pertama dan utama harus dimulai yaitu mengembalikan hak-hak narapida yang sudah dijamin Undang-undang. Tanpa pembenahan hak-hak tersebut, pembenahan fisik (kualitas hunian) tidak akan berguna.

Bukti paling nyata pengebirian hak narapidana, adalah pengaturan Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Pembebasan Bersyarat (PB), yang justru bertentangan dengan Undang-Undang 12/1995. Paradigma kebijakan Asimilasi, CMB dan PB sekarang ini, adalah “memelihara napi selama mungkin di penjara.”

Sebelum tahun 1999, perhitungan waktu PB sangat sederhana, yaitu 2/3 (duapertiga) hukuman, kemudian dikurangi dengan remisi. Persyaratan yang sama, dianut oleh UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Sesuai Penjelasan Pasal 14 UU 12/1995, syarat untuk memperoleh PB adalah: “Masa pidana yang telah dijalani untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidana.”

Namun, kemudian, SK Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 1999 (2 Februari 1999), menambah syarat untuk mengajukan PB, menjadi: “Untuk menjalani PB, narapidana telah menjalani 2/3 dari masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari sembilan bulan.”

Implikasi perhitungan ini, maka 1/3 masa tahanan menjadi hilang, dan 1/3 remisi menjadi hilang. Hal tersebut tidak masuk akal, sebab antara masa tahanan dan masa pidana, secara de facto, sesungguhnya tidak ada perbedaan. Dan lebih tidak masuk akal lagi, remisi (pidana yang tidak perlu dijalani), sudah diberikan, namun dikurangi lagi 1/3 dari jumlah remisi.

Bagi seorang tahanan ataupun narapidana, tidak ada perbedaan antara ditahan oleh aparat Kepolisian atau Kejaksaan, maupun dipenjara dalam LP. Kedua-duanya mengandung implikasi bahwa yang bersangkutan dibatasi hak untuk bergerak. Karena itu maka tidak selayaknya dibedakan antara ditahan sebelum ataupun setelah putusan pengadilan (yang memperoleh kekuatan hukum tetap). Kedua-duanya harus diperhitungkan sebagai masa penahanan/pidana. Dan karena itu pulalah, maka seharusnya perhitungan PB dimulai sejak yang bersangkutan ditahan, bukan sejak ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal tersebut juga berlaku bagi CMB.

Maka jelas, SK Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 1999 yang secara nyata telah bertentangan dengan UU 12/1995, menyebabkan sedikitnya empat kerugian nyata:
  1. Menyebabkan kerugian negara, karena negara harus menyediakan makanan dalam jangka waktu yang lebih lama.
  2. Membuat penghuni LP/Rutan menjadi banyak, sehingga melampaui kapasitas.
  3. Merugikan napi.
  4. Bertentangan dengan Hak Asasi Manusia

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap SK Menkeh M.01.PK.04-10 1999, yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 12/1995. Metoda perhitungan PB, hendaknya dihitung sejak ditahan, dengan formulasi menjadi sebagai berikut:

Pelaksanaan PB = (2/3 x Hukuman) – Remisi

Sesuai dengan Keppres Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, Pasal 4 Ayat (2) Huruf b, remisi pada tahun kedua adalah adalah tiga bulan. Hal ini dihitung menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) pada Keppres yang sama, yakni, dihitung sejak tanggal penahanan sampai dengan hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus tahun bersangkutan.

Praktek yang terjadi sekarang: Narapidana dianggap memasuki tahun kedua, apabila sudah pernah mendapat Remisi 17 Agustus pada tahun sebelumnya. Di sini letak perbedaan penafsiran. Menurut Keppres dihitung sejak ditahan, dalam pelaksanaan bukan sejak ditahan.

Permasalahan ini, yaitu perbedaan antara yang secara jelas tertulis dalam Keppres 174/1999, dengan praktek yang terjadi di lapangan, harus segera diatasi.

Sangat dirasakan bahwa dari pejabat Ditjen Pemasyarakatan, ada resistensi terhadap kebijakan yang mengupayakan pengurangan penghuni penjara. Upaya mereka, sadar tidak sadar, justru berusaha agar narapidana berada selama mungkin di penjara. Ini pulalah yang mungkin menyebabkan, bahwa sekarang ini sudah diterapkan kebijakan mengurangi masa PB dengan sepertiganya dari masa hukuman (atau sepersembilan dari dari masa hukuman). Dengan kebijakan ini, maka masa PB bukan lagi 1/3 (atau 3/9) dari masa hukuman, tetapi menjadi hanya 2/9.

Peraturan tentang kebijakan didasari Surat Edaran Dirjen, sedangkan dasar aturan tentang PB adalah Pasal 15 KUHP dan Pasal 14 Ayat 1 Huruf K Undang-Undang 12 tahun 1995 serta PP 32 tahun 1999. Walaupun kemudian Surat Edaran tersebut telah diangkat menjadi PP 28 tahun 2006, yang tetap menjadi pertanyaan bagaimana Surat Edaran Dirjen yang kemudian dikukuhkan menjadi PP bertentangan dengan KUHP dan Undang-Undang?

Dalam memperingati Hari Pemasyarakatan pada tanggal 27 April 2007, pembenahan LP-Rutan di Indonesia, harus dimulai dari pemberian hak-hak narapidana yang sesuai dengan Undang-undang. Jika hal tersebut sudah terpenuhi, barulah pembenahan fisik bisa membawa manfaat.

Demikianlah yang dapat kami sampaikan, dengan harapan akan menjadi perhatian dan ditindaklanjuti secara nyata.

Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Prof Dr Rahardi Ramelan MSc.ME
(Juru Bicara NAPI)

Tembusan:
1. Menko Polkam RI
2. DirJen Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM
3. Pengurus NAPI

Alamat : Jl. Bungur Raya No.9 Harjamukti Cimanggis Depok 16954 Tel. (62-21) 873 4709 Fax : (62-21) 873 0105


Jumat, 04 Mei 2007

SWASTANISASI PENJARA..? Sebuah Alternatif (2)

(Iqrak Sulhin), 4 Mei 2007

Diskusi tentang sejumlah masalah penjara (lembaga pemasyarakatan) di Indonesia yang kembali mengemuka sebulan terakhir ini seharusnya dapat diakhiri dari dahulu bila pemerintah memikirkan secara serius alternatif pemecahannya. Nyatanya, masalah ini kembali muncul dan semakin memprihatinkan. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, seperti kebakaran jenggot dengan maraknya kembali masalah tersebut. Terlebih media massa memberitakannya secara lebih intens.

Pada dasarnya banyak alternatif bagi penyelesaian masalah tersebut. Dalam tulisan saya sebelumnya dalam blog ini, salah satu alternatif yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah mulai membuka proses kebijakan pemasyarakatan di Indonesia bagi keterlibatan stakeholder lain selain pemerintah melalui Dep Hum HAM, khususnya Dirjen Pemasyarakatan. Mengacu pada praktek di Amerika Serikat dan Australis, bentuk konkret dari ide ini adalah dibentuknya lembaga Ombudsman Penjara. Lembaga ini bersifat independen, lepas dari struktur Departemen dan Dirjen.

Indonesia belum memiliki lembaga Ombudsman Penjara. Keberadaan Badan Pertimbangan Pemasyarakatan tidak dapat dipadankan dengan fungsi seharusnya dari Ombudsman penjara karena badan tersebut adalah bagian dari Departemen dan Dirjen. Oleh karenanya, kompleksitas permasalahan penjara (seperti yang saya jelaskan dalam “Masalah Klasik Penjara”) seharusnya difikirkan dan diselesaikan oleh stakeholder yang juga kompleks. Permasalahan penjara tidak dapat dipandang berhubungan hanya dengan Departemen atau Dirjen saja. Namun lebih luas dari itu, munculnya permasalahan di penjara juga berhubungan dengan masyarakat luas dan mungkin juga kalangan bisnis.

Terkait dengan kalangan bisnis, mungkin satu alternatif dapat ditawarkan, yaitu Swastanisasi Penjara (Wacana Private Prisons). Tulisan ini tidak bertujuan untuk memperkuat ide-ide komodifikasi neoliberalisme, namun dalam konteks penyelesaian masalah penjara saya berpendapat ide ini merupakan alternatif yang baik.

Ide Swastanisasi Penjara menurut saya bermuara pada tiga tujuan :

Pertama, sebagai cara untuk memperbaiki kondisi penjara melalui self generating income. Selama ini, keterbatasan dana menjadi alasan utama bagi buruknya kondisi penjara. Terkait dengan kebijakan tersentralistik di bawah Dirjen Pemasyarakatan.

Kedua, sinkronisasi proses pembinaan dengan dunia bisnis. Penjara terkadang menyebabkan extreme idleness (keberadaan yang tidak berdaya guna). Hal ini terkait dengan lebih banyaknya kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat di penjara. Jikapun ada pembinaan, namun tidak efektif dengan tingkat partisipasi yang rendah. Padahal, narapidana adalah tenaga kerja potensial yang dapat menggerakkan kegiatan ekonomi, misalnya industri. Dengan kerjasama antara penjara dengan dunia bisnis, penjara relatif akan mendapatkan manfaat dari keuntungan kegiatan ekonomi tersebut.

Ketiga, memungkinkan narapidana mendapatkan uang berupa tabungan karena ia akan otomatis menjadi tenaga kerja dalam kegiatan ekonomi di penjara. Dengan format yang tengah berjalan, keseluruhan kegiatan di penjara praktis tidak memberikan manfaat secara materi kepada narapidana. Tujuan ketiga ini juga akan mendukung tujuan akhir dari pembinaan di penjara, yaitu mengintegrasikan kembali narapidana dengan masyarakat.

Integrasi dapat terjadi bila mantan narapidana mampu beradaptasi dengan dinamika kehidupan masyarakat, salah satunya dengan mendapatkan pekerjaan. Ini dimungkinkan bila mantan narapidana sudah mendapatkan keterampilan yang cukup selama ia berada di dalam penjara.

Namun demikian, ide ini memiliki sejumlah kelemahan. Bahkan dapat berakibat fatal bila kelemahan-kelemahan ini tidak dipertimbangkan dengan baik. Kelemahan tersebut terkait dengan sifat dasar dari kegiatan ekonomi, yaitu pencarian keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil mungkin.

Ide swastanisasi penjara memang berpotensi memberikan keuntungan materi kepada penjara sehingga upaya perbaikan kondisi penjara lebih mungkin dilakukan. Demikian pula halnya dengan keuntungan materi yang akan didapat oleh narapidana. Namun didasari oleh sifat dasar kegiatan bisnis atau ekonomi, swastanisasi penjara justru memungkinkan terjadinya eksploitasi narapidana sebagai pekerja murah. Terlebih bila kita hubungan dengan status penjara sebagai institusi total yang cenderung lepas dari pengawasan publik. Para pemegang kekuasaan di penjara atau level di atasnya sangat mungkin menggunakan kekuasaannya tersebut untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan hak yang seharusnya didapat oleh narapidana sebagai pekerja.

Ide swastanisasi penjara memerlukan syarat-syarat tertentu agar kemungkinan buruk tersebut tidak terjadi :

Pertama, penjara harus melakukan reformasi struktural. Dirjen Pemasyarakatan tidak boleh lagi menjadi stakeholder tunggal dalam proses kebijakan pemasyarakatan. Hal ini diperlukan untuk memberikan kemungkinan bagi pengawasan yang lebih luas dari publik. Bentuk konkretnya dapat dilakukan dengan membentuk ombudsman penjara.

