PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Team Futsal Narapidana Indonesia

Buktikan Sportivitasmu dan Buktikan Kamu Mampu, Semboyan olaharaga Narapidana Indonesia dalam rangka Pembinaan Kepribadian

Kamis, 24 Juli 2008

SIAPA YANG SALAH ....soal DAVID NUSA WIDJAYA....?????????



Awal Juli 2008.... dikejutkan dengan berita saling tuding dan salah menyalahkan antara KEJAGUNG ( dari Jaksa Agungnya sampai semua Jaksa Agung Mudanya dan Kajari Barat ), DEPHUKKAM....( Menterinya, Ditjen Pas, Ditjen Imigrasi dan Karutan Salemba ) soal NAPI pembebasan bersyarat yang dapat berpergian keluar negeri.......... ha..ha....ha..... apa anehnya sih....????? BANG NAPI terbahak-bahak.... karena pernah merasakan hidup sebagai napi yang menjalani Pembebasan bersyarat.... ampe basah deh... terkencing-kencing.... muaaaaf yaaa......para pembaca... dan pencinta Blogku.

DAVID NUSA WIDJAJA..... siapa sih dia.... kok BANG NAPI ndak kenal tuh....? apa dia orang top, apa dia pengempalng uang rakyat lewat BLBI.... atau apalah yang jelek-2 untuk dia.... tapi saya rasa juga umat Tuhan juga khan...., dia terkenal dan menarik perhatian publik karena apa toh...., apa dia sekelas ama arthalita, tri urip gunawan, suyitno landung atau adrian waworuntu............ cari tahu sana sini... ndak ada yang tahu itu.. siapa sih si DAVID ITU...,

tapi begitu datang ke wartawan..., wah lengkap deh cerita soal si DAVID itu......., bener apa salah...BANG NAPI ho...oh... he...eh aja...., ternyata DAVID besar itu dilahirkan oleh kolaborasi media massa, penegak hukum dan politikus...... ha...ha...ha karena DAVID dikandung dan dibesarkan oleh kolaborasi sesat itu....., maka tersesatlah dia dalam berjalan.... PB ( Pembebasan bersyarat ) kok malah jalan-jalan keluar negeri.

Siapa yang tahu dia keluar negeri... ?????? ya so pasti yang mengandungnya yang tahu.... jadilah dia bertambah besar lagi.... rupanya dia anak yang dicintai oleh ibu kandungnya itu... maka dia dimasukkan penjara lagi, BANG NAPI denger-2 berita di media massa..... nasibmu VID..., begitu indahnya dicintai ibu kandung yang namanya KOLABORASI SESAT.

Bersyukurlah BANG NAPI ndak dicintai ama itu..., jadi waktu BANG NAPI berangkat keluar negeri, karena juga ndak tahu boleh ndak keluar negeri, tapi yang jelas ndak dicekal.... berangkat aja BANG NAPI ke Singapura ketemu ama teman-2 yang dulu juga menginap di Hotel Prodeo, ternyata merekapun sama, dalam proses PB dan malah bisa jalankan usaha lagi di Luar Negeri, yang penting tetap lapor pada jadwalnya ke BAPAS kata teman-2 mantan hotelprodeo....

Puji Tuhan, Bang NAPI bukan Orang Top seperti DAVID jadi tidak jadi pemberitaan yang selegenje.... seenak udelnya sendiri, yang penting pokoknya, jadi pake pasal POKOKNYA......., " pokoknya gue nggak salah, tapi lu yang salah ", " pokoknya kalau gue salah, lu juga harus ikut salah ", " pokoknya ....pokoknya...pokoknya.... "... habis deh... si DAVID pasti dimasukkan penjara lagi dan harus menerima salah..., mau tidak mau, lha dia khan masih narapidana yang jalani PB, baru kemudian dicari-cari lagi siapa yang dapat dikambing hitamkan untuk menyelamatkan muka institusi.

