PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Team Futsal Narapidana Indonesia

Buktikan Sportivitasmu dan Buktikan Kamu Mampu, Semboyan olaharaga Narapidana Indonesia dalam rangka Pembinaan Kepribadian

Rabu, 15 April 2009

"RASA KEADILAN MASYARAKAT", selalu jadi DASAR untuk mendiskriminasikan NARAPIDANA..???? ke I ( bersambung )

" MELUKAI RASA KEADILAN MASYARAKAT ", selalu dijadikan dasar atau alasan penguat para politikus, penguasa/pemerintah, LSM-LSM didalam bersuara untuk mencapai tujuannya atau meng-"Goal"-kan suatu Undang-2 atau Peraturan tertulis lainnya.

Kata-kata ini menjadi beken dan mempunyai nilai yang sangat penting didalam setiap dasar pembuatan Undang-Undang atau peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah dan DPR, walaupun Undang-Undang atau peraturan diatasnya ataupun peraturan dibawahnya menjadi bertentangan satu sama lainnya. Dasar dari Undang-Undang Prolegnas yang mengatur sikronasi dari UU sampai dengan peraturan dibawahnya agar tidak saling bertentanganpun akan dikalahkan dengan kata-kata " MELUKAI RASA KEADILAN MASYARAKAT ".

Kita persempit saja pembahasannya, hanya yang menyangkut kehidupan narapidana di Indonesia didalam menjalani masa pidananya di lembaga pemasyarakatan, mengapa...? karena penulis bukanlah seorang sarjana hukum, ahli hukum ataupun pemerhati hukum tetapi hanya seorang mantan narapidana yang mencoba meresapi kehidupan hukum para narapidana di Indonesia berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan terhadap pelaksanaan UU atau peraturan tertulis itu oleh Pelaksananya yaitu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan/Ditjenpas dan Lembaga Pemasyarakatan/Lapas atau Rumah Tahanan Negara/Rutan.

Dalam tulisan ke I ini, saya menyoroti tentang kata " MELUKAI RASA KEADILAN MASYARAKAT", mengapa, bagaimana dan siapa masyarakat yang dilukai rasa keadilannya....? apakah masyarakat korban, masyarakat perkotaan, masyarakat pedesaan, masyarakat pendidikan, atau masyarakat-2 lain, yang mana diindonesiaku yang tercinta ini, pendefinisian kata " Masyarakat " itu sangat heterogen sekali.

Sebagai contoh :

1. Bagi DPR, yang disebut masyarakat adalah konstituen partai politik yang diwakilinya

2. Bagi Pemerintah, yang disebut masyarakat seharusnya bermakna untuk semua warga negara indonesia, tapi apakah faktanya seperti itu...?? ( penulis akan uraikan lebih detail dalam contoh lebih lanjut )

3. Bagi LSM, yang disebut masyarakat adalah sebagian kecil masyarakat yang beraliran sama dengan LSM tersebut, jadi ada masyarakat ham, masyarakat perempuan, masyarakat anti korupsi, masyarakat anti narkoba dan masyarakat-2 lainnya tergantung lingkup yang disuarakan LSM-LSM tersebut.

4. Bagi Media, yang disebut masyarakat adalah segmen pasar penjualannya atau segmen pemirsa yang mendengar atau melihat siarannya.

5. Bagi Narapidana, yang disebut masyarakat adalah sesama narapidana didalam lapas atau rutan, keluarga besar dari para narapidana, orang-orang lain yang sangat tergantung kehidupannya dengan para narapidana tersebut seperti perusahaan atau usaha-2 lainnya sebelum orang ini menjadi narapidana, atau orang-orang lain yang bersimpati dan berempati dengan kehidupan para narapidana dan yang terakhir adalah para mantan narapidana.

Ini adalah sebagian kecil pembuktian bahwa, penggunaan kata " MASYARAKAT " itu sangat heterogen sekali, dan sangat tergantung dari sudut mana orang menilai dan mempergunakan kata " masyarakat " itu sendiri. Tapi dalam hal ini Pemerintah dengan segala Aparatnya dan juga DPR seharusnya berdiri dalam arti kata " masyarakat" yang seluas-luasnya, bukan hanya dari sudut kepentingan politiknya saja.