Kedua, manajemen penjara itu sendiri sebagai unit pelaksana ide-ide pemasyarakatan yang akan disingkronkan dengan dunia bisnis tersebut. Misalnya, dalam manajemen keuangan yang menjadi hak narapidana. Apakah tabungan narapidana yang diperolehnya dari bekerja aman dari kejahatan-kejahatan oknum-oknum petugas. Terkait dengan hal ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa sejumlah petugas dan bahkan di level pimpinan di penjara sering melakukan penyimpangan, sebut saja “mafia penjara”. Tentang pengelolaan keuangan milik napi ini mungkin hanya salah satu masalah saja. Manajemen keuntungan bagi penjara sebagai institusi juga perlu diawasi dan diperbaiki.

Ketiga, narapidana harus diposisikan sebagaimana pekerja yang memiliki hak-hak tertenti, seperti jaminan sosial dan upah yang harus sesuai dengan standar kemanusiaan. Untuk itu, perlu difikirkan sebuah mekanisme yang melibatkan departemen tenaga kerja untuk menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut.

Saya kira, tidak ada salahnya bila penjara diswastanisasi. Namun kita harus menjamin tidak terjadinya eksploitasi. Sehingga perlu pengawasan pelaksanaannya dengan cara membuka kekakuan struktur dirjen pemasyarakatan untuk memungkinkan pengawasan.

ditulis

http://kriminologi.wordpress.com/2007/05/03/swastanisasi-penjara-sebuah-alternatif-2/



LEMBAGA RECLASSEERING INDONESIA d/h LEMBAGA MISSI RECLASSEERING RI.

PENGERTIAN RECLASSEERING DAN TUGAS-TUGAS LEMBAGA RECLASSEERING INDONESIA SERTA RINGKASAN PROGRAM KERJANYA

SEJARAH - SINGKAT Lembaga Reclasseering Indonesia adalah Lembaga Kemanusiaan bersifat Profesional, Dinamis, Independen namun Non-Politis dan bergerak dalam bidang Penegakan Supremasi Hukum dan Hak Asasi Manusia. Organisasi ini lahir dan berdiri di Surabaya pada tanggal 18 Agustus 1945 sesuai anjuran Mr. BRM. Tjokrodiningrat, SH (sekarang Jenderal TNI-AD (Purn) Prof. DR. GPH. Tjokro-diningrat, SH) kepada Presiden RI pertama - IR. Soekarno (sekarang Almarhum, Ir. Soekarno) yaitu dalam upaya resosialisasi para mantan tawanan perang dan tahanan poltik yang kebanyakan merupakan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pendidikan lebih dari rakyat Indonesia pada umumnya, untuk mengisi pemerintahan dan sebagai pegawai-pegawai pemerintah saat itu; dan upaya pertukaran tawanan perang kepada pihak sekutu dan Belanda dan selanjutnya Presiden RI menunjuk MR. R Moestopo (sekarang Almarhum, Mayor Jenderal TNI-AD (Purn) Prof. DR. Moestopo Beragama) untuk mengemban missi Reclasseering/resosialisasi Hak Asasi Manusia bagi kepentingan Negara dan Masyarakat.

Pada tahun 2001, dilakukan Deklarasi Lembaga Missi Reclaseering Republik Indonesia pada tanggal 02 Juni 2001 yaitu pada saat Rapat Pimpinan LMR-RI dalam upaya konsolidasi Ketahanan Nasional yang dihadiri oleh 64 orang pejabat teras dari perwakilan LMR-RI seluruh Indonesia tercetus kesepakatan bersama untuk melakukan perubahan sebutan nama dari LEMBAGA MISSI RECLASSEERING REPUBLIK INDONESIA (LMR-RI) menjadi LEMBAGA RECLASSEERING INDONESIA (LRI) mengingat penyebutan Reclasseering Indonesia pada pasal-pasal di KUHPidana dan dengan tidak ada perubahan pada izin-izin yang dimilikinya.

Untuk lebih detail baca "Lintasan Sejarah dan Peranan Masa Kini Lembaga Reclasseering Indonesia" PENGERTIAN RECLASSEERING Mengembalikan harkat hidup manusia yang kehilangan harkatnya disebabkan perbuatannya melakukan pelanggaran hukum dan/atau perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan norma-norma peradaban serta semua yang disebut mengalami ketunaan seperti tuna warga (narapidana/residivis), Tuna Karya, Tuna Wisma, Tuna susila dan termasuk hal pengentasan kemiskinan dan kebodohan.

Pada tahun 1950-an Lembaga Reclasseering Indonesia melaksanakan Gerakan Kemanusiaan khusus sesuai tugas reclasseering dalam bidang rehabilitasi bekas tawanan perang dan tawanan politik termasuk pejuang dan tentara, untuk pembinaan dan penyalurannya kepada instansi-instansi yang membutuhkan tenaga pejuang tersebut dan juga memberikan pembinaan mental dan spiritual bagi para pidana di Lembaga Pemasyarakatan. Sesuai Pedoman Kerja dalam melaksanakan kerja untuk negara ini adalah berdasarkan: Lembaran Negara 1870 Stbl. No. 62 Lembaran Negara 1958 Stbl. No. 276 Lembaran Negara 1937 Stbl. No. 576 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Mengingat : Stbl. 1917 No. 749 Stbl. 1928 No. 251 Junto No. 486 Stbl. 1939 No. 77 Pasal 6 Ordonansi V.V. Pasal 8 Ordonansi V.I. Stbl. 1926 No. 448 Didalam pelaksanaan tugas-tugas ini LRI bekerja sama dengan pihak-pihak; BISPA, Lembaga Pemasyarakatan, Kepolisian Negara RI., Kejaksaan dan Pengadilan diseluruh Indonesia. DASAR HUKUM 1. Akta Notaris melalui Notaris Gusti Johan yang beralamat di jalan Merbabu - DI. Jogyakarta tertanggal 17 Agustus 1946. 2. Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : J. A. 5/105/5 tertanggal 12 November 1954; Lembaran Berita Negara Nomor 90 Tambahan Berita Negara Nomor 105 sebagai Badan Peserta Hukum untuk Negara dan Masyarakat. 3. Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor J. H. 7. 1/6/2, tertanggal 9 Juni 1956 sebagai Badan Reclasseering untuk Negara dan Masyarakat. 4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal 14; 15; 16; 17 ; dan 22. 5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1653 sampai dengan 1665. DAFTAR PENDIRI 1. Jenderal TNI (Purn) - Prof. DR. GPH. Tojkrodiningrat, SH 2. Almarhun, IR. Soekarno - Presiden RI pertama 3. Almarhum, Mayor Jenderal TNI (Purn) - Prof. DR. R. Moestopo Beragama (Mantan Panglima Teritorial Komando Markas Besar Pertempuran dan Divisi "P" Jawa Timur) 4. Almarhum, Letnan Jenderal TNI (Purn) Tubagus Ibnu Fadjar Goenadi Poerwabelanegara (mantan Komandan Brigade Pengempur Istimewa Surabaya) 5. Almarhum, Kolonel TNI (Purn) L. K. Gusti Johan (L. K. Saidikin) 6. Almarhum, Mayor Jenderal TNI (Purn) Sandjoto (Komandan Batalyon Tamtomo) PERANAN RECLASSEERING DI INDONESIA Membuka seluruh penjara dan membebaskan para tawanan perang yang berada di seluruh Indonesia, termasuk orang-orang tahanan dengan segala latar belakangnya.

