PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Team Futsal Narapidana Indonesia

Buktikan Sportivitasmu dan Buktikan Kamu Mampu, Semboyan olaharaga Narapidana Indonesia dalam rangka Pembinaan Kepribadian

Jumat, 20 Juli 2007

Persatuan Narapidana Minta Pelepasan Mereka Dipercepat

Pemidanaan

Jakarta, Kompas - Persatuan Narapidana Indonesia meminta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempercepat pelaksanaan rencana pelepasan sekitar 8.000 hingga 10.000 narapidana. Mereka juga meminta agar sistem penghitungan pemberian pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas diubah. Pasalnya, ketentuan yang digunakan saat ini merugikan napi.
Hal tersebut dikemukakan juru bicara Persatuan Napi Indonesia, Sussongko Suhardjo, Kamis (19/7).

Sussongko mengatakan, pihaknya menyambut baik rencana Dephuk dan HAM yang berupaya memperlancar arus keluar napi dari penjara dengan meningkatkan pemberian pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), dan cuti bersyarat (CB). Hal itu, diakui Sussongko, efektif untuk mengurangi jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (LP).

Namun, ia mengusulkan agar bukan hanya prosedur yang disederhanakan, tetapi sistem penghitungannya juga diubah. Pasalnya, sistem yang digunakan sejak 1999 hingga sekarang merugikan.

"Napi kehilangan sepertiga dari remisi dan masa penahanan. Itu tidak dihitung dalam pemberian pembebasan bersyarat," ujarnya.

Selama ini, kata Sussongko, banyak napi yang tidak mendapatkan hak untuk menerima PB, CB, dan CMB. Selain prosedur yang rumit dan lama, proses pengajuannya juga membutuhkan biaya yang cukup mahal.

Uang tersebut, kata dia, digunakan untuk membiayai verifikasi yang dilakukan petugas LP ke rumah dan lingkungan tempat tinggal napi. Petugas harus mendatangi rumah dan mewawancarai tetangga untuk memastikan bahwa masyarakat dapat menerima kembali orang yang bersangkutan.

"Kalau rumahnya jauh, biayanya jadi lebih mahal," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto meminta agar pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat dan hak napi lainnya diawasi. Ini untuk menghindari adanya kepala LP yang hanya mengejar target mengurangi penghuni LP.

"Selama ini, pemberian pembebasan bersyarat sangat ditentukan oleh kepala LP. Ke depan, Dephuk dan HAM harus lebih mengoptimalkan wali pemasyarakatan dalam hal ini. Wali pemasyarakatan harus berasal dari luar struktur LP sehingga lebih independen," usulnya. (ana)

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0707/20/Politikhukum/


Kamis, 05 Juli 2007

Membongkar Borok Pengebiri Hak Napi

Studi NAPI-Narapidana Indonesia

Hasil studi Persatuan Narapidana Indonesia, yang diserahkan ke DPR, menunjukkan Hak narapidana banyak yang terabaikan. Meminta agar kelebihan kapasitas di penjara dikurangi. Misalnya, LP Cipinang, Jakarta, yang hanya muat untuk 1.200 narapidana nyatanya dijejali lebih dari 4.000 orang.

Rutan Salemba, yang kapasitasnya tak sampai 1.000 orang, dijejali 4.200 tahanan. Akibatnya, aula rutan terpaksa disulap menjadi sel massal. Kondisi ini mendorong Roy, Sussongko, dan Rahardi Ramelan, mantan Kepala Badan Urusan Logistik, dan beberapa mantan narapidana lainnya membentuk Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI). Juru bicara NAPI, Roy Marten, menegaskan bahwa praktek-praktek menahan napi selama mungkin dalam penjara mesti diakhiri.

Tuntutan ini, kata Roy, tidak berlebihan. "Kami hanya ingin undang-undang dan peraturan dilaksanakan sebagaimana mestinya," tuturnya. Meski didukung banyak pihak, perlu penyesuaian aturan hukum untuk menerapkannya.[Nasional, Gatra Nomor 34 Beredar

Kamis, 5 Juli 2007

http://www.gatra.com/artikel.php?id=106045


Minggu, 01 Juli 2007

Pidana Seumur Hidup Dalam Perspektif Ide Pemasyarakatan

Artikel Hukum Pidana
Oleh: Zul Akrial

A. Latar Belakang Masalah
Dalam pengertian substantif, hukum pidana dihadapkan pada tiga persoalan pokok, yaitu menyangkut masalah perbuatan pidana (tindak pidana/delik), pertanggungjawaban pidana serta masalah pidana dan pemidanaan. Dari ketiga persoalan tersebut, maka yang mempunyai relevansi dengan tulisan ini adalah menyangkut masalah pidana dan pemidanaan.