Inilah indonesiaku..... apa INSTITUSI ini punya MUKA sih....? kok pake perlu diselamatkan segala, seharusnya orang-2 yang didalam institusi inilah yang diselamatkan, bukan kok malah orang-2 yang selama ini jelas kontribusi positipnya untuk Institusi, malah dikambing hitamkan dengan stempel : " DI NON AKTIF KAN ", " DI NON JOBKAN ", " DIMUTASIKAN ", " DIPINDAH TUGASKAN ", yang jelas orang-2 ini memang seharusnya tidak bersalah, tapi demi " MUKA INSTITUSI ", maka diperlukan stempel-2 diatas dan dijadikan kambing hitam..... nasib...nasib...nasib.....!!!!!!!!!!

BANG NAPI... ngelantur kemana-mana ya... abis nggak bisa konsen sih... ketawa terus baca ceritanya si DAVID ini..., ok coba konsen ya... intinya kalau mau jujur dan ndak demi muka institusi.. siapa sih yang salah dalam kasus DAVID..... hayo siapa yo...?

  • si O"ON menjawab, : sambil ngelihatin blooonnya, karena kelamaan di hotel prodeo juga : ya yang salah ndak ada lagi, pasti KEJAKSAAN lah....., emang gue dulu waktu PB diserahkan ke jaksaan, terus besoknya apa kejaksaan terus buat CEKAL.... nggaklah... gue pulang kampung dulu hampir 1 bulan, terus mau keluar negeri... enak-2 aja tuh..., lihat deh tuh disana semua teman yang PB apa di cekal... nggak adalah, bohong tuh KEJAKSAAN...., emang ada JAKSA yang ndak lihai booongnya..., nggak ada tuh,,,, nggak ada...nggak ada...., semua JAKSA lihai Booooongnya...., termasuk materi kuliah " extra kurikuler " kok..jadi jangan jadi jaksa kalau ndak lihai boongnya... udah so pasti akan dibuang deh... suruh buat dakwaan buat ratu kidul dilaut sana baru tau rasa.
  • si BENTOL jawab juga : karena kebanyakan digigit nyamuk "penjara" yang buas-2 selama dihotel prodeonya, ngawur lho si O'ON, mana boleh jaksa bohong, mana boleh jaksa ngibul... ndak bolehlah, dia khan disumpah waktu jadi jaksa....., jadi jaksa itu hanya boleh NGAWUR, NGAWUR orang seenaknya dimasukkan PENJARA, terus dipenjara kadang-2 masih diperas lagi kalau putusan eksekusi terlambat, harus bayar macam-2lah, kalau mau cabut cekal dalam masa PB harus bayar 300 juta ampe 500 juta, tergantung TOP ndak orangnya...., itu loh enaknya jadi JAKSA boleh NGAWUR, asal ngomong aja juga dilindungi hukum kok....., coba contohnya dikasus DAVID, si JAMPISUS ngomongnya ngawur bener-bener, emangnya UANG PENGGANTI DAVID itu ada urusannya ama PIDANAnya,..... dia khan kena UU No3 thn 71, jadi uang penggantinya... terkait ama PERDATA, bukan PIDANA ( gile bener si BENTOL ini, rupanya dia sarjana hukum yang dihukum toh ).
  • si PARAP ikut nimbung : ( dia si Panu Kurap karena air penjara yang bersih dari tinja, tapi kotor ama banyak bakterinya jadi dia kena Panu dan Kurap )..... EMANG GUE PIKIRIN....kata si Parap, kalau jaksa ndak pinter ngibul dan ndak ngawur ditambah suka makan uang sejak dari jadi tersangka ampe jadi terpidana.... namanya bukan jaksa bro.... gue cerita neh.... gue pernah mimpi lho, semua narapidana ini bersatu dan kemudian membuat pernyataan pendukungan untuk membuat JAKSA, POLISI dan HAKIM masuk MURI...... sebagai INSTASI teladan yang telah menyumbangkan dan menyelamatkan ASSET NEGARA ataupun KERUGIAN NEGARA lewat PERUTNYA SENDIRI... he...he... gue ngawur ya bro...., abis gue sempat kencan ama jaksa chewek sih... jadinya agak ngawur-2 juga......., he,,,he,,,he,,, sorry bro enak lho kencan ama jaksa... walaupun dalam mimpi basahku.
  • si BOCOR nyocrot juga nich : iya sih salahnya si DAVID donk... kenapa mau jadi orang TOP, jadi ndak selamat dia keluar negeri, pake sekarang dimasuki penjara lagi.... ya udah VID lu terima aja, tapi gue yakin kok.. selama gue dipenjara, kalo namanya sipir penjara mau uang itu agak lain, paling dia mau uang karena demi mempertahankan hidupnya, gue kadang-2 kasih makan tuh sipir penjara, abis kasihan tuh ama mereka, tapi soal iklas atau ndak iklas, khan bukan urusanku.... tapi urusanku ama Tuhan aja.... jadi gue nggak mau dipolitisir kayak si DAVID, gara-2 kasih sesuap nasi kepada sipir penjara, ampe dipecat tuh KARUTAN dan KABAPASNYA demi menyelamatkan muka institusi..., nggak aaaaaahhhhhhhhhh..... kalo kepada sipir gue iklas, karena mau ndak mau dia adalah penjaga tempat sampahnya manusia dibumi ini, yang namanya PENJARA. gue tahu bener sipir penjara mau uang demi pertahankan hidupnya aja, beda ama jaksa, polisi dan hakim, mereka khan PENEGAK HUKUM, mereka PENYELAMAT NEGARA, mereka PAHLAWAN BANGSA maka mereka harus dibayar lebih mahal iya donnk............ khan demi menyelamatkan negara lewat perutnya sendiri....



