Minggu, 01 Juli 2007

PROFESIONALISME POLISI......!!!!!!!

Oleh Zul Akrial

Tugas pokok dan fungsi Polri, selain sebagai pengayom masyarakat juga sebagai penegak hukum. Hal ini, menurut Anton Tabah (1991 : 4) cukup dilematis, karena polisi menghadapi dua peran yang berbeda dalam waktu yang sama. Padahal satu sama lain membutuhkan gaya pelayanan yang berbeda pula. Inilah keunikan polisi, yang selalu berhadapan langsung dan banyak berbenturan dengan masyarakat. Hal ini tidak selamanya menyenangkan, bahkan terkadang lebih banyak menjengkelkan.

Polisi adalah sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum (pidana) di lapangan. Sebagai garda terdepan, maka polisi berhadapan langsung dengan warga masyarakat. Dalam kaitan ini, adalah tepat apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa polisi adalah sebagai “pejabat jalanan”, sementara Jaksa dan Hakim sebagai pejabat “gedongan”.

Polisilah sebagai aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dan bergelimang “darah” di lapangan, sementara jaksa dan hakim hanya menindaklanjuti hasil kerja polisi di depan mesin tik atau komputer. Dan malah apabila Pak Jaksanya menganggap BAP dari polisi ada yang kurang sempurna, pak Jaksa akan “memerintahkan” polisi untuk melengkapinya. Hal seperti ini bisa terjadi sampai beberapa kali, tanpa ada aturan yang membatasinya.

Demikian pula halnya dengan pak hakim, hanya mempedomani BAP yang diajukan oleh pak Jaksa. Pada tahap penuntutan dan pengadilan ini boleh dikatakan “ceceran darah segar” tidak seperti pada saat penyidikan yang dilakukan oleh polisi.

Apa yang diuraikan di atas, itulah konsekuensi logis dari sebuah pilihan tugas yang harus diemban. Pada prinsipnya, bahwa untuk menjadi polisi, hakim dan jaksa hanyalah suatu alternatif pilihan pekerjaan, dan bukan merupakan suatu kewajiban tapi adalah sebuah hak. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk menjadi polisi, jaksa atau hakim. Hasil seleksilah yang menentukan seseorang bisa diterima atau tidak menjadi polisi, jaksa atau hakim.

Begitu seseorang diterima sebagai aparatur hukum, maka dipundaknya akan dibebankan kewajiban untuk mengemban tugas. Secara umum, seorang polisi akan dibebenai tugas sebagai pengayom dan penegak hukum. Demikian pula seorang jaksa akan dibebani tugas sebagai penuntut umum. Singkat kata terdapat job description dari masing-masing institusi.Demikianlah, ketika sampah berserakan di tengah kota, yang harus dituding tidak menjalankan pekerjaannya adalah instansi Dinas Kebersihan, bukan polisi dan bukan pula jaksa apalagi hakim.

Inilah makna dari sebuah profesionalisme, mengerjakan apa yang menjadi tugas dan kewajibannya, karena tiap-tiap instansi sudah ditentukan job dan tugasnya masing-masing.

Rekruitmen Anggota Polri
Dari uraian di atas, apa yang dapat kita katakan dengan polisi, khususnya dalam mengemban tugas sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum di lapangan ? Jika kita cermati proses rekruitmen anggota Polri untuk Secaba, dalam hal ini adalah direkrut dari para remaja tamatan SLTA dengan batas umur maksimal 21 dan minimal 18 tahun. Mereka dididik selama 6 (enam) bulan, yang dibagi menjadi 2 bagian, 3 bulan pendidikan fisik dan 3 bulan lagi pembekalan pengetahuan hukum, dan sebelum pelantikan para siswa diberi kesempatan magang (?).

Apa yang dapat kita katakan dengan pembekalan pengetahuan hukum yang hanya diberikan selama 3 bulan itu ? Penulis memandang bahwa pendidikan seperti itu adalah suatu bentuk pendidikan yang main-main dan sangat berbahaya jika metode ini tetap diteruskan. Penulis berpendapat, bahwa selama ini pengetahuan hukum yang dimiliki oleh polisi (Secaba) adalah diperoleh dari pengalaman tanpa landasan teori.