Bahwa ancaman pidana yang dicantumkan pada tiap-tiap delik pada hakekatnya adalah menggambarkan ketercelaan dan keseriusan perbuatan yang bersangkutan. Artinya, bahwa suatu perbuatan yang diancamkan dengan pidana penjara 2 tahun akan lebih atau setidak-tidaknya dipandang lebih tercela dibandingkan dengan perbuatan lain yang diancamkan dengan pidana penjara 1 tahun, misalnya. Demikian pula halnya dengan ancaman pidana mati atau ancaman pidana seumur hidup.

Di dalam Pasal 10 KUHP diatur tentang jenis-jenis pidana, yaitu yang terdiri dari pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan), dan pidana tambahan yang terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu dan perampasan barang-barang tertentu serta pengumuman putusan hakim.

Lebih lanjut berkenaan dengan pidana penjara dalam Pasal 12 KUHP ditegaskan:

(1) pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu;
(2) pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut;
(3) pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a (L.N. 1958 no. 127).

Pidana penjara merupakan salah satu bentuk pidana berupa kehilangan kemerdekaan. Bentuk pidana penjara pada dewasa ini merupakan bentuk utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan. Dahulu kala, pidana penjara tidak dikenal di Indonesia (hukum adat), yang dikenal ialah pidana pembuangan.

Pidana dan pemidanaan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana tidak begitu banyak yang memberikan sorotan, dan bahkan terkesan sebagai “anak tiri”. Ilmu pengetahuan hukum pidana yang dikembangkan dewasa ini masih banyak membicarakan masalah-masalah dogmatik hukum pidana dari pada sanksi pidana. Pembahasan tentang sanksi pidana yang bersifat memperkokoh norma hukum pidana belum banyak dilakukan, sehingga pembahasan seluruh isi hukum pidana dirasakan masih belum serasi.

Masalah pidana dianggap merupakan suatu bidang yang tak banyak diketahui, sehingga pembahasan tentang ilmu hukum pidana yang menyoroti pidana pada umumnya dan pidana penjara pada khususnya kurang mendapat perhatian. Selama ini yang banyak dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak di bidang asas-asas hukum pidana yang menyangkut perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Pidana penjara yang merampas kemerdekaan manusia patut sekali mendapat perhatian. Di satu pihak terdapat persentase yang tinggi dari putusan hakim pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa, di pihak lain dalam pelaksanaannya hal itu menyangkut martabat manusia yang menjadi narapidana serta kedudukannya sebagai warga negara atau penduduk Negara Republik Indonesia.

Fungsi pidana sebagai salah satu alat untuk “menghadapi” kejahatan melalui rentetan sejarah yang panjang mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan, dari satu cara yang bersifat “pembalasan” terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan berubah menjadi alat untuk melindungi individu dari gangguan individu lainnya dalam masyarakat, dan perlindungan masyarakat dari gangguan kejahatan; terus berubah dan berkembang ke arah fungsi pidana (khususnya pidana penjara) sebagai wadah pembinaan narapidana untuk pengembalian ke dalam masyarakat.

Dalam rangka ini, bertolak dari ide dasar Dr. Sahardjo, SH., pada saat menerima gelar Doktor Honoris Causa pada tanggal 5 Juli 1963, mengemukakan ide pembaharuan sistem pidana penjara. Menurut Sahardjo, tujuan dari pidana penjara adalah, di samping menimbulkan rasa derita kepada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat serta mendidiknya agar ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Tujuan pemenjaraan yang demikian itu disebutnya dengan pemasyarakatan.

Dari rumusan tujuan pemidanaan tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa ide Sahardjo menganut sistem campuran penjeraan (deterrent) dan reformasi terpidana. Tujuannya ada dua, yaitu mengayomi masyarakat dari perbuatan jahat, dan membimbing terpidana sehingga dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang berguna.