Ha...ha....ha....ha..... kembali BANG NAPI ketawa lagi denger jawaban teman-2 soal si DAVID ini, tapi apapun BANG NAPI paham bener soal kehidupan didalam penjara, yang mana masyarakat diluar penjara tidak akan pernah paham atau mengerti, mengapa mereka yang mantan NAPI, RESIDIVIS ataupun yang masih jadi NAPI, pasti akan membenarkan anekdot, guyonan diatas, karena itulah fakta dan realitas yang sebenar-benarnya terjadi, tapi tidak pernah diekspose, karena MEDIA MASSA pun sudah menjadi barang dagangan dan dikuasai oleh para petinggi-2 politik, jadi berita kebenaran dan realitas adalah hanya semboyan barang dagangan demi menaikkan oplaghnya aja, tidak ada lagi rasa kemanusian, etika kemanusiaan, semua pake etika kehewanan, lu salah ndak salah..... pokoknya kata yang bayar salah..ya udah gue habisin lu...

Jadi kalau mau tanya siapa yang salah dalam masalah si DAVID itu, tanya siapa DONK...??????, tanya si O'ON......, BANG NAPI mendengar getaran hati nuraninya, karena pertanyaan ini, yang memberikan jawabnya : YANG SALAH ya DAVID karena dia narapidana, jadi harus dihabis-habisin, dan siapa yang menentukan DAVID salah, tidak ada lagi, kecuali MEDIA MASSA, mau dibawa kemana VONIS MEDIA MASSA pasti akan tergantung penguasa dunia ini, yaitu para PENEGAK HUKUM.


Jadi kesimpulan tulisanku ini, dan saranku pada DAVID...., udahlah VID lu diam aja dan mau disalahkan, walaupun kamu benar, apa sih takutnya lu balik PENJARA LAGI....., anggap aja cobaan dan TUHAN masih sayang kamu, sehingga kamu harus belajar lagi didalam PENJARA..udah deh... gitu aja saranku... biar TUHAN yang mengampuni dosa-2 orang yang selama ini menyalahkan kamu dan mendholimi kamu....

Enakkan saranku...... MASUK PENJARA LAGI.... sekedar contoh aja kok, bahwa kita ini juga punya nurani dan kebenaran didalam melakukan perjuangan dan tidak perlu takut atas muka kita sendiri, selama kita mempunyai IMAN dan ALLAH....., maka muka yang selama ini oleh para aparat penegak hukum dijunjungi tinggi dengan banyak mengorbankan orang-2 tidak bersalah dan dipenjarakan.


Karena muka kita akan nampak baik atau buruk hanya karena berkat dan pengampunan ALLAH semata, bukan soal pernah masuk penjara atau tidak....., karena BANG NAPI sudah jalani ini kok, jadi saran inipun buk
an sok pinter atau sok agamais.... tapi inilah kebenaran dan realitas,

Salam BANG NAPI ya VID kepada teman-2 di Penjara sono......, dan jangan lupa hubungi BANG NAPI, kalau udah bebas,..... supaya ndak dimasukin penjara lagi...he....he...he


Minggu, 27 April 2008

PEMOTONGAN REMISI Apakah Melanggar Undang Undang...?