Mengkoordinir mantan tawanan perang dan orang-orang penjara untuk menjadi Pasukan Penghancur Kapal Perang Perusak Milik Sekutu. Menyumbang Emas kepada negara berkaitan dengan cadangan keuangan/moneter negara. Mencetak uang kertas pertama RI yaitu Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) sesuai persetujuan Komite Nasional Indonesia (KNI). Mengisi Kabinet Pemerintahan RI. yang pertama. Melawan Agresi Militer Belanda pertama dan kedua. Turut serta dalam menumpas pemberontakan PKI Madiun BERMITRA DENGAN INSTANSI PEMERINTAH

1. Jaksa Agung Pada Mahkamah Agung Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1952 memberikan Surat Edaran kepada semua Kepala Kejaksaan di seluruh wilayah Indonesia. Isi surat edaran tersebut ialah mengenai anjuran membentuk organisasi-organisasi yang berhubungan dengan penampungan orang-orang penjara yang mendapat pelepasan bersyarat.
Dalam surat edaran Jaksa Agung itu disarankan agar seluruh jajaran Kejaksaan sesegera mungkin memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk dapat membuka dan mendirikan "Perkumpulan-Perkumpulan Reclasseering".

2. Kantor Besar Jawatan Kepenjaraan Kementerian Kehakiman Republik Indonesia Beberapa bulan sebelum Lembaga Reclasseering Indonesia menerima Surat Penetapan dari Menteri Kehakiman R.I., pihak Jawatan Kepenjaraan di Jakarta telah menyatakan dukunganya dengan memberikan surat edaran pada tanggal 22 Mei 1954 kepada seluruh Direktur/Pemimpin Kepenjaraan agar mengganti pegawai-pegawai Reclasseering untuk mendirikan perkumpulan-perkumpulan Reclasseering.

3. Markas Besar Gerakan Pembebasan Irian Barat Dalam pergerakan perjuangan Bangsa dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentunya tidak lepas dari kepedulian terhadap eksistensi Bangsa dan Negara. Pada tahun 1954 Ketua Umum Lembaga Reclasseering Indonesia, Tubagus Ibnu Fadjar G.P. atas nama Organisasi dan perseorangan (sebagai warga negara) menerima panggilan Ibu Pertiwi untuk Bela Negara demi Pembebasan Irian Barat. Markas Besar Pembebasan Irian Barat (GERPI) yang berkedudukan di jalan Mojopahit 27 K. 37 Jakarta, menunjuk dan memberi Mandat penuh kepada Tubagus Ibnu Fadjar G.P. untuk menjadi Anggota Pimpinan GERPI agar memobilisasi rekan-rekan seperjuangan serta organisasi-organisasi massa di seluruh Indonesia untuk berjuang mengembalikan Irian Barat kepangkuan Ibu Pertiwi. Demikian Surat Mandat nomor: 3/IB/M sebagai Anggota Pimpinan Pembebasan Irian Barat tersebut diberikan pada tanggal 21 Juli 1954 yang ditanda-tangani oleh Mangkudimuljo sebagai Ketua dan J.H. Hukom sebagai Sekretarisnya.

4. Kepolisian - Reserse Pusat dan Kejaksaan Agung Peran Reclasseering sejak awal memang berkaitan dengan pembentukan kelakuan dan pembinaan orang-orang yang mendapat "pelepasan bersyarat" dari Penjara. Oleh karena itu, sejak awal pula Lembaga Reclasseering Indonesia selalu mengadakan hubungan kerja secara erat dengan aparat keamanan seluruh Jakarta Raya bersama Hoofd Biro Kepolisian di Gambir dan seksi-seksi keamanan yang ada di Tanjung Priok, Jati Baru (Tanah Abang) dan lain-lain. Kepala Polisi Hoofd Biro Gambir saat itu, antara lain KOMBES Soedjono, KOMBES Sempu Muljono dan KOMBES Permadi. Sedangkan untuk tingkat Rahasia Negara dihubungkan dengan Kejaksaan Agung dan Dinas Reserse Pusat, sejak Jawatan Reserse dijabat oleh Sosrodanukusumo tahun 1950 - 1954, dan bapak R. Sunaryo, SH. menjabat sebagai Kepala Kejaksaan.