Ide Sahardjo tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konperensi Direktur Penjara seluruh Indonesia pada tanggal 27 April 1964 di Lembang, Bandung.Pada Konperensi itulah dimulai tekad untuk memperbaiki sistem pembinaan narapidana dan anak didik. Sistem lama yang berdasarkan Reglement Kepejaraan warisan kolonial Belanda diganti dengan sistem pembinaan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

B. Perumusan Masalah
Dari uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat penulis rumuskan yang menjadi masalah pokok dalam tulisan ini, yaitu: “bagaimanakah eksistensi pidana seumur hidup dikaitkan dengan sistem pemasyarakatan ?”

C. Pembahasan
Pidana merupakan suatu alat atau sarana untuk mencapai tujuan. Pidana bukan merupakan tujuan, dan memang tidak mungkin menjadi tujuan. Yang mempunyai tujuan disini justru adalah pemidanaan itu sendiri. Tujuan pemidanaan yang berkembang dari dahulu sampai sekarang telah semakin munjurus ke arah yang lebih rasional. Tujuan pemidanaan yang paling tua adalah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dirugikan atau yang menjadi korban kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini. Unsur-unsur primitif dari hukum pidana yang demikian itu sukar untuk dihilangkan. Tujuan yang juga dipandang kuno yaitu penghapusan dosa (expiation) atau retribusi (retribution), yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan balans antara yang hak dan yang bathil.

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, paling tidak terdapat 3 golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu:

1. teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien);
2. teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien);
3. teori gabungan (verenigingstheorien).

Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat Khatolik.Teori pembalasan mengatakan, bahwa pemidanaan tidaklah bertujuan untuk hal-hal yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.

Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukannya kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat penjatuhan pidana itu. Setiap kejahatan berakibat dijatuhkannya pidana pada si pelaku.

Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi suatu keharusan. Hakekat suatu pemidanaan adalah pembalasan.

Teori tentang tujuan pemidanaan yang kedua yaitu teori relatif. Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam penyelenggaranaan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pemidanaan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki atau membinasakan. Lalu dibedakan antara prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang lain pada umumnya tidak melakukan delik.

Bentuk tertua dari prevensi umum dipraktekkan sampai revolusi Perancis. Prevensi umum dilakukan dengan menakutkan orang-orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan di depan khalayak ramai.Kadang-kadang pelaksanaan pidana yang telah diputuskan itu dipertontonkan di depan umum dengan sangat ganasnya, dengan tujuan supaya anggota masyarakat ngeri melihatnya. Untuk ini terkenal suatu adagium Latin yang berbunyi, “nemo prudens punit, quia peccatum, sed net peccetur” (supaya khlayak ramai betul-betul takut melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya di depan umum).

Pada zaman Aufklarung, abad ke 18, pelaksanaan pidana yang ganas ini ditentang secara besar-besaran. Terutama oleh Beccaria dalam bukunya Dei Delliti e delle pene. Keberatan terhadap prevensi umum ini ialah diperguanakannya penderitaan orang lain untuk maksud prevensi umum. Bahkan ada kemungkinan orang yang tidak bersalah dipidana, dipergunakan untuk maksud prevensi umum tersebut.

Sebaliknya, prevensi khusus, yang dianut oleh van Hamel (Belanda) dan von Lizt (Jerman) mengatakan, bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku (dader) bertujuan mencegah bakal pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya.

Maksud prevensi khusus dari suatu pemidanaan ialah:
1. bahwa pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya;
2. dengan pemidanaan harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana;
3. pemidanaan mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki lagi;
4. tujuan satu-satunya suatu pemidanaan adalah mempertahankan tata tertib hukum.
Kemudian teori gabungan antara pembalasan dan prevensi terdapat beberapa variasi. Ada yang menitikberatkan pada pembalasan, dan ada pula yang menghendaki unsur pembalasan dan prevensi seimbang.

Yang pertama, yaitu menitikberatkan pada unsur pembalasan yang antara lain dianut oleh Pompe, yang mengatakan, “bahwa orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan”.

