PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Team Futsal Narapidana Indonesia

Buktikan Sportivitasmu dan Buktikan Kamu Mampu, Semboyan olaharaga Narapidana Indonesia dalam rangka Pembinaan Kepribadian

Rabu, 27 Februari 2008

Kalbar Segera Bentuk Persatuan Napi

Pontianak,- Persatuan Narapidana Seluruh Indonesia yang sudah dibentuk, 17 September 2006 lalu di Cipinang akan ditindaklanjuti di Kalbar.
Salah seorang mantan Napi, Gunawan berencana akan mengoordinir untuk pembentukan persatuan itu. “Masih dalam proses, secepatnya kita akan kumpulkan kawan-kawan untuk membicarakan ini lebih lanjut agar ada wadah bagi kita sebagai kontrol sosial bagi pemerintah dan lembaga lainnya,” kata Gunawan kepada sejumlah wartawan media cetak dan elektronik, Senin (18/2) di rumah makan Galaherang.

Menurut Gunawan yang pernah tersangkut hukum kasus narkoba itu, ada hal yang tidak proporsional dari penegak hukum terutama terhadap perkara illegal logging dan korupsi. Pendapat itu dilontarkannya melihat vonis ringan bahkan bebas untuk beberapa terdakwa. “Sementara teman-teman kita yang melakukan perbuatan pidana kecil seperti jambret atau pencurian mendapatkan hukuman lebih berat. Padahal mereka yang melakukan kegiatan illegal logging atau korupsi sangat merugikan perekonomian negara,” urainya.

Pengelola Galaherang itu pun mengkritisi fungsi pembinaan di lembaga pemasyarakatan (Lapas) atau rumah tahanan yang tidak memadai bahkan kurang tepat, selebihnya soal ketidakadilan hukum. “Jadi, penjara itu hanya untuk menghukum atau balas dendam. Kalau seperti itu wajar jika Napi yang keluar bisa melakukan perbuatan pidana dan bahkan lebih pintar agar tidak mudah tertangkap karena mereka tak terbina dengan baik,” bongkar Gunawan yang sempat dimasukkan di Lapas saat proses persidangan kasusnya.

Protes lain disampaikan Gunawan, di Kalbar belum berdiri penjara khusus kasus narkoba. Sementara pelaku narkoba terutama pemakai menurutnya harus mendapatkan perlakuan khusus agar tidak mudah kambuh. Apalagi kontrol terhadap narkoba yang masuk ke penjara kurang ketat. “Bisa saja dengan adanya narkoba yang masuk ke penjara untuk memenuhi kebutuhan pecandu, Napi yang tidak kecanduan atau yang belum pernah merasa barang haram tersebut menjadi ikut-ikutan bahkan menjadi pecandu. Padahal kalau dipasang peralatan CCTV di penjara tentunya lebih mudah mengawasi Napi yang ada,” terang Gunawan yang sekarang lebih banyak menghabiskan waktu mengurus usahanya itu.

Karena itu, Gunawan bertekad wadah yang telah terbentuk di Cipinang akan lebih baik juga muncul di Kalbar. Ia pun telah mengambil beberapa langkah menuju persiapannya, seperti menginventarisasi Napi dan mantan Napi di Kalbar dan Pontianak khususnya. “Kita segera mungkin membentuknya, setelah itu meminta mandat dari pengurus nasional. Kita juga akan menyiapkan semacam lembaga bantuan hukum bagi Napi terutama yang kurang mampu,” tandas Gunawan.

Seperti diketahui, deklarasi 17 September 2006 merupakan hasil kesepakatan 45 orang Napi LP Kelas I Cipinang yang sepakat mendirikan wadah Persatuan Napi Seluruh Indonesia.

Deklarasi itu menyebutkan, penjara dikatakan sebagai ‘sekolah kejahatan’ karena pemerintah seakan tak peduli dengan kualitas pembinaan Napi yang malah menyuburkan dendam sosial. Kualitas lembaga pemasyarakatan di Indonesia sekarang dinilai jauh merosot dibanding penjara zaman Hindia Belanda. Banyak hak-hak hukum Napi diabaikan pemerintah.

Dalam deklarasi, Prof Dd Rahadi Ramelan dan Ir Sasongko Sahardjo MSc, MPA, PhD ditunjuk sebagai Wakil Napi Indonesia untuk berhubungan dengan pihak mana pun, secara lisan maupun tertulis dalam rangka memperjuangkan hak-hak mereka. Sementara Eurico Gueters, Adrian H Waworuntu, Aprilia Widharta dan Sihol Manulang ditunjuk sebagai pengurus. (her)

http://www.equator-news.com/berita/index.asp?Berita=KalbarRaya&id=70221

Sabtu, 16 Februari 2008

Lembaga Pemasyarakatan dan Sistem Peradilan Pidana

Disusun Oleh Muhamad Husni Mubaroq Al-Iqbal
NPM : A10040078

Menurut salah seorang Doktor Ilmu Hukum Indonesia, penerapan hukum tertulis dan tidak tertulis dapat menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial pada orang, sehingga lahirlah mereka yang disebut korban penerapan hukum yang menderita lemah mental, fisik, dan sosial (korban viktimasi struktural). Olehkarena itu perlu adanya pemenuhan persyaratan minimal bagi eksistensinya suatu peraturan perundang-undangan yang berpihak pada rakyat dan keadilan sebagai perwujudan reformasi hukum yang rasional positif, dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat (Gosita, 2004: 89).