Sehingga UU atau Peraturan-2 tertulis dibawahnya dapat berubah-ubah setiap bulan, setiap tahun atau setiap ada pergantian pemerintahan atau wakil-2 rakyat di DPR, hanya dengan dalih agar dinilai oleh "masyarakat versinya" telah TIDAK BERPIHAK pada koruptor, pada bandar narkoba, pada pemakai narkoba, pada pembunuh atau para narapidana pada umumnya. Atau dapat dikatakan Pemerintah dan DPR telah membuat kebijakan yang POPULIS/POPULER..., dengan mengatas namakan " MELUKAI RASA KEADILAN MASYARAKAT"............ Wallahu Alam

Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat di restorasi kembali,dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku di dorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan
"pelayanan" yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara.(1. Restorative Justice System: Sistem Pembinaan Para Narapidana Untuk Pencegahan Resedivisme, oleh Adrianus Meliala dan team ).

Melihat hasil penelitian yang dilakukan diatas, jelas masyarakat mempunyai harapan agar para narapidana nantinya, setelah keluar dari penjara, akan menjadi lebih baik dari yang yang sebelumnya, tapi apakah mungkin ini dapat terlaksana, kalau sekarang dikesankan dalam setiap pembuatan Undang-undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri bahkan Surat Edaran Ditjenpas, bahwa masyarakat sudah TERLUKAI RASA KEADILANNYA, maka untuk itu para narapidana harus dihukum dengan segala macam diskriminasi dengan adanya aturan-2 yang berubah-ubah dan bersifat pembalasan dendam.

Masyarakat diluar tembok penjara saat ini ( penulis tidak tahu secara spesifik siapa yang dimaksud masyarakat oleh pembuat UU atau peraturan-2 tertulis ini )sudah terbiasa, atau dibiasakan, memandang pelaku sebagai satu-satunya faktor dalam gejala kejahatan.

Maka tidaklah mengherankan bila upaya penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada tindakan penghukuman terhadap pelaku. Memberikan hukuman kepada pelaku masih dianggap sebagai "obat manjur" untuk 'menyembuhkan' baik luka atau derita korban maupun kelainan perilaku yang "diidap" pelaku kejahatan.

Hebatnya lagi, timbulnya diskriminasi hukum bagi narapidana di lapas/rutan setelah masa reformasi ini berjalan, sehingga terkesan makin banyak produk-2 hukum yang ditimbulkan, maka Pemerintah dan DPR tidak akan me-"LUKAI RASA KEADILAN MASYARAKAT", walaupun nantinya produk-2 hukum yang ditimbulkan itu setelah dilaksanakan ternyata mendapatkan perlawanan atau tidak sesuai dengan UU yang akhirnya dinyatakan tidak berlaku oleh MA atau MK.

Penulis akan memberikan contoh-2 secara detail dalam jilid 2, dimana penulis akan membahas mulai dari UU ttg pemasyarakatan s/d aturan tertulis dibawahnya yang digunakan dalam lingkup pemasyarakatan.


Kepada Bang Napi terima kasih atas dimuatnya tulisan dalam email ini,
( 15 April 2009 )- XIENK-QIE

bersambung






Kamis, 29 Januari 2009

Kisah dari Penjara

“Tak perlu masuk penjara untuk mengetahui penjara,” kata teman saya sambil menyodorkan koran. Di sana, ada tulisan berjudul Medaeng Undercover, yakni tulisan mantan napi yang pernah menghini rutan kelas I Surabaya, menguak kehidupan penjara yang belum banyak diketahui khayalak.

Penjara, tentu bukan hal asing buat saya. Semenjak mengikuti serial Prison Break, paling tidak saya bisa mengetahui kehidupan di balik tembok ‘mengerikan’ itu. Penjara yang keras. Penjara yang penuh dengan orang-orang brutal. Siapa yang kuat, dia berkuasa. Siapa yang dekat dengan aparat, dia memperoleh perlakuan istimewa. Orang-orang pelanggar hukum itu diperlakukan secara kurang manusiawi karena dianggap sampah. Sebagaian yang lain dimanfaatkan, sebagaimana sampah yang bisa diuangkan.