Sedangkan teori gabungan yang kedua, yaitu yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut teori ini, bahwa pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat dari pada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.
Dalam Rancangan KUHP Nasional, Pasal 47 diatur masalah tujuan pemidanaan, yaitu:

(1) Pemidanaan bertujuan untuk:
Ke-1 mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
Ke-2 memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna;
Ke-3 menyelesaikan konflik yang ditimbulkan leh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Bertolak dari ketentuan Rancangan KUHP di atas, maka dapat dikatakan bahwa substansi dalam ketentuan tersebut merupakan penjabaran dari teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha prevensi, koreksi, kedamaian dalam masyarakat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidana (mirip dengan expiation).

Dewasa ini sudah tidak ada lagi penganut teori pembalasan (absolut) yang klasik dalam arti bahwa pidana merupakan suatu keharusan demi keadilan belaka. Menurut Sudarto, kalau masih ada penganut teori pembalasan, mereka itu dikatakan sebagai teori pembalasan modern.

Dari apa yang diuraikan di atas, inilah agaknya yang menjadi pertimbangan dalam konsiderans dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan, “bahwa sistem pemasyarakatan adalah merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.

Lebih lanjut dalam penjelasan umumnya dinyatakan, “sistem kepenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga ‘rumah penjara’ secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan lingkungannya”.

Sejak tahun 1964, sistem pembinaan bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G. 8/506 tanggal 17 Juni 1964 yang pada akhirnya diundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.

Sebagai implementasi dari perubahan sistem tersebut mengakibatkan pula pada perubahan pengaturan hak-hak narapidana, yaitu seperti tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menetapkan, bahwa narapidana berhak:

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti mass media lainnya yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukannya;
h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapat pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas, danm. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sehubungan dengan Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah tempat melakukan proses pembinaan narapidana yang dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan, menurut Mulder, “bahwa pidana perampasan kemerdekaan mengandung suatu ciri khas, yaitu bahwa dia adalah sementara. Terpidana akhirnya tetap diantara kita”.

Apa yang diuraikan di atas dapat pula dilihat dari perspektif relativitas, bahwa tidak ada perbuatan yang secara absolut terus menerus membahayakan masyarakat dan tidak ada pelaku tindak pidana yang mempunyai kesalahan absolut atau sama sekali tidak dapat diperbaiki atau memperbaiki dirinya sendiri.

Berkaitan dengan perspektif relativitas tersebut, menarik untuk disimak apa yang ditulis oleh Habib Ur-Rahman Khan, “bahwa apabila kejahatan dipandang sebagai produk masyarakat, maka masyarakatlah yang membutuhkan perawatan/pembinaan dan bukan si penjahat”.

Secara manusiawi terdapat kecendrungan bahwa orang yang telah dijatuhi pidana seumur hidup dan telah dikuatkan dengan penolakan grasi akan berbuat semaunya di dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena dia berfikir bagaimanapun juga ia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, toh juga tidak akan mengalami perubahan pidana, tetap pidana seumur hidup. Sehingga jika ditilik dari sudut ini, maka ide pemasyarakatan akan mengalami kerancuan berhadapan dengan terpidana seumur hidup.

D. Kesimpulan
Secara umum, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, tidak sedikitpun menggambarkan perlakuan terhadap narapidana seumur hidup. Dan jika sistem pemasyarakatan yang menekakan pada pembinaan dalam rangka resosialisasi, reedukasi, rehabilitasi maupun readaptasi terhadap para narapidana, maka narapidana seumur hidup dalam arti yang sesungguhnya justru sudah tidak mendapat kesempatan untuk berasimilasi secara total dengan masyarakat.

Dengan demikian jenis pidana ini, justru tidak menunjukan relevansi jika dihubungkan dengan tujuan yang hendak dicapai dengan sarana pemidanaan.

Oleh karena itu adalah sangat beralasan sekali jika muncul pandangan yang keberatan terhadap pidana seumur hidup, yaitu jika dihubungkan dengan tujuan pemidanaan:

memperbaiki terpidana supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna, dapat menyadari kesalahannya, dan kelak setelah melalui proses pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat kembali hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Mencermati hukum pidana positif yang mangatur masalah pidana seumur hidup, maka keberadaan terpidana yang dipidana dengan pidana seumur hidup, dalam hal ini harus dikaitkan dengan tujuan pemidanaan, dalam arti bahwa pemidanaan itu adalah bertujuan untuk pembalasan terhadap terpidana atau bertujuan menyingkirkan terpidana dari masyarakat supaya masyarakat aman dari ancaman perbuatan seperti yang dilakukan oleh terpidana.