Sistem peradilan pidana

Dalam bukunya: "Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana", Reksodiputro (1994: 84) mengartikan peradilan sebagai tiang teras dan landasan negara hukum. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan sistem penanggulangan kejahatan, yang berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya, dalam buku: "Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana", terbaca dengan jelas bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana (Muladi, 1995: 4).

Pada umumnya, penerapan kebijakan/kewenangan penjatuhan pidana (yang pada hakikatnya juga berarti penerapan kebijakan/kewenangan penegakan hukum pidana) sesuai sumber bacaan: "Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana", dilakukan melalui empat tahap/proses sebagai berikut:

(1) penerapan kebijakan/kewenangan penyidikan;
(2) penerapan kebijakan/kewenangan penuntutan;
(3) penerapan kebijakan/kewenangan pemidanaan; dan
(4) penerapan kebijakan/kewenangan pelaksanaan/eksekusi pidana.

Keempat tahap/proses ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Keseluruhan sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana itu pun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral (Nawawi, 1998: 31).

Kenyataannya, peradilan pidana sebagai suatu sistem, terdapat juga empat komponen yang telah diketahui umum bekerja sama satu sama lain, yaitukepolisian-kejaksaan-pengadilan dan (lembaga) pemasyarakatan. Keempat komponen ini diharapkan bekerja sama membentuk suatu "integrated criminal justice administration" (Reksodiputro, 1994: 85). Sedangkan, ciri-ciri peradilan pidana sebagai suatu sistem terbaca dengan jelas dalam buku: "Problema Kenakalan Anak-anak dan Remaja", sebagai berikut:

(1) titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksanaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan);
(2) pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; (3) efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelenggaraan perkara; dan
(4) penggunaan hukum sebagai instrumen untuk menerapkan "the administration of justice" (Atmasasmita, 1984: 9-10).

Lembaga Pemasyarakatan dan Sistem Peradilan Pidana

Proses restorative justice merupakan proses keadilan yang sepenuhnya dijalankan dan dicapai oleh masyarakat. Proses yang benar-benar harus sensitif terhadap kebutuhan masyarakat dan benar-benar ditujukan untuk mencegah dilakukannya kembali tindak pidana. Hal ini menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang penuh dengan pertimbangan dalam merespon kejahatan dan menghindari terjadinya stigmatisasi.

Sehingga sangat disadari perlu dijalankannya suatu mekamsme monitoring di dalam masyarakat terhadap pelaksanaan hasil akhir dari penyelesaian suatu tindak pidana, menyediakan dukungan, dan dibukanya kesempatan yang luas bagi stakeholder3 kunci. Hasil analisa terhadap existing legal framework dan dikaitan dengan perspektif restorative justice adalah:

• Konsep Sistem Pemasyarakatan dalam instrumen nasional tentang reaksi negara terhadap orang yang telah divonis melanggar hukum, yang diilhami oleh 10 Prinsip Pemasyarakatan dari Dr. Sahardjo, memperlihatkan kecenderungan nilai dan pendekatan yang hampir sama dengan nilai dan pendekatan yang terdapat dalam instrumen internasional tentang perlakuan terhadap tahanan dan narapidana, sebagaimana termuat dalam Peraturan-peraturan Standar Minimum (Perserikatan Bangsa Bangsa) bagi Perlakuan terhadap Narapidana, resolusi 663 C (XXIV)/1957 dan resolusi 2076/1977.

Meskipun dalam undang-undang tentang penghukuman dalam sistem peradilan Indonesia tidak diatur secara detail perihal perlakuan minimal yang diberikan oleh negara.

Baik Konsep Sistem Pemasyarakatan maupun Peraturan-peraturan Standar Minimum Bagi Perlakuan terhadap Narapidana menganut filosofi penghukuman yang diwarnai pendekatan rehabilitatif, yaitu pendekatan yang menganggap pelaku pelanggar hukum sebagai pesaldtan dan karenanya harus disembuhkan.

• Hak-hak narapidana atau orang-orang yang dipenjara sebagaimana tercantum> dalam Peraturan-peraturan Standar Minimum (Perserikatan Bangsa Bangsa) bagi Perlakuan terhadap Narapidana, resolusi 663 C (XXTV)/1957 dan resolusi 2076/1977, sebagian besar juga diatur dalam instrumen-instrumen nasional.

• Hak-hak korban salah pemidanaan dan korban penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang — hal mana secara jelas dan detail diatur dalam instrumen-instrumen internasional- tidak diatur dengan jelas dalam instrumen nasional, kecuali dalam Konvensi

Yang dimaksud dengan stakeholder kunci dalam proses keadilan restoratif adalah korban, pelaku, dan masyarakat umum. Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) Resolusi 39/46 tanggal 10 Desember 1984, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1998.