Jadi, menurut hemat penulis, polisi menegakan hukum sambil belajar hukum, atau juga dapat dikatakan, polisi belajar hukum sambil menegakan hukum. Suatu hal yang sangat berbahaya. Karena yang dikatakan hukum bukan hanya sekedar KUHP dan KUHAP saja. Banyak konsep-konsep dan teori-teori yang harus diketahui dan dikuasai polisi.

Pengalaman penulis dalam mengajarkan mahasiswa di Fakultas Hukum, yang kebetulan diantara mahasiswa itu ada yang berstatus sebagai polisi dengan kepangkatan dan masa kerja yang bervariasi, namun satu hal yang jelas adalah bahwa mereka semuanya berasal dari Secaba. Untuk membuktikan betapa rancunya pendidikan Secaba Polri, pada setiap kali kuliah, penulis selalu membuka forum tanya jawab. Dari proses diskusi ini kelihatan sekali betapa lemahnya penguasaan konsep oleh mahasiswa yang berstatus Polri, yang mendapat pembekalan pengetahuan hukum hanya 3 bulan itu.

Penulis sendiri menyadari betapa masih bodohnya pengetahuan yang penulis miliki walaupun telah bergelar magister, apatah lagi pengetahuan hukum yang hanya diperoleh selama 3 bulan. Pendidikan Diploma tiga (D3) saja harus menyelesaikan pendidikannya selama 3 tahun yang nota bene sebagai suatu bentuk jalur pendidikan keahlian/profesional.

Anehnya, bekal pengetahuan hukum yang diberikan selama 3 bulan inilah yang akan dibawa oleh polisi sebagai modal untuk menegakan hukum ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang begitu kompleks dan dinamis.Pengetahuan hukum apa saja yang diperoleh siswa Secaba selama tiga bulan itu ? Jangankan membicarakan teori dan konsep hukum pidana, untuk membahas Pasal demi Pasal KUHP dan KUHAPpun dalam jangka waktu 3 bulan adalah suatu hal yang sangat mustahil.

Kewenangan penyidikan oleh polisi tidak hanya terbatas pada kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam KUHP an sich, melainkan juga kejahatan-kejahatan yang dirumuskan di luar KUHP, seperti, tindak pidana penyelundupan, narkotika, korupsi, bahan peledak dan senjata api, pencemaran lingkungan, terorisme dan sebagainya. Persoalannya, mungkinkah semua materi itu dapat dicerna dan dipahami oleh siswa Secaba yang baru lulus SLTA itu, yang diberikan dalam jangka waktu 3 bulan ? Kalau hanya sekedar syarat formalitas penyampaian materi, mungkin dalam waktu 2 minggupun juga bisa selesai. Tapi persoalannya tidak sesederhana itu.

Sehubungan dengan itu, penulis berpendapat mengapa tidak direkrut anggota polisi dari Sarjana Hukum saja. Karena secara substansial, mereka telah siap dengan pengetahuan hukumnya, yang perlu dibina hanya tinggal pembentukan fisik. Dari sudut pengetahuan, mereka telah dididik dengan materi hukum selama minimal 4 tahun, bukan 3 bulan. Artinya, secara substansial pengetahuan hukum mereka, baik hukum pidana materil maupun hukum pidana formil cukup memadai, jika dibandingkan dengan para lulusan Secaba.

Menurut pengamatan penulis, para lulusan secaba inilah yang justru kebanyakan ditempatkan pada posisi terdepan dalam mengemban fungsi penegakan hukum. Dari sudut analisis ini, maka dapat dipahami jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat kepolisian. Karena terjadi ketidakseimbangan antara kekuasaan yang dimiliki disatu pihak dengan pengetahuan hukum di lain pihak. Berbeda dengan para akademisi, mereka punya pengetahuan hukum tapi tidak punya kekuasaan.