Atas dasar itu, maka dapat dikatakan tidak terdapat titik temu antara perumusan tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif dengan keberadaan dari terpidana yang dipidana dengan pidana seumur hidup dalam praktek penyelenggaraan hukum pidana.

Dengan demikian, kiranya perlu dilakukan reformasi terhadap eksistensi dari lembaga pidana seumur hidup.

Pekanbaru, 25 April 2007Penulis,
Zul Akrial

Penulis adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Islam Riau dan Kepala Bagian Administrasi Program Doktor Kerjasama Universitas Islam Riau dan Universiti Utara Malaysia. Penulis merupakan member Legalitas.Org yang aktif memberikan sumbang pikiran melalui tulisan-tulisannya.

BIBLIOGRAFI
1. Andi Hamzah, 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. Cetakan Kedua.
2. Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. Cetakan Kesatu.. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. Cetakan Pertama.
3. Bambang Poernomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty. Cetakan Pertama.
4. Jimly Asshiddiqie. 1995. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional. Bandung: Angkasa. Cetakan Pertama.
5. Moeljatno. 1982. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Jakarta: Bina Aksara. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Cetakan Pertama.
6.Muladi dan Barda nawawi Arief. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni. Cetakan Kedua.
7. Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Sejarah dan Azas-Azas Penologi (Pemasyarakatan). Bandung: Armico. Cetakan Pertama.
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.


http://www.legalitas.org/?q=taxonomy/term/1

PROFESIONALISME POLISI......!!!!!!!

Oleh Zul Akrial

Tugas pokok dan fungsi Polri, selain sebagai pengayom masyarakat juga sebagai penegak hukum. Hal ini, menurut Anton Tabah (1991 : 4) cukup dilematis, karena polisi menghadapi dua peran yang berbeda dalam waktu yang sama. Padahal satu sama lain membutuhkan gaya pelayanan yang berbeda pula. Inilah keunikan polisi, yang selalu berhadapan langsung dan banyak berbenturan dengan masyarakat. Hal ini tidak selamanya menyenangkan, bahkan terkadang lebih banyak menjengkelkan.

Polisi adalah sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum (pidana) di lapangan. Sebagai garda terdepan, maka polisi berhadapan langsung dengan warga masyarakat. Dalam kaitan ini, adalah tepat apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa polisi adalah sebagai “pejabat jalanan”, sementara Jaksa dan Hakim sebagai pejabat “gedongan”.

Polisilah sebagai aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dan bergelimang “darah” di lapangan, sementara jaksa dan hakim hanya menindaklanjuti hasil kerja polisi di depan mesin tik atau komputer. Dan malah apabila Pak Jaksanya menganggap BAP dari polisi ada yang kurang sempurna, pak Jaksa akan “memerintahkan” polisi untuk melengkapinya. Hal seperti ini bisa terjadi sampai beberapa kali, tanpa ada aturan yang membatasinya.

Demikian pula halnya dengan pak hakim, hanya mempedomani BAP yang diajukan oleh pak Jaksa. Pada tahap penuntutan dan pengadilan ini boleh dikatakan “ceceran darah segar” tidak seperti pada saat penyidikan yang dilakukan oleh polisi.

Apa yang diuraikan di atas, itulah konsekuensi logis dari sebuah pilihan tugas yang harus diemban. Pada prinsipnya, bahwa untuk menjadi polisi, hakim dan jaksa hanyalah suatu alternatif pilihan pekerjaan, dan bukan merupakan suatu kewajiban tapi adalah sebuah hak. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk menjadi polisi, jaksa atau hakim. Hasil seleksilah yang menentukan seseorang bisa diterima atau tidak menjadi polisi, jaksa atau hakim.