Ada perbedaan yang cukup signifikan antara aneka penghukuman terhadap narapidana yang melakukan berbagai pelanggaran disiplin lembaga (melakukan pelanggaran atas aturan dan tata tertib lembaga penahanan/penjara). Dalam instrumen nasional, terdapat hukuman tutupan sunyi maupun hukuman untuk menghentikan atau menunda hak tertentu untuk jangka waktu tertentu bagi narapidana yang dianggap melakukan pelanggaran hukuman disiplin.

Padahal dalam instrumen-instrumen internasional, bentuk hukuman yang demikian ini dilarang. Mengenai kelengkapan keamanan yang standar bagi petugas lembaga penahanan atau pemenjaraan dalam menjalankan tugas kesehariannya, perlu sangat selektif dalam penggunaan senjata api. Dalam instrumen nasional, penggunaan senjata api justru dinyatakan secara eksplisit sebagai satu kondisi yang umum/biasa.

Dalam kegiatan pengenalan lingkungan bagi narapidana yang baru masuk ke lembaga pemenjaraan, yang pada saat itu diberikan pengenalan fisik lingkungan, juga seyogyanya diberikan pengenalan atas peraturan-peraturan yang eksis dalam lembaga, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh narapidana, juga tentang hak dan kewajiban narapidana.

Bila dalam instrumen internasional, informasi-informasi tersebut wajib diberikan oleh pejabat lembaga pemenjaraan, tetapi dalam instrumen nasional pemberian pengenalan lingkungan ini diberikan oleh kepala blok. Kepala blok adalah narapidana, yang biasanya dipilih atas kualifikasi pendeknya sisa masa hukuman dan perikku patuh 'hukum' (sesungguhnya hanya patuh kepada petugas) serta memiliki kewibawaan atas narapidana lain, pihak yang diberikan tanggung jawab oleh petugas yang berwenang dalam lembaga sebagai penyambung lidah petugas, dan menjadi penanggung jawab atas ketertiban dan keamanan di wilayah bloknya yang terdiri atas beberapa kamar dan dihuni oleh sejumlah narapidana.

Dalam instrumen internasional, secara jelas diatur tentang keberadaan lembaga pengawas yang independen (ombudsman atau oversight committee) atas bekerjanya lembaga-lembaga dan administrasi pemenjaraan, untuk memastikan bahwa lembaga-lembaga ini telah bekerja sebagaimana aturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga yang independen ini juga memiliki otoritas atas akses yang luas ke dalam lembaga pemenjaraan dan terhadap narapidana. Narapidana pun memiliki hak untuk menyampaikan keluhan kepada lembaga pengawas yang independen ini secara bebas dan tanpa didengarkan oleh pejabat lembaga pemenjaraan. Tentang lembaga pengawas yang independen ini tidak diatur dalam instrumen nasional.

Prinsip-prinsip dasar bahwa pengaturan lembaga pemenjaraan harus meminimalkan berbagai perbedaan diantara kehidupan dalam lembaga dengan kehidupan bebas, yang bertujuan untuk mengurangi pertanggung jawaban para narapidana karena martabat mereka sebagai insan manusia, juga dianut oleh instrumen nasional.

Hal-hal tentang pencatatan identitas diri narapidana, kategori-kategori penempatan narapidana, akomodasi, kebersihan pribadi, pakaian narapidana dan tempat tidur, makanan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain, mesldpun tidak diatur secara rinci sebagaimana dalam Standard Minimum Rules (UN), dalam instrumen nasional pun hampir semuanya telah diatur, walaupun memang dengan kualitas yang lebih rendah ketimbang ketentuan yang secara eksplisit disebut dalam Standard Minimum Rules (UN).

Misalnya, dalam hal pemberian pakaian, perlengkapan tidur, ketersediaan obat-obatan dan petugas medis demikian pula masalah sanitasi dan ventilasi kamar atau sel narapidana.

Berkaitan dengan restorative justice, maka terdapat banyak sekali hal yang terdapat dalam ketentuan internasional ataupun nasional yang terkait dengan penahanan/pemenjaraan sebagai kegiatan terminal yang harus memHiki kontribusi pada kehidupan yang lebih baik, minimal sama, pada diri pelanggar hukum pasca penghukuman.

Penekanan pada pemberian pelatihan vokasional sebagai bekal di masa depan, adalah salah satu bentuknya. Dengan kata lain, penghukuman tidak lagi merupakan instrumen retributif ataupun rehabilitatif tetapi juga restoratif. Walaupun demikian, masih berkaitan dengan ide restorative justice, maka terdapat banyak sekali hal yang belum diatur dalam ketentuan internasional ataupun, apalagi, nasional.

Pemenuhan hak-hak asasi tahanan dan narapidana memang tidak dapat disingkirkan, namun seyogyanya dilaksanakan bersamaan dan seimbang dengan pemenuhan hak-hak asasi pihak- pihak yang terkait dengan pelaku kejahatan.' Tidak hanya itu, sistem pemasyarakatan yang secara konsisten dan optimal menganut pemikiran restorative justice, sebenarnya tidak menuntut diberlakukannya berbagai hal yang selama ini telah diatur dalam ketentuan internasional ataupun nasional mengenai pembinaan ataupun perlakuan terhadap narapidana.