5. Membentuk Satuan Tugas Pengamanan Partikelir Dalam kaitan tersebut di atas, Lembaga Reclasseering Indonesia membantu petugas, baik Kejaksaan, Kepolisian - Reserse dalam rangka mengantisipasi kontra subversi, kontra penyelundupan, dan sekaligus membentuk satuan Reclasseering sebagai "Informan" yang berhubungan secara terus menerus dengan pihak Reserse Pusat. Tujuan utamanya ialah untuk membantu mengurangi gangguan keamanan yang berunsur tindak kriminal, seperti pengrusakan - Sabotase dan pencoleng dipelabuhan Pasar Ikan - Jakarta Kota, Tanjung Priok, Koja dan Sindang - Jakarta Utara. Selama alat-alat Pemerintah Federal belum meninggalkan Kota Jakarta menuju Negeri Belanda atau ke Negeri Jajahannya yang lain, situasi Ibu Kota Jakarta mengalami gangguan keamanan. Di setiap sudut kota Jakarta terjadi pengrusakan dan pembakaran rumah-rumah penduduk, peledakan granat terjadi dimana-mana. Masyarakat pengungsi yang masuk kota bertikai dengan penduduk yang pernah mengabdi kepada Pemerintah Federal Belanda. Kenyataan bahwa alat-alat negara, seperti Kepolisian dan Corps Polisi Militer masih sangat sedikit yang dialihkan ke Ibu Kota Jakarta, sehingga untuk mengatasi masalah tersebut, pimpinan Lembaga Reclasseering Indonesia, seperti Prof. DR. Moestopo, Tubagus Ibnu Fadjar G.P., Drs. BRM. Tjokrodiningrat, SH., dan Hartono mengadakan kerjasama dengan pihak Kepolisian - Hoofd - Biro dan Corps Polisi Militer untuk menjaga kampung seluruh Jakarta Raya. Untuk itu disusunlah Rayon-Rayon Penjagaan Keamanan Partikelir (Pengamanan Swakarsa) dengan 29 Rayon. Pengamanan Swakarsa atau Keamanan Partikelir ini dihimpun oleh K.M.K.B.D.R. Biro V dengan Koordinator yang dikepalai oleh Tubagus Ibnu Fadjar G.P. yang dikenal dengan nama "Pak Wangsah". Demi memaximalkan pengamanan di kota Jakarta, Pak Wangsah bermitra dengan tokoh-tokoh masyarakat, seperti Pak Citra di Tanjung Priok, Pak Syawal di Pasar Ikan - Kota dan lain-lain, termasuk tokoh-tokoh masyarakat yang berada di Sampur Boschower, Swensen di jl. Nusantara, Hermandatd, P.B.D, P.N.D, Jangkar, Kobra, PPPK, dan lain-lain.

6. Imigrasi, Douane dan GIA Bersama-sama petugas terkait, Lembaga Reclasseering Indonesia bekerja-sama dengan pihak Imigrasi, Douane dan GIA melakukan pemantauan dan pengamatan di pelabuhan laut maupun udara. Sekaligus melaksanakan tugas menghalangi adanya penyelundupan barang-barang yang terlarang atau yang dapat menimbulkan instabilitas dan merugikan Negara.

7. Pemantauan dan Memroses Kontra Subversif Dibidang Keselamatan Negara dan kontra Subversif Asing, bentuk A dan B, Lembaga Reclasseering Indonesia bekerja-sama dengan pihak Kejaksaan. Ketika persoalan tersebut diproses yang menjabat sebagai Kepala Kejaksaannya adalah R. Soenarjo. Adapun perkara subversif yang diproses saat itu antara lain kasus Westerling dengan APRA-nya (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung, termasuk kasus pembantaian di Sulawesi Selatan dan kasus H.J. Smidsch dengan Gerakan N.I.G.O.-nya (Nederlandsch Indiesche Gerilla Organisation) di Bandung, Jawa Barat.

8. ITJENTEPRAL MABAD dan Kejaksaan Agung Berkaitan dengan pelaksanaan Pemantauan terhadap kontra subversif, dalam hal ini Lembaga Reclasseering Indonesia bergabung dan kerja-sama dengan pihak Militer dan Pimpinan Lembaga Reclasseering Indonesia ketika itu bertepatan sedang dinas Militer di Jawa Barat, yaitu bapak R. Moestopo salah seorang pemimpin penyerangan terhadap Gerakan DI/TII Jawa Barat. Dalam hal pengamatan yang berkaitan dengan tindakan kontra subversif tersebut, kemitraan Lembaga Reclasseering Indonesia dengan pihak Militer seperti dimaksud ialah dengan pihak IJENTEPRAL MABAD, antara lain - KKKB dimana yang menjabat sebagai Komandan pada masa-masa tersebut ialah Mayor TNI Sambas, Mayor TNI Djoehro dan Letnan Kolonel Dachjar.

TUGAS-TUGAS POKOK LEMBAGA RECLASSEERING INDONESIA

1. Mempertahankan Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945.

2. Menegakan supremasi Hukum dan keadilan.

3. Menegakan Hak Asasi Manusia atau resosialisasi harkat dan martabat manusia.

4. Melaksanakan Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya atau National Carachter Building.

5. Melestarikan dan Menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Indonesia.

6. Mengikuti haluan Negara Republik Indonesia sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara. PROGRAM KERJA LEMBAGA RECLASSEERING INDONESIA Program Kerja Lembaga Reclasseering Indonesia secara nasional, ringkasnya dapat dijelaskan sebagai berikut; Berdasarkan PANCASILA dan UUD 1945 dan sebagai pelaksanaan adalah TRILOGI PERJUANGAN.