Begitu seseorang diterima sebagai aparatur hukum, maka dipundaknya akan dibebankan kewajiban untuk mengemban tugas. Secara umum, seorang polisi akan dibebenai tugas sebagai pengayom dan penegak hukum. Demikian pula seorang jaksa akan dibebani tugas sebagai penuntut umum. Singkat kata terdapat job description dari masing-masing institusi.Demikianlah, ketika sampah berserakan di tengah kota, yang harus dituding tidak menjalankan pekerjaannya adalah instansi Dinas Kebersihan, bukan polisi dan bukan pula jaksa apalagi hakim.

Inilah makna dari sebuah profesionalisme, mengerjakan apa yang menjadi tugas dan kewajibannya, karena tiap-tiap instansi sudah ditentukan job dan tugasnya masing-masing.

Rekruitmen Anggota Polri
Dari uraian di atas, apa yang dapat kita katakan dengan polisi, khususnya dalam mengemban tugas sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum di lapangan ? Jika kita cermati proses rekruitmen anggota Polri untuk Secaba, dalam hal ini adalah direkrut dari para remaja tamatan SLTA dengan batas umur maksimal 21 dan minimal 18 tahun. Mereka dididik selama 6 (enam) bulan, yang dibagi menjadi 2 bagian, 3 bulan pendidikan fisik dan 3 bulan lagi pembekalan pengetahuan hukum, dan sebelum pelantikan para siswa diberi kesempatan magang (?).

Apa yang dapat kita katakan dengan pembekalan pengetahuan hukum yang hanya diberikan selama 3 bulan itu ? Penulis memandang bahwa pendidikan seperti itu adalah suatu bentuk pendidikan yang main-main dan sangat berbahaya jika metode ini tetap diteruskan. Penulis berpendapat, bahwa selama ini pengetahuan hukum yang dimiliki oleh polisi (Secaba) adalah diperoleh dari pengalaman tanpa landasan teori.

Jadi, menurut hemat penulis, polisi menegakan hukum sambil belajar hukum, atau juga dapat dikatakan, polisi belajar hukum sambil menegakan hukum. Suatu hal yang sangat berbahaya. Karena yang dikatakan hukum bukan hanya sekedar KUHP dan KUHAP saja. Banyak konsep-konsep dan teori-teori yang harus diketahui dan dikuasai polisi.

Pengalaman penulis dalam mengajarkan mahasiswa di Fakultas Hukum, yang kebetulan diantara mahasiswa itu ada yang berstatus sebagai polisi dengan kepangkatan dan masa kerja yang bervariasi, namun satu hal yang jelas adalah bahwa mereka semuanya berasal dari Secaba. Untuk membuktikan betapa rancunya pendidikan Secaba Polri, pada setiap kali kuliah, penulis selalu membuka forum tanya jawab. Dari proses diskusi ini kelihatan sekali betapa lemahnya penguasaan konsep oleh mahasiswa yang berstatus Polri, yang mendapat pembekalan pengetahuan hukum hanya 3 bulan itu.

Penulis sendiri menyadari betapa masih bodohnya pengetahuan yang penulis miliki walaupun telah bergelar magister, apatah lagi pengetahuan hukum yang hanya diperoleh selama 3 bulan. Pendidikan Diploma tiga (D3) saja harus menyelesaikan pendidikannya selama 3 tahun yang nota bene sebagai suatu bentuk jalur pendidikan keahlian/profesional.

Anehnya, bekal pengetahuan hukum yang diberikan selama 3 bulan inilah yang akan dibawa oleh polisi sebagai modal untuk menegakan hukum ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang begitu kompleks dan dinamis.Pengetahuan hukum apa saja yang diperoleh siswa Secaba selama tiga bulan itu ? Jangankan membicarakan teori dan konsep hukum pidana, untuk membahas Pasal demi Pasal KUHP dan KUHAPpun dalam jangka waktu 3 bulan adalah suatu hal yang sangat mustahil.

Kewenangan penyidikan oleh polisi tidak hanya terbatas pada kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam KUHP an sich, melainkan juga kejahatan-kejahatan yang dirumuskan di luar KUHP, seperti, tindak pidana penyelundupan, narkotika, korupsi, bahan peledak dan senjata api, pencemaran lingkungan, terorisme dan sebagainya. Persoalannya, mungkinkah semua materi itu dapat dicerna dan dipahami oleh siswa Secaba yang baru lulus SLTA itu, yang diberikan dalam jangka waktu 3 bulan ? Kalau hanya sekedar syarat formalitas penyampaian materi, mungkin dalam waktu 2 minggupun juga bisa selesai. Tapi persoalannya tidak sesederhana itu.