Perspektif restorative justice juga menuntut diadakannya pembentukan ataupun perubahan (bila sebelumnya sudah terbentuk) menyangkut lembaga-lembaga lain di luar lembaga pemasyarakatan guna bersama-sarna lembaga pemasyarakatan merestorasi perilaku jahat atau menyimpang dari narapidana. Baik ketentuan mternasional maupun nasional tidak menyinggung hal itu.

Ide restorative justice menghendaki agar proporsi lembaga-lembaga lain tersebut cukup signifikan dibandingkan dengan lembaga pemasyarakatan, melambangkan tersedianya.cukup alternatif dalam rangka pemberian sanksi sosial bagi anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan penyimpangan.

Temuan studi lapangan:

- overpopulatis, berimbas kepada banyak persoalan seperti keterbatasan ruang, fasilitas pembinaan, fasilitas-fasiltas dasar seperti tempat tidur, pakaian, dll. Ancaman keributan atau kerusuhan dalam lembaga, kontrol dan perhatian petugas yang terbatas akibat perbandingan yang tidak ideal antara jumlah petugas dengan narapidana, akses terhadap fcegiatan-kegiatan pembinaan dan Kecrampiian kerja yang sangat terbatas.

- indikator kebehasilan pembinaan dalam lembaga cenderung dilihat oleh pejabat lembaga melalui sejauhmana kepatuhan narapidana terhadap peraturan lembaga yang direpresentasikan oleh ada tidaknya pelarian dan keributan dalam lembaga

- dengan demikian maka prioritas utama pembinaan adalah menciptakan kestabilan keamanan dalam lembaga melalui peraturan-peraturan yang ketat, sanksi hukum yang keras (meskipun tidak ada kepastian dan kejelasan).

- karena berprioritas pada kestabilan dan keamanan institusi, maka program pembinaan berjalan dengan semangat 'asal ada kegiatan'.

- minimnya anggaran juga menyebabkan Lapas sulit mengatur program kegiatan yang benar-benar tepat sasaran. Anggaran terbesar diserap oleh kebutuhan akan makanan bagi napi.

- sebagian besar responden sebelumnya telah melakukan tindak kriminal

- pelatihan kerja atau keterampilan, seringnya hal itu tidak sesuai dengan karakteristik, minat dan keinginan mereka, atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi di luar lembaga. Ketertinggalan teknologi dan tidak bervariasinya pemberian keterampilan justru menyebabkan kegiatan menjadi tidak efektif, dengan biaya produksi yang tinggi dan hasil yang tidak maksimal.

- maka, tidaklah terlalu mengherankan bila hal tersebut menyebabkan kebanyakan bekas narapidana menemui kesulitan untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat. Selain, tentu saja, persoalan stigma negatif yang menempel pada 'label' bekas narapidana menyebabkan banyak perusahaan atau majikan tidak mau menerima 'eks napi' sebagai pegawainya.

- Program pembinaan dititikberatkan pada kegiatan pembinaan agama karena pejabat yang berwenang memandang kejahatan sebagai dosa, sehingga konsep tentang tobat dan akhlak, masih sangat kental

Menurut mereka, persoalan kejahatan adalah persoalan tidak adanya iman yang kuat dari para pelakunya penempatan narapidana di dalam Lapas juga menimbulkan "korban" baru (secondary but indirect victimisation). Dari 140 orang responden yang sudah berkeluarga, 87.2% diantaranya mengharuskan (tepatnya: mengakibadcan) istri dan keluarganya (seperti orangtua, saudara, dll.) untuk menanggung biaya hidup anak-anaknya.

Sebagian besar alasan mereka ddak ingin kembali ke tempat dnggal asalnya menggambarkan bahwa tidak ada upaya reintegrasi, baik antara pelaku dengan korban, juga antara pelaku dengan masyarakat, yang mestinya menjadi inisiadf dan dilakukan oleh sistem peradilan. Realitas program pembinaan narapidana di dalam dan di luar lembaga, ddak bisa dipisahkan dari kondisi sumber daya petugas yang secara umum tidak cukup kapabei. Hal mi di antaranya disebabkan oleh,

a. sistem perekrutan yang tidak didasari oleh kebutuhan kualifikasi personil

b. lemahnya keterkaitan kurikulum Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) sebagai insdtusi yang menghasilkan lulusan untuk bekerja pada Lembaga Pemasyarakatan, padahal jumlah mereka sangat signifikan dan menduduki posisi-posisi penting.

c. kurangnya pengkayaan kemampuan petugas Lapas dan Bapas melalui pelatihan-pelatihan d. buruknya sistem gaji dan tunjangan bagi pegawai pemasyarakatan dan Bapas yang berpengaruh pada kinerja personil dan lembaga

d. mekanisme evaluasi prestasi kerja dan jenjang karir petugas yang ddak jelas dan transparan

e. friksi antar pegawai yang berasal dari AKIP dengan non AKIP, yang dipicu olehperlakuan yang diskriminatif, merendahkan terhadap petugas dari non AKIP

f. anggaran dana operasional untuk lembaga yang sangat minim dan ketika bertemu dengan moralitas pejabat lembaga yang korup, maka kondisi ini menjadi sangat menekan biaya-biaya operasional yang semesdnya tidak bisa dikurangi

g. sudah dana terbatas, semaltin terbatas karena dikorup, pengalokasiannya tidak tepat , sasaran dan tidak efisien (adanya pemborosan-pemborosan karena melakukan 'tender* tertutup untuk pengadaan barang, makanan untuk operasinal lembaga).