Menegakan Supremasi Hukum dan Keadilan. Menegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Resosialisasi Kemanusiaan dalam arti kata mengangkat Harkat Hidup Manusia Indonesia dalam pembangunan nasional Lembaga Reclasseering Indonesia sejak dilahirkan pada tanggal 18 Agustus 1945 merupakan Wahana organisasi perjuangan dalam mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Lembaga Reclasseering Indonesia sejak tahun 1945 hingga saat ini adalah MITRA Pemerintah RI. pengertian sebagai mitra pemerintah RI dalam masa pembangunan sekarang ini adalah bahwa Lembaga Reclasseering Indonesia bersama-sama Pemerintah bahu-membahu melaksanakan pembangunan didalam pemerataan Hukum dan Keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia; Pemerataan Pengentasan Kemiskinan Rakyat dan pembodohan Rakyat Indonesia; dan Pemerataan Hak Asasi Manusia. Dalam pembangunan Hukum dan Keadilan, Lembaga Reclasseering Indonesia berkewajiban mengutamakan pelaksanaan Penelitian, Pembinaan dan Pengawasan pelaksaan Hukum dan Keadilan yang berlaku dalam masyarakat, selain memberikan bantuan hukum dan keadilan bagi masyarakat yang membutuhkan advokasi.

Pelaksanaan ini berarti Lembaga Reclasseering Indonesia telah melaksanakan sosial kontrol terhadap penetrapan Hukum dan Peradilan bagi kepentingan masyarakat Bangsa Indonesia, yang nantinya merupakan bahan masukan bagi LRI juga sebagai dasar pertimbangan evaluasi data secara analisis guna melakukan koreksi yang konsepsional bagi perbaikan KHUP yang sekarang masih banyak memerlukan penyempurnaan dan dapat memeberikan bahan masukan serta teguran-teguran terhadap praktek hukum dan peradilan yang kurang manusiawi atau dapat memberikan saran-saran yang objektif kepada instansi-instansi penegak hukum dan keadilan didaerah maupun kepada pemerintah Pusat serta kepada Lembaga Tinggi dan Tertinggi negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Untuk itu harus dijalin kerja sama dengan semua instansi penegak hukum dan pemerintah yang terkait secara konsisten dan konsepsional sehingga sinkronisasi dalam pelaksanaan tugas penelitian, pembinaan dan pengawasan terhadap semua perundang-undangan yang memiliki sanksi hukum yang tercantum didalam perda tersebut dapat berlaku sebagaimana mestinya bagi ketrentraman dan keamanan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Penelitian, pembinaan dan pengawasan hukum dan Peradilan yang dimaksud tidak hanya terhadap pelaksanaan hukum dan peradilan Pidana/Perdata dan Hukum Adat serta bukan hanya perundang-undangan saja tetapi juga hukum kelautan dan imigrasi/perbatasan. Lembaga Reclasseering Indonesia tengah memper-siapkan pola dan metode Pendidikan atau pelatihan singkat tentang Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui metode pembentukan moral dan etika budaya manusia Indonesia kepada seluruh komponen bangsa Indonesia.

Lembaga Reclasseering Indonesia telah menyiapkan materi dan bentuk metode penyuluhan untuk sosialisasi bahaya penyalahgunaan obat-obatan, psikotropika dan narkotika untuk Pelajar ditingkat Dasar, Menengah dan Atas. Lembaga Reclasseering Indonesia juga telah membentuk program sosialisasi bahaya HIV-AIDS yang diakibatkan oleh hubungan bebas maupun penggunaan jarum juntik yang tidak steril. (program ini akan difusikan dengan program sosialisasi bahaya penyalahgunaan obat-obatan, psikotropika dan narkotika).

Lembaga Reclasseering Indonesia sedang melakukan lobi-lobi dengan pemerintah untuk menjalankan Program Upaya Keluar dari Krisis Multi Dimensi serta Membentuk Jaringan Sosial Ekonomi dalam rangka Ketahanan Nasional bagi bangsa Indonesia dengan kegiatan :

1. Mobilisasi Sumber Daya Manusia;

2. Mobilisasi Sumber Daya Alam; dan

3. Mobilisasi Sumber Daya Modal Sendiri. KEBIJAKAN TEKNIS PELAKSANAAN TUGAS Sebagai dasar landasan melaksanakan kerjasama itu ditetapkan policy teknis pelaksanaan tugas sebagai berikut : Divisi Hukum Khusus untuk penelitian, pembinaan dan pengawasan Hukum dan Peradilan serta sebagai Advokasi Masyarakat, LRI harus dan berkewajiban menjalin kerjasama dengan: Departemen Kehakiman dan HAM; Mahkamah Agung; Kejaksaan Agung; KOMNAS HAM; Badan Pembinaan Hukum Nasional/Komisi Hukum Nasional; Lemhanas, Kepolisian Negara RI; Pakar-Pakar Hukum dan semua Perguruan Tinggi dalam hal ini Fakultas Hukum.

Divisi Hak Asasi Manusia Pada masa pembangunan sekarang ini pengertian Reclasseering dikembangkan dan dipertegas makna tujuannya yaitu Reclasseering adalah merupakan pengejewantahan dari NATIONAL AND CARACTHER BUILDING atau PEMBANGUNAN MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA dan/atau RESOSIALISASI KEMANUSIAAN. Oleh sebab itulah LRI berkewajiban memantapkan kebijakan teknis pelaksanaan (policy touchiness Uitvoering).

Tugas Reclasseering ini dengan segala kemampuannya untuk berupaya merealisasikan Program Kerja secara utuh dan penuh rasa tanggung jawab. Sebagai perwujudan maksud rasa tersebut LRI membulatkan tekad menetapkan Crash Program LRI sebagai berikut : "Berusaha dengan sekuat tenaga melaksanakan maksud dan tujuan yang tercantum pada pasal 4 (empat) point 9 (sembilan) dan 10 (sepuluh) Anggaran Dasar LRI yang berbunyi sebagai berikut : Point 9 - "mengadakan object-object pekerdjaan (huisindustrie, pertanian, perkebunan, perikanan, perbengkelan, perusahaan tenun-, meubel-, keradjinan-, bangunan-bangunan rumah-, djalan-, djembatan-, dan lain-lain, jang biasanja dapat dikerdjakan oleh orang-orang itu seperti apa jang telah dikedjakan diluar dan didalam pendjara. " Penjelasan : bahwa LRI akan mengerjakan pekerjaan dibidang home industri, pertaniaan/ agrobisnis, perikanan/ pertenakan, perbengkelan, perusahaan kerajinan tangan/ rakyat, kontraktor rumah dan jalan-jembatan dan lain-lain yang biasa dikerjakan oleh orang itu (napi dan eks napi, residivis, tuna karya, tuna wisma dll) seperti apa yang telah dikerjakan diluar dan didalam penjara pada umumnya.