Sehubungan dengan itu, penulis berpendapat mengapa tidak direkrut anggota polisi dari Sarjana Hukum saja. Karena secara substansial, mereka telah siap dengan pengetahuan hukumnya, yang perlu dibina hanya tinggal pembentukan fisik. Dari sudut pengetahuan, mereka telah dididik dengan materi hukum selama minimal 4 tahun, bukan 3 bulan. Artinya, secara substansial pengetahuan hukum mereka, baik hukum pidana materil maupun hukum pidana formil cukup memadai, jika dibandingkan dengan para lulusan Secaba.

Menurut pengamatan penulis, para lulusan secaba inilah yang justru kebanyakan ditempatkan pada posisi terdepan dalam mengemban fungsi penegakan hukum. Dari sudut analisis ini, maka dapat dipahami jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat kepolisian. Karena terjadi ketidakseimbangan antara kekuasaan yang dimiliki disatu pihak dengan pengetahuan hukum di lain pihak. Berbeda dengan para akademisi, mereka punya pengetahuan hukum tapi tidak punya kekuasaan.

Kejahatan tanggung jawab bersama ?
Satu hal lagi yang menunjukan bahwa sebenarnya aparat kepolisian kita belum profesional adalah, seringkali kalau kita jeli terhadap kalimat dalam spanduk yang dibuat oleh pihak kepolisian berbunyi, “masalah kejahatan adalah tanggung jawab kita bersama”. Bukan saja tulisan dispanduk, bahkan statemen seperti itu sering juga diucapkan oleh kapolri dan kapolda. Benarkah bahwa masalah kejahatan adalah tanggung jawab kita bersama ? Pernyataan ini sangat disayangkan karena secara vulgar polisi secara tidak disadari, telah memberikan pengakuan akan ketidakprofesionalannya.

Seperti yang penulis uraikan di atas, jika sampah berserakan di tengah kota, maka tudingan akan langsung kita arahkan ke institusi Dinas Kebersihan yang menjadi biang ketidakberesan melaksanakan tugas. Ketika aksi kejahatan meruyak dan marak terjadi, instansi manakah yang bertanggung jawab untuk menanganinya ? Adalah tidak masuk akal jika kita menyalahkan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) atau Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang bertanggung jawab. Secara institusional, aparat kepolisianlah yang bertanggung jawab atas banyaknya terjadi kejahatan tersebut.

Silahkan melaksanakan tugas masing-masing. Pedagang, silahkan menggelar dagangannya. Dosen, silahkan bertugas mengajarkan dan mendidik mahasiswa. Para pegawai negeri silahkan menjalankan tugas sesuai dengan bidangnya masing-masing. Demikian pula dengan tukang sate, silahkan beraktivitas mendorong gerobak satenya.Persoalannya, mengapa polisi justru minta diintervensi tugasnya oleh masyarakat, seperti melalui statemen, “masalah kejahatan adalah tanggung jawab kita bersama”. Tidak. Masalah kejahatan adalah masalah kepolisian.

Statemen “masalah kejahatan adalah tanggung jawab kita bersama” bisa dibenarkan, bilamana gaji polisi juga harus dibagi-bagi dengan masyarakat. Jangan hanya tanggung jawab yang dibagi sementara gaji dimakan sendiri. Statemen ini bersifat individualis, yang hanya memikulkan kewajiban tanpa dibarengi dengan hak. Anggota masyarakat telah membayar pajak, yang salah satu realisasinya adalah untuk menggaji polisi yang bertugas di bidang keamanan, untuk menggaji pegawai Dinas Kebersihan yang bertugas menangani sampah dan sebagainya.

Jika masyarakat juga harus dilibatkan dengan tugas keamanan, maka berarti masyarakat telah mengalami dua kali kerugian. Pertama kerugian membayar pajak yang merupakan kewajiban sebagai warga negara, dan kedua ikut bertugas yang bukan kewajibannya tanpa mendapatkan upah/gaji.

14 April 2007Penulis,
Zul Akrial
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Penulis adalah Dosen dan Ketua Bagian Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru

http://www.legalitas.org/?q=taxonomy/term/1