Kejahatan tanggung jawab bersama ?
Satu hal lagi yang menunjukan bahwa sebenarnya aparat kepolisian kita belum profesional adalah, seringkali kalau kita jeli terhadap kalimat dalam spanduk yang dibuat oleh pihak kepolisian berbunyi, “masalah kejahatan adalah tanggung jawab kita bersama”. Bukan saja tulisan dispanduk, bahkan statemen seperti itu sering juga diucapkan oleh kapolri dan kapolda. Benarkah bahwa masalah kejahatan adalah tanggung jawab kita bersama ? Pernyataan ini sangat disayangkan karena secara vulgar polisi secara tidak disadari, telah memberikan pengakuan akan ketidakprofesionalannya.

Seperti yang penulis uraikan di atas, jika sampah berserakan di tengah kota, maka tudingan akan langsung kita arahkan ke institusi Dinas Kebersihan yang menjadi biang ketidakberesan melaksanakan tugas. Ketika aksi kejahatan meruyak dan marak terjadi, instansi manakah yang bertanggung jawab untuk menanganinya ? Adalah tidak masuk akal jika kita menyalahkan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) atau Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang bertanggung jawab. Secara institusional, aparat kepolisianlah yang bertanggung jawab atas banyaknya terjadi kejahatan tersebut.

Silahkan melaksanakan tugas masing-masing. Pedagang, silahkan menggelar dagangannya. Dosen, silahkan bertugas mengajarkan dan mendidik mahasiswa. Para pegawai negeri silahkan menjalankan tugas sesuai dengan bidangnya masing-masing. Demikian pula dengan tukang sate, silahkan beraktivitas mendorong gerobak satenya.Persoalannya, mengapa polisi justru minta diintervensi tugasnya oleh masyarakat, seperti melalui statemen, “masalah kejahatan adalah tanggung jawab kita bersama”. Tidak. Masalah kejahatan adalah masalah kepolisian.

Statemen “masalah kejahatan adalah tanggung jawab kita bersama” bisa dibenarkan, bilamana gaji polisi juga harus dibagi-bagi dengan masyarakat. Jangan hanya tanggung jawab yang dibagi sementara gaji dimakan sendiri. Statemen ini bersifat individualis, yang hanya memikulkan kewajiban tanpa dibarengi dengan hak. Anggota masyarakat telah membayar pajak, yang salah satu realisasinya adalah untuk menggaji polisi yang bertugas di bidang keamanan, untuk menggaji pegawai Dinas Kebersihan yang bertugas menangani sampah dan sebagainya.

Jika masyarakat juga harus dilibatkan dengan tugas keamanan, maka berarti masyarakat telah mengalami dua kali kerugian. Pertama kerugian membayar pajak yang merupakan kewajiban sebagai warga negara, dan kedua ikut bertugas yang bukan kewajibannya tanpa mendapatkan upah/gaji.

14 April 2007Penulis,
Zul Akrial
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Penulis adalah Dosen dan Ketua Bagian Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru

http://www.legalitas.org/?q=taxonomy/term/1


3 komentar:

memang betul seperti apa yang dipikirkan penulis, seperti saya yang dari bintara saya sekarang kuliah lagi di fak hukum (semester VII), tapi bagaimana tanggapan bapak apabila diterima dari sarjana hukum dan masuk akademi kepolisian yang dari bahasanya akademi=D3, kalau secaba ga apa, apalagi terima dari S2 hukum masa sekolah akademi, apa ada alternatif untuk nama akademi tersebut

Saya seorang lulusan secaba dan sekarang kuliah hukum ( semester VII ), memang betul dan saya sangat setuju bintara dari sarjana hukum tetapi bagaimana pendapat bapak apabila akpol juga menerima dari S1 hukum atau S2 hukum apa ga rancu S1/S2 sekolah lagi di akademi, apakah ada alternatif nama

memang betul pendapat bapak bahwa POLISI pada saat ini kurang maksimal dalam penegakan hukum apalagi sekarang banyak kelalaian POLISI dalam penugasan mereka banyak ceroboh dalam tugasnya.......

Posting Komentar