Point 10 -"mengerdjakan segala pekerdjaan jang sjah jang menudju kearah kesempurnaan maksud perkumpulan reclasseering. " Penjelasan : bahwa LRI mengerjakan semua pekerjaan yang syah/legal untuk mencapai yang terbaik bagi maksud dan tujuan LRI atau mengerjakan yang baik dengan cara baik. Divisi Usaha Bidang usaha tersebut diatas harus diutamakan guna memperoleh dana yang kontiyuitas dapat menunjang dan memberikan jaminan bagi pengembangan Organisasinya dan terlaksanannya program rehabilitasi pendidikan anak-anak jalanan dan anak-anak lepas sekolah/drop-out dan rehabilitasi khusus kenakalan Anak Remaja serta usaha resosialisasi Kemanusiaan lainnya.

Divisi Generasi Muda Pendidikan dan Pelatihan Generasi Muda merupakan bagian yang penting dalam mempertahankan kedaulatan negara ini, dalam upaya tersebut Divisi Generasi Muda Pendidikan dan Pelatihan melakukan gerakan pencegahan Lost Generation baik dengan teknik penyuluhan maupun pelatihan terhadap para generasi muda serta membentuk wadah hoby dan kegitaannya seperti Club Pecinta Alam dll. untuk memerangi dampak negatif dari globalisasi ini yaitu pencegahan resiko penyalahgunaan obat-obatan, narkotika dan efek penyakit menular melalui hubungan sex bebas maupun jarum suntik.

JARINGAN DI INDONESIA Lembaga Reclasseering Indonesia memiliki perwakilan yang berbentuk Komisariat baik yang berkedudukan di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/kotamadya yang berjumlah lebih dari 50 Komisariat Daerah/Wilayah dan 10 Komisariat Daerah/Wilayah dalam proses pembentukan diakhir tahun 2001 ini.

MITRA LEMBAGA RECLASSEERING INDONESIA Pemerintah beserta jajarannya Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung Kepolisian dan Militer Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) LBH Keadilan Rakyat Indonesia (LBH "KRIS") Balai Lelang Mandiri Komisi Anak Jalanan dan Korban Kerusuhan Yayasan Panca Bina Insani (YAPABIN) Koperasi Keluarga Besar YAPABIN Pelopor Penerus Kemerdekaan Bangsa Indonesia khususnya Korps Brigade Pemuda dan Korps Wanita.

Aliansi Pecinta-Pelaku Seni Budaya Indonesia (APPSI) Dewan Ekonomi Sosial dan Pemuda (DESOP) Yayasan Wanita Indonesia BADAN PENGURUS - KOMISARIAT PUSAT LEMBAGA RECLASSEERING INDONESIA 2001-2005 PIMPINAN PUSAT Ketua Umum : DR. H. Moehammad Jasin- Komisaris Jenderal Polisi (Purn) Ketua Pelaksana Harian : DR. H. Rusli Abdul Kadir, SH. Sekretaris : Ratna Dhamayanti (Pjs.) Bendahara : Hj. Suryati Penelitian dan Pengembangan Organisasi Ketua : Sabrie Burhan Wakil Ketua : DR. A. Hamid Hariantoni, SE. Staff Ahli I : DR. H. Djamaluddin, HS, S.SP., SH. Staff Ahli II : Kemas A. Agus, SH., LLM. Staff Ahli III : M. Chair Latupono, SH. Staff Ahli IV : Jakfar, SE., MM. Staff Ahli V : Drs. Mukidjan Rio Supatmo, MSc. Gugus Satuan Aksi Rcelasseering (GUSAR) Ketua : Drs. J. L. Jhafar, MDiv. Wakil Ketua : Handy Saputra Divisi Hukum Ketua : Efendy Hutapea, SH. Wakil Ketua : Yustus Rumaketty, SH. Divisi Hak Asasi Manusia Ketua : Yusdi Lukmansyah Wakil Ketua : IR. M.T.I. Doloksaribu Divisi Usaha Ketua : Drs. Muslim Mursalim, MSc. Wakil Ketua : Dg. MS. Djufrie Divisi Generasi Muda dan Pendidikan - Pelatihan Ketua : Chaidir Rusli Wakil Ketua : Adi Atmanto PEMBINA DAN PENASEHAT AGUNG Ketua : Prof. DR. GPH. Tjokrodiningrat, SH. - Jenderal TNI (Purn)


Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi : KOMISARIAT PUSAT LEMBAGA RECLASSEERING INDONESIA Jl. Letnan Jenderal Suprapto No. 90 Jakarta Pusat 10530 - Indonesia Phone : 62-21-4207919 atau 62-21-4257860 Fax. : 62-21-4257860 Email : reclasseering@yahoo.com maintanance by : Adii Atmanto

didisalin dari website : http://lmripusat.tripod.com/id7.html




Selasa, 01 Mei 2007

PERLUKAH OMBUDSMAN PENJARA?: Sebuah Alternatif (1)

(Iqrak Sulhin) 1 Mei 2007

Sejumlah masalah yang muncul di berbagai lembaga pemasyarakatan (penjara) di Indonesia terakhir ini perlu mendapatkan perhatian serius. Menyerahkan upaya penyelesaian masalah ini sepenuhnya kepada Departemen Hukum dan HAM, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tidak akan berdampak maksimal. Ini sudah dibuktikan dengan tidak pernah terselesaikannya begitu banyak masalah dalam lembaga pemasyarakatan di Indonesia sejak dulu.