h. dan yang terutama adalah, kesenjangan konsep pemasyarakatan dengan realitas pelaksanaan di lapangan.**

http://mhusnimubaroq.blogs.friendster.com/mhusnimubaroq/2007/06/_lembaga_pemasy.html

Minggu, 10 Februari 2008

Mantan Napi Versus Kebohongan

Oleh: Rahardi Ramelan
Ketua Umum, NAPI-Persatuan Narapidana Indonesia


Sungguh menarik apa yang disampaikan Ketua DPR dalam pidato Pembukaan Masa Persidangan III DPR 2007-2008, pada tanggal 7 Januari yang lalu, mengenai hak mantan narapidana dalam jabatan publik. Ketua DPR yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar telah meminta kepada Pansus RUU Politik untuk memperhatikan keputusan MK pada tanggal 11 Desember 2007 yang lalu, tentang hak politik mantan narapidana pada jabatan publik.

Dengan adanya pembatasan bagi mantan narapidana pada jabatan publik dan pemerintahan dalam beberapa UU yang ada, maka beberapa orang mantan napi telah mengajukan permohonan uji materiil kepada MK. Sejak pengajuan hal tersebut dan dalam proses di MK telah timbul polemik pro dan kontra, etis atau tidak etis, mengenai dikembalikannya hak-hak politik mantan narapidana.

Pasal-pasal tertentu dalam UU Pemda, UU Pilpres, UU BPK, UU MA dan UU MK, telah mengatur mengenai syarat-syarat pencalonan diri pada jabatan-jabatan publik diinstasi bersangkutan, yang berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih”.

Walaupun akhirnya MK menolak permohonan tersebut, tetapi dalam putusannya menyatakan bahwa putusan tersebut sebagai putusan “kunstitusional bersyarat”. Putusan MK tersebut memberikan batasan, yaitu hanya berlaku bagi mantan napi kasus politik dan kealpaan ringan (culpa levis). Putusan mengenai pembatasan tersebut telah mendapat tanggapan kritis dari beberapa politisi progresif yang menginginkan ditiadakannya pembatasan berdasarkan kasus mantan napi.

Pandangan politisi progresif tersebut sejalan dengan aspirasi masyarakat kita yang sudah dapat menilai siapa sebenarnya yang telah dijebloskan kedalam penjara atas nama hukum. Tebang pilih yang terjadi dalam proses awal peradilan, dan peradilan yang carut marut sering menimbulkan pertanyaan siapa sebetulnya yang menjadi narapidana.

Kasus para selebriti dan pejabat publik menjadi besar karena lingkupan media yang gencar. Terutama kasus narkoba bagi selebriti dan kasus korupsi bagi pejabat publik. Mereka yang telah menjalani hukuman penjara, kadang-kadang bukan merupakan pengakuan atas kesalahan atau kekeliruannya, melainkan karena menghormati proses hukum.

Menjadi terpidana di negeri tercinta ini, hanya bagi mereka yang bodoh sehingga tertangkap basah melakukan pelanggaran hukum, atau korban rekayasa politik dan kekuasaan, serta mereka yang tidak memiliki kekuatan baik kekuasaan maupun uang untuk menghindar dari penjara.

Menghormati Hukum

Mantan napi pada dasarnya adalah anggota masyarakat yang lebih terhormat, karena mereka telah menghormati hukum, jika dibandingkan dengan mereka, terutama pejabat publik, yang telah melakukan kebohongan publik dan rekayasa untuk melepaskan diri dari jerat hukum. Beberapa kasus yang menjadi perhatian masyarakat dan sorotan media masih segar dalam ingatan kita, betapa kebohongan demi kebohongan telah dilakukan oleh beberapa public figure, baik didepan umum maupun dalam persidangan, yang kemudian menjadi bahan tertawaan masyarakat.

Seperti halnya kita menonton parodi politik yang banyak ditayangkan di TV sekarang ini. Bohong bersama-sama merupakan istilah yang dipakai masyarakat mengungkapkan kekesalannya atas usaha para tersangka mengatur saksi-saksi untuk bersama-sama berbohong. Meja dan kursi dijadikan saksi, lupa atau sudah tidak ingat, telah dijadikan senjata untuk berkelit dari tuntutan pidana.

Peringatan dan ancaman hakim atas hukuman bagi yang berbohong didalam sidang, hanya dianggap sebagai gertakan belaka, karena belum pernah ada implementasinya.

Jadi, sebetulnya siapa yang lebih tidak layak menjadi pejabat publik? Apakah mantan narapidana, yang telah menjalankan hukuman sesuai dengan putusan pengadilan? Mereka yang dengan lapang dada telah menjalankan hukuman demi kepatuhan terhadap hukum.