Persatuan Narapidana Indonesia Mengucapkan Selamat Ulang Tahun Pemasyarakatan yang ke 44 pada tanggal 27 April 2008, dalam HARI BHAKTI PEMASYARAKATAN ini, masih teringat Persatuan Narapidana Indonesia yang disebut NAPI pernah mengirim surat yang ke II kepada Menteri Hukum dan Ham pada saat itu masih dijabat oleh Hamid Awaludin, dimana NAPI mengingatkan kepada bapak menteri, bahwa Terjadi pemotongan REMISI pada PB ( Pembebasan Bersyarat ), Assimilasi dan Masa Tahanan.

Karena rumusan PB pada saat itu menggunakan formula :
2/3 x (Masa Pidana-Masa Tahanan-Remisi )

Konsekwensi dari sistim perhitungan itu, maka NAPI yang mengurus PB akan kehilangan 1/3 masa tahanan dan 1/3 remisi demikian juga apabila mengurus assimilasi akan kehilangan 1/2 masa tahanan dan remisi, akhirnya dengan sistim perhitungan seperti itu, mengakibatkan isi penjara menjadi OVER KAPASITAS dan memberikan dampak yang buruk bagi pembinaan di Lapas, karena Pembinaan menjadi tidak berjalan.

Sistim perhitungan tersebut melanggar pasal 15 KUHP dan UU Pemasyarakatan No.12/1995, dimana cara perhitungan seperti itu hanya berdasarkan Kepmen, Keppres dan kemudian dirubah menjadi PP. No.32 tahun 1999. apakah mungkin peraturan dibawah Undang Undang kok bertentangan dengan Undang-2 yang diatasnya....., dan Anehnya di DEPKUMHAM ini adalah tempatnya produk-produk hukum dihasilkan, sangat aneh ada suatu produk hukum yang melanggar UU, tapi tidak diketahui.... ADA APAKAH.....?

Pernah NAPI menanyakan pada Humas DEPKUMHAM, tapi dijawab bahwa tentang REMISI, PB dan ASSIMILASI adalah " Lex Specialis "....., malah membingungkan lagi, Kalau pemotongan Remisi ini dibuatkan UU khusus... barulah dapat dikatakan adanya UU yang Lex Specialis..., tapi semua pemotongan remisi ini hanya dibuat Kepmen, Keppres dan PP, bagaimana dapat dikatakan Lex Specialis......? apakah NAPI yang bodoh dalam hal ini mengartikan tentang UU yang Lex Specialis....he...he... tapi jelek-2 gini NAPI banyak orang-2 yang bergelar Prof, Dr, SH, MM dllsbgnya lho.....

Ternyata Pemerintahan berkata lain, MENKUMHAM Hamid Awaludin digantikan oleh Andi Mattalata pd Juni 2007, maka sebagai politikus ulung di Golkar beliau cepat menangkap ISSUE yang beredar di Lembaga Pemasyarakatan, maka dengan simpatiknya disetiap acara pertemuan di jajaran DEPKUMHAM, beliau mengatakan OVER KAPASITAS pada lembaga pemasyarakatan harus segera diatasi dengan merubah paradigma, " JANGAN PELIHARA NAPI SELAMA MUNGKIN DIPENJARA "

Dan banyak hal-hal lainnya yang beliau sampaikan agar jajaran segera melakukan pembenahan peraturan di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, maka salah satu produk beliau adalah Peraturan Menteri No.M.2.PK.04-10 Tahun 2007, dimana ada perbaikan formula perhitungan yaitu PB dihitung sejak ditahan sehingga masa tahanan yang memang tidak ada perbedaannya untuk napi, yaitu tetap hidup didlm penjara, kemudian dihilangkan dan fomulanya menjadi :

2/3 x ( Masa Pidana - Remisi )

memang dengan sistim perhitungan seperti ini, nampaknya NAPI diperbaiki nasibnya, yaitu dengan dipercepat keluar, fakta NAPI memang dipercepat keluar, tapi sebenarnya Formula perhitungan semulalah yang salah, bagaimana masa tahanan yang memang benar-2 dijalankan 3 bulan, 2 bulan atau 4 bulan, kemudian dipotong 2/3nya...., maka perhitungan itu kemudian diperbaiki dalam periode MENKUMHAM yang baru ini...,paling tidak ada suatu kesadaran bahwa napi itu menjalankan vonis pidana sudah ada pasal-2nya, kemudian kenapa dipenjara lebih lama dengan aturan-2 Lembaga Pemasyarakatan yang saling bertentangan dengan UU diatasnya.