Mungkin kini diperlukan suatu alternatif penyelesaian multi stakeholder, yang tidak hanya melibatkan Dep Hum HAM dengan Dirjen Pemasyarakatannya. Lebih dari itu, upaya penyelesaian harus mengikutsertakan stakeholder lain di luar pemerintah seperti organisasi masyarakat sipil (LSM) dan mungkin juga kalangan swasta. Ide ini mengacu pada pengembangan proses governance dalam setiap pengambilan kebijakan, termasuk kebijakan dalam bidang pemasyarakatan.

Pengalaman Amerika Serikat dan Australia dapat dijadikan pembanding. Dalam upaya mengatasi sejumlah masalah dalam sistem pemenjaraan, mereka membentuk suatu badan yang dikenal dengan Prison Ombudsman (Ombudsman Penjara). Lembaga ini berfungsi sebagai mediator antara sejumlah stakeholder, seperti narapidana, petugas, penjara (di Indonesia disebut LP), dan juga otoritas yang ada di atas penjara (di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan).

Secara umum, tugas lembaga Ombudsman Penjara ini tidak jauh berbeda dengan tugas dan fungsi lembaga Ombudsman yang telah dikenal selama ini. Jika lembaga Ombudsman lebih banyak berurusan dengan keluhan yang diberikan masyarakat terhadap penyelenggaraan administrasi publik dan kebijakan publik, maka ombudsman penjara secara spesifik berurusan dengan keluhan yang terkait dengan pelaksanaan pemidanaan dan pembinaan di penjara. Seperti kondisi fisik penjara, kondisi kesehatan narapidana, kualitas makanan, pendidikan dan pelatihan di penjara serta masalah lainnya.

Ombudsman penjara ini dibentuk independen dari struktur pemerintahan (khususnya eksekutif di level departemen). Jika dikontekstualisasi di Indonesia, lembaga ini harus independen dari Departemen Hukum dan HAM, khususnya Dirjen Pemasyarakatan, dan langsung berada di bawah presiden. Independensi ini diperlukan agar benturan kepentingan yang mungkin terjadi bila melibatkan Dirjen Pemasyarakatan dalam upaya menangani sejumlah permasalahan penjara dapat dihindari.

Tidak efektifnya upaya mengatasi begitu banyak masalah di penjara dewasa ini tidak terlepas dari keterlibatan dominan dirjen Pemasyarakatan. Mereka dan hanya mereka yang diberikan kewenangan untuk mengambil sejumlah kebijakan terkait dengan penyelenggaraan pemasyarakatan di penjara. Dalam proses kebijakan, stakeholder tunggal lebih cenderung melakukan kesalahan dari pada multi stakeholder.

Pertanyaannya, bagaimana masalah-masalah penjara tersebut dapat ditangani secara baik bila yang ditugaskan melakukan perbaikan adalah bagian dari masalah itu sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejumlah masalah di penjara terkait dengan ketidakefektifan kerja direktorat jenderal pemasyarakatan. Penjara (LP) hanyalah pelaksana teknis dari kebijakan-kebijakan dirjen pemasyarakatan yang tersentralistik. Seperti telah diulas dalam Tulisan di blog ini berjudul “Masalah Klasik Penjara”, masalah otonomi penjara merupakan cikal-bakal bagi munculnya sederatan masalah lain berikutnya.

Dengan kondisi demikian, sudah saatnya proses pengambilan kebijakan dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia harus melibatkan stakeholder lain di luar direktorat jenderal pemasyarakatan. Departemen Hukum dan HAM memang telah membentuk Badan Pertimbangan Pemasyarakatan, sesuai dengan UU no. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Badan ini berfungsi memberikan pertimbangan, baik diminta atau tidak, terhadap pelaksanaan pemasyarakatan di Indonesia. Namun tidak dapat berjalan secara efektif. Hal ini salah satunya disebabkan karena Badan ini bertanggung jawab kepada Departemen yang membawahi Dirjen Pemasyarakatan. Ia menjadi suatu badan yang diminta mengawasi dan “menyentil” bosnya sendiri. Ini akan menjadi masalah yang sulit diatasi.

Ombudsman penjara dapat memberikan alternatif yang lebih baik dari pada apa yang telah dilakukan selama ini. Keanggotaan yang tidak didominasi eksekutif relatif memberikan “keberanian” bagi lembaga ini untuk merekomendasikan perubahan radikal. Dalam relasi kekuasaan proses kebijakan, hadirnya ombudsman penjara menyebabkan redistribusi kekuasaan yang selama ini hanya tersentralisasi di tangan Dirjen Pemasyarakatan. Tanpa fasilitasi oleh Ombudsman, narapidana dan juga keluarganya tidak akan memiliki posisi tawar yang kuat ketika ingin menyampaikan keluhan kepada LP tentang kondisi kehidupannya di dalam LP tersebut. Dalam struktur masyarakat penjara, minus pihak ketiga, narapidana akan menempati posisi terbawah.

Selain itu, perubahan sangat mungkin terjadi karena Ombudsman Penjara sekaligus akan bertindak menjadi pihak yang mengawasi proses perubahan tersebut. Dengan kemampuan untuk mempublikasi temuan-temuan tentang kondisi penjara dan merekomendasikan perbaikannya, Ombudsman relatif akan mendapatkan dukungan yang lebih luas dari masyarakat. Terlebih lagi dengan adanya kemampuan Ombudsman Penjara untuk meneruskan persoalan ini kepada eksekutif dan legislatif di tingkat tertinggi bila rekomendasi yang diberikannya tidak diindahkan sama sekali.

Masalahnya sekarang, Indonesia belum memiliki Ombudsman Penjara, di tengah semakin parahnya kondisi penjara dan narapidana, serta di tengah ketidakefektifan para pengambil kebijakan di Direktorat Pemasyarakatan. Menurut saya, ini mungkin salah satu alternatif yang harus segera dilakukan sekarang ini.

http://kriminologi1.wordpress.com/2007/05/01/perlukah-ombudsman-penjara/