Atau mereka yang menghindar dari hukuman dengan cara melakukan kebohongan publik, tetapi mereka merasa lebih berhak menjadi pejabat publik?

Kita jangan lupa bahwa orang jahat lebih banyak berada diluar penjara daripada didalam penjara.

Semoga wakil-wakil rakyat di DPR mempunyai pandangan yang jernih serta mendengar hati nuraninya dalam menyelesaikan RUU Politik, khususnya RUU Pemilu yang sedang dibahas.

Janganlah kita menjadi masyarakat atau bangsa yang pendek ingatannya, sehingga melupakan perilaku para elit kita, yang secara tidak etis melakukan kebohongan publik dengan mengorbankan orang lain.

Dimuat di Harian Suara Pembaruan tgl 17 Januari 2008

http://www.leapidea.com/presentation?id=92

Sabtu, 09 Februari 2008

Yayasan Solidaritas Eks Napi Indonesia SulseL

Miliki 300 Anggota, Berusaha Tepis Hukuman Sosial


Laporan: Sultan Rakib

STIGMA negatif bagi para narapidana (napi), memang masih melekat kuat di masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga tak bisa disalahkan begitu saja. GELAK tawa sejumlah pria terdengar jelas dari sebuah rumah permanen berwarna putih di Jl Sultan Alauddin I nomor 5 Makassar, kira-kira pukul 13.00 Wita Rabu, 20 Februari. Gelak tawa itu sesekali terdengar sampai di halaman rumah; sangat keras.

Tepat di depan rumah yang memiliki rumput lebat itu, berdiri kokoh papan berukuran 2X3 meter dengan tulisan Yayasan Solidaritas Eks Napi Indonesia (Yaseni) Sulawesi Selatan. Ternyata, rumah ini menjadi tempat pertemuan bagi para eks napi yang masuk dalam anggota Yaseni.

Tawa dan canda beberapa pria itu tiba-tiba terhenti saat penulis melangkah melewati pintu dan masuk ke ruang tamu rumah tersebut. Pandangan beberapa pria ini bak dikomando mengarah kepada penulis.

“Dari Fajar? Silakan masuk, sudah ditunggu,” ujar salah seorang dari mereka. Penulis sempat khawatir. Maklum, beberapa di antara mereka terlihat gondrong plus anting-anting di telinga.

Bukan hanya itu, ada eks napi yang kancing bagian atas bajunya terbuka sehingga tato di bagian dadanya terlihat.

Namun, ternyata mereka menyambut penulis dengan nada sopan dan senyum ramah. Penulis akhirnya tenang. “Kita semua sama dan bersaudara.

Bedanya, beberapa teman ini, termasuk saya adalah eks napi, sedangkan bapak (penulis) bukan,” kata Syukri Djunaid, seorang pembina Yaseni sambil mempersilakan penulis duduk di sofa berwarna krem.

Tidak ada basa-basi, memang. Beberapa detik saja setelah penulis mengambil posisi duduk, Ketua Umum Yaseni Andi Amir langsung membuka pembicaraan.

Lelaki dengan rambut cepak ini kemudian berkisah tentang yayasan yang mengayomi para eks napi itu. Ia mengatakan, yayasan ini sudah memiliki 300 anggota eks napi.

“Mereka semuanya dibina di yayasan ini. Kita berupaya keras agar tidak ada lagi yang melakukan praktik amoral setelah keluar dari penjara,” tegas Amir, meyakinkan.
Selang beberapa detik setelah berkomentar, Hasanuddin Tahir, salah seorang pembina dan sekaligus pendiri Yaseni ini, angkat bicara.

Dia menjelaskan bahwa ikhwal terbentuknya yayasan ini tak lain untuk meminimalkan tindak kriminalitas, khususnya bagi para eks napi.

Dia mengungkapkan, sebenarnya, salah satu penyebab sehingga sejumlah eks napi tak pernah bertobat karena perilaku masyarakat sekitar. Selain itu, tidak adanya jaminan dari pihak pemerintah.

Dalam realitas masyarakat modern yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, praktik pemenjaraan seolah-olah gagal mengubah seorang penjahat menjadi warga masyarakat yang baik. Pada akhirnya, lembaga pemasyarakatan tetap sebagai penjara yang seringkali membuat seorang narapidana tambah “pintar” berbuat jahat.

Dasar inilah, lanjut Hasanuddin, memunculkan pemikiran untuk membuat yayasan yang bisa mengubah secara total dan permanen sikap mantan napi. Tujuannya, agar bisa berguna dan tidak sekadar menjadi “sampah” masyarakat.

“Di Yaseni ini, sebanyak 300 anggotanya mulai kami kumpulkan untuk kemudian kami usahakan agar disalurkan ke beberapa perusahaan yang bisa menerima mereka sesuai dengan keahliannya,” jelas Hasanuddin.

Memang, lanjut dia, tidak semua anggota Yaseni sudah mendapatkan pekerjaan. Maklum, usia yayasan ini baru beranjak sebulan. Yaseni dibentuk berdasarkan akte pendirian tertanggal 23 Januari 2008.