“Ternyata, penjara yang berfungsi sebagai alat jera para pelanggar itu, tidak lebih hanyalah alat penegak hukum untuk mencari keuntungan,” kata teman saya mengagetkan. Tentu saja, teman saya itu sedang mengeneralisasi. Saya yakin tidak semua aparat itu melenceng.

“Ingat beberapa waktu lalu, pabrik narkoba terbongkar di Medaeng? Bagaimana mungkin pabrik narkoba bisa berdiri dari dinding penuh penjagaan ketat?” tanyanya heran.

Tentu bukan untuk saya jawab. Pikiran saya terlayang pada beberapa bulan lalu, entah bulan apa, pabrik narkoba terbongkar di dalam tahanan! Ironis memang. Sebuah lembaga yang harusnya bisa memberi pelajaran kepada para pelanggar hukum, justru malah sebagai mediator pelanggaran itu sendiri.

Saya kemudian meraih koran tersebut. Membaca.

Di situ, penulis mengawali kisahnya bisa sampai di sana. Dia menghuni rutan itu gara-gara berboncengan dengan teman yang membawa sabu-sabu seberat satu gram. Karena terkena razia, jadilah tuduhan yang sama menuju padanya. Nasib apes, begitulah, dalam sidang dia dituntut hukuman satu tahun dengan denda subsider sebesar Rp 500 ribu. Dalam sidang, yang menarik, sang hakim menawari sidang tunda.

Tentu saja sidang ini dia terima. Namun, isyarat waktu itu tidak dapat ia manfaatkan dengan baik untuk “pembelaan”. Sidang tunda itu konon merupakan tenggang waktu yang diberikan untuk mengumpulkan uang. Kalau tidak bisa membayar, maka proses hukum berlangsung apa adanya tanpa keringanan.

Akhirnya, setelah melewati sidang tunda, palu mengetok pidana satu tahun dua bulan plus membayar subsider Rp 500 ribu atau kurungan tiga bulan.

Berawal dari situlah, akhirnya dia mengerti bagaimanakah kehidupan penjara, setidaknya rutan kelas I di Surabaya.

Bagaimanakah kehidupan di Rutan Medaeng? Tentu tidak beda dengan penjara pada umumnya.

Dalam ruang sempit berukuran 4 x 4 itu, dia harus berdesak-desakan dengan 18 napi lain. Tentu sangat sumpek, kata orang Jawa. Siksaan terjadi pada malam hari, ketika semua harus tidur berdesak-desakan seperti ikan pindang yang dijemur, tumpang tindih.

Sebegitu menyiksakah?

Ternyata jawabannya: Tidak. Setelah menyesuaikan diri, dia bisa melewati hari-hari menyebalkan di Rutan Medaeng, seperti layaknya menjalani hidup di tengah perkampungan umumnya. “Lama kelamaan, penghuni rutan berpindah tempat. Bagi yang bisa membayar, mereka bisa memilih tempat yang nyaman di mana saja.”

Di rutan, selain tersedia fasilitas pusat kesehatan poliklinik, juga memiliki fasilitas umum seperti pasar. Ada salon, loundry, dan wartel untuk berkomunikasi dengan keluarga.

“Bahkan bagi yang tidak doyan menu cadong (jatah makan), pelayanan katering pun ada. Bagaimana kalau tuntutan libido memberontak? Ini pun ada jawabannya: cewek-cewek Rutan Medaeng bisa dipakai!”

Mengejutkan memang –bagi orang yang tidak biasa. Di tulisan yang bersambung itu, dia juga menceritakan tentang salah satu ruang yang tergolong mewah. Tentu ini golongan orang yang berduit. Sebagain orang kecil, yang memiliki keberanian, mereka berbisnis sebagai penjual togel dan aneka macam perjudian.

“Kalau liku-liku ke penjara saja penuh kecurangan seperti itu? Tentu penghuninya lebih curang lagi,” kata teman saya. “Penjara bukan ruangan menakutkan. Karena di Indonesia, semua bisa dibeli dengan uang. Sebagaimana hukum, juga bisa direkayasa.”

Saya teringat pembebasan Adelin Lis yang syarat akan kejanggalan —sekarang berstatus buron. Dan benar, ternyata penegak hukum itu penuh dengan kepalsuan.

http://www.imponk.web.id/2007/11/17/kisah-dari-penjara/