“Pengurus yayasan masih terus membuka akses ke sejumlah perusahaan, sambil proses SITU-nya dibuat. Yang jelas, niat baik kami menjadikan yayasan eks napi ini berguna dan tidak lagi menjadi momok menakutkan bagi masyarakat,” ujar Hasanuddin.

Amirullah Tahir, salah satu pengacara di Makassar, ternyata menjadi salah seorang pendiri Yaseni. Sayangnya, Amirullah tak sempat hadir dalam pertemuan para eks napi ini dengan penulis, kemarin. Amirullah berada di Jakarta.

Kendati tak bertemu langsung dengan penulis, ia tetap mengirimkan pesan singkat yang mempertegas bahwa Yaseni bukan organisasi politik. Juga tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu.

Yayasana ini, kata dia, murni bergerak dalam bidang sosial dengan tujuan utama menyejahterahkan anggotanya. Terpenting, sebut dia lagi, menghapus segala bentuk diskriminasi sosial bagi mantan napi.

Ditambahkan, Yaseni berbeda dengan yayasan sejenis yang didirikan di Jakarta yang hanya melakukan pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP), dengan kegiatan membuka kuliah hukum di Cipinang, yang diikuti eks napi berduit.

“Yaseni beda dengan itu. Karena orientasinya pada pembinaan mantan napi di luar LP, membina yang keluar Rutan/LP,” katanya.

Amirullah menambahkan, pembinaan di dalam penjara saat ini dinilai sudah baik. Bimbingan mental dan keterampilan juga sudah memadai. “Persoalannya muncul saat napi keluar dari Rutan/LP.

Adaptasi sosial menjadi masalah karena muncul penolakan sebagian masyarakat. Mantan napi dianggap pendosa yang harus dijauhi.

Akibatnya, pekerjaan tidak jelas. Urusan mengisi perut saja menjadi sulit, sehingga muncullah pikiran, antara lain; lebih baik mati berdarah daripada mati kelaparan. Nah, akhirnya kejahatan terulang lagi,” tandas Amirullah.

Pernyataan Amirullah ini mungkin ada benarnya. Tak heran, sejumlah napi terkesan tak mau bertobat karena kurangnya perhatian masyarakat luas dan pemerintah kepada mereka. Nah, di sinilah sikap kearifan sebagai sesama sangat dibutuhkan. (bersambung)


http://www.fajar.co.id/picer.php?newsid=368

Minggu, 03 Februari 2008

Pelanggaran HAM Sang Napi

Written by Judianto Simanjutak

Bulan April 2007 yang baru berlalu, media massa banyak menyoroti kondisi kesehatan narapidana (napi) yang sangat memprihatinkan. Kenyataan ini dikemukakan Rahardi Ramelan, juru bicara napi seluruh Indonesia di Jakarta (9/4). Rahardi mengatakan dari sekitar 4.000 napi di LP Cipinang, lebih dari 1.000 napi memiliki penyakit kulit akut. Kapasitas LP Cipinang yang hanya untuk 1.700 napi harus didiami sekitar 4.000 napi (Kompas, 10 April 2007).

Yang paling mengerikan adalah bahwa penyakit yang dialami napi tidak jarang mengakibatkan kematian seperti di LP Tangerang sebagaimana dijelaskan Dirjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM, Akbar Adi Prabowo. Dia mengatakan peristiwa tewasnya sejumlah napi di LP Pemuda Tangerang belum lama ini bukan akibat tindak kekerasan melainkan akibat sakit (Kompas, 04 April 2007). Pada tahun 2006 napi yang meninggal di seluruh Indonesia menunjukkan jumlah yang tidak sedikit yaitu 813 orang dari total napi se - Indonesia 116.668 orang, sedangkan tahun 2007 sampai bulan Februari napi yang meninggal di seluruh Indonesia sebanyak 62 orang, termasuk di Jakarta (Kompas, 14 April 2007).


Peristiwa tragis itu merupakan bencana kemanusiaan yang menyayat hati masyarakat di seluruh tanah air karena merasa prihatin atas kondisi napi yang disebabkan kebijakan negara (pemerintah) yang tidak adil. Mengapa hal itu terjadi? Pertanyaan itu merupakan koreksi terhadap sistem pembinaan dan perlindungan napi sebagaimana diamanatkan dalam UU. No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Salah satu perlindungan yang esensial yang seharusnya dipenuhi negara terhadap napi adalah bidang kesehatan.

Napi Berhak Atas Kesehatan

Bencana yang terjadi kepada para napi tersebut sebenarnya tidak akan terjadi apabila negara memahami bahwa narapidana mempunyai hak atas kesehatan seperti warga negara lain. Ketentuan ini diakui eksistensinya dalam pasal 14 ayat (1) huruf b UU. No. 12 Tahun 1995. Dalam Undang-Undang itu disebutkan bahwa narapidana berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.

Disamping itu, beberapa produk hukum juga menyatakan bahwa kesehatan adalah Hak, misalnya pasal 34 ayat (3) amandemen UUD 1945 ke 4 yang menyatakan hak atas kesehatan, termasuk hak setiap orang menikmati kondisi lingkungan yang baik dan sehat, UU. No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Pasal 4 UU No 23/1992 menyebutkan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal, kemudian pasal 9 menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Bahkan instrumen hukum internasional juga menyatakan hal yang sama yaitu Universal Declaration of Human Right (DUHAM) (pasal 25), Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU. No. 11 Tahun 2005 (pasal 12). Adapun Prinsip hukum internasional tersebut adalah bahwa negara mempunyai tiga kewajiban pokok (core obligation) terhadap hak asasi individu warganya, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfil) hak asasi warganya.

Jika negara lalai memenuhi hak asasi warganya, dalam konteks hukum Hak Asasi Manusia (HAM), telah terjadi pelanggaran HAM. Dengan demikian pemenuhan hak atas kesehatan merupakan kewajiban negara terhadap warga negaranya. Keseluruhan produk hukum tersebut secara ideal (das sollen) merupakan landasan bagi negara untuk memenuhi hak-hak dasar para napi demi terwujudnya keadilan, sekaligus dalam rangka penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang juga merupakan salah satu sistem pembinaan pemasyarakatan (pasal 5 huruf e UU. No. 12 Tahun 1995). Tetapi realitas (das sein) menunjukkan pemenuhan hak atas kesehatan napi di seluruh Indonesia jauh dari yang diharapkan.

Pelanggaran HAM Terhadap Napi

Kasus sebagaimana disebutkan diatas merupakan potret buruk pelayanan kesehatan terhadap napi. Fenomena itu dalam terminologi Hukum HAM merupakan pelanggaran atau penyangkalan (denial) HAM (red: hak atas kesehatan). Pelanggaran terhadap hak atas kesehatan itu pada dasarnya merupakan pengingkaran terhadap perjanjian internasional yang telah disepakati bersama masyarakat internasional termasuk Indonesia. Padahal konsekuensi turut sertanya sebuah negara dalam penandatanganan perjanjian tersebut termasuk ratifikasi adalah setiap negara berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi warganya, jika negara mengabaikannya akan mendapat sanksi internasional.

Pengabaian terhadap hak atas kesehatan para napi tersebut dapat dilihat dari minimnya peranan negara dalam memberikan pencegahan dan penanggulangan terhadap berbagai penyakit yang dialami para napi. Atau dengan kata lain kurang aktifnya negara mengupayakan penanganan kesehatan yang memungkinkan warganya (napi) bebas dari penyakit yang sangat berbahaya.

Hal ini dapat dibuktikan dari pernyataan Rahardi Ramelan bahwa kesehatan napi tiada yang memperhatikan (Kompas, 10 April 2007). Pernyataan Baby Jim Adytia (Direktur Yayasan Partisan Club) juga menunjukkan bahwa kepedulian negara terhadap kesehatan napi sangat kurang. Baby Jim menyebutkan bahwa kesadaran pemerintah akan bahaya HIV/AIDS sangat terlambat (Kompas, 10 April 2007).

Ini adalah kelalaian negara terhadap kewajiban bertindak atau berbuat (obligation of conduct) yang seharusnya dilakukan melalui tindakan-tindakan legislasi, anggaran, administratif, hukum dan tindakan lainnya guna pemenuhan hak atas kesehatan. Jika hal itu terlaksana, upaya negara menciptakan napi yang sehat serta upaya menghindarinya dari kematian akibat penyakit akan menjadi kenyataan.

Pemenuhan hak atas kesehatan sebagai bagian dari Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Hak Ekosob) yang seharusnya membutuhkan peran dan campur tangan negara (obligation to do some thing) merupakan sistem yang dianut dalam instrumen hukum internasional yang berbeda dengan pemenuhan Hak Sipil dan Politik (Hak Sipol) yang pemenuhannya dalam keadaan tertentu tidak membutuhkan peran dan campur tangan negara (obligation not to do some thing). Karena itu Hak Ekosob dinamakan dengan Hak positif (positif right), sedangkan Hak Sipol adalah hak negatif (negatif right).

Hilangnya Hak Hidup Napi

Penyangkalan negara atas hak atas kesehatan para napi dalam kasus di atas membawa konsekuensi yang sangat besar karena fenomena itu mengakibatkan kematian Napi. Hal ini juga merupakan pelanggaran HAM (hak untuk hidup) yang keberadaannya diatur dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi melalui UU. No. 12 Tahun 2005 (pasal 6), DUHAM (pasal 3), UUD 1945 (pasal 28I ayat (1)), UU. No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM (pasal 4).

Oleh karena itu dibutuhkan komitmen negara untuk memperhatikan nasib napi dengan memberikan pelayanan kesehatan yang memadai dan berkualitas, sebab napi walaupun melakukan kejahatan/tindak pidana tetap berhak mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Jadi, sangatlah tidak adil jika negara menganggap napi sebagai warga kelas dua dan mengabaikan hak-hak dasarnya hanya karena statusnya yang berbeda dengan warga negara yang lain. Pemenuhan hak atas kesehatan napi merupakan tanggung jawab negara sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik yang berkewajiban memenuhi hak-hak dasar warganya termasuk hak atas kesehatan sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Oleh: Judianto Simanjuntak, anggota Tim Pembela Kebebasan Beragama (TPKB)Relawan Yappika (Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi)


http://www.wahanakebangsaan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=3&Itemid=32