Maka dalam hari Bhakti Pemasyarakatan yang ke 44 ini, NAPI mengingatkan kembali MENKUMHAM dan DITJEN PEMASYARAKATAN sbb :

1. Bahwa hak-hak NAPI berupa REMISI masih dikebiri dengan Peraturan Menteri No.M.2. PK.04-10 Tahun 2007, yang mana NAPI mengusulkan adanya perubahan formula yang sesuai dengan KUHP pasal 15 dan UU Pemasyarakatan, yaitu :

( 2/3 x Masa Pidana ) - REMISI

2. PP no.28 tahun 2006, yang baru diberlakukan dengan SURAT EDARAN DIRJEN per September 2007, adalah suatu DISKRIMINASI HUKUM, para narapidana itu dipenjara karena telah divonis oleh hakim dengan melanggar pasal-pasal pidana dalam KUHP atau melanggar pidana sesuai UU, tetapi mengapa kemudian didalam penjara masih harus ditambah hukuman lagi dengan memberikan diskriminasi hukuman kepada narapidana yang terkena kasus NARKOBA ( bandar narkoba ), illegal Logging, Trackficking, koruptor.

Yang mana seharusnya tugas Lembaga Pemasyarakatan adalah melakukan Pembinaan terhadap narapidana-2 ini sesuai dengan SISTEM PEMASYARAKATAN yang dicetuskan oleh Bpk Alm. Dr. SAHARDJO, SH...."Tiap Orang Adalah Manusia Dan Harus Diperlakukan Sebagai Manusia, Meskipun Ia Telah Tersesat, Tidak Boleh Ditunjukkan Pada Narapidana Bahwa Ia Itu penjahat. Sebaliknya Ia Harus Selalu Merasa Bahwa Ia Dipandang Dan Diperlakukan Sebagai Manusia"

Banyak hal yang aneh dengan diberlakukannya PP No.28 tahun 2006 pada September 2007, dimana menurut PP tersebut seharusnya berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu juni 2006, pada saat itu MENKUMHAMnya masih Hamid Awaludin, mengapa tidak sejak Juni 2006 saja diberlakukan..... sempat terjadi ISSUE diantara para NAPI saat itu, Menterinya tidak berani, karena teman-2 KPUnya yang masih berada didalam penjara akan lebih lama mengalami masa pidananya, dimana teman-2 KPU sempat mengancam beliaunya...he...he... ini ISSUE atau GOSSIP tapi rumor itu beredar dikalangan narapidana saat itu.

Sehingga setelah hampir setahun lebih dan bergantinya MENKUMHAM kepada bapak Andi Mattalata, PP tersebut diberlakukan dengan adanya SURAT EDARAN DIRJEN, yaitu sejak September 2007..... apakah tidak aneh lagi...ya...? ada Peraturan Presiden yang tidak dijalankan selama setahun tanpa pemberitahuan, tahu-2 ada Surat edaran Dirjen yang jelas-2 jauh lebih rendah tingkat birokrasinya dapat memberlakukan PP No.28 tahun 2006.....

NAPI sempat kagum dan berdecak heran-2.....dan bertanya-tanya dalam hati apakah MENKUMHAM yang baru tahu ya ada PP tersebut, karena semangat beliau untuk tidak MEMELIHARA NAPI SELAMA MUNGKIN dipenjara dengan mengeluarkan Peraturan Menteri diatas sangat bertentangan 180 s/d 360 derajat dengan PP No.28 tahun 2006 ini.

Inilah yang kami ingin utarakan dan ingatkan kembali kepada jajaran DEPKUMHAM dalam hal ini DITJEN PAS dan DITJEN HAM....., apakah pemotongan REMISI dan DISKRIMINASI HUKUMAN itu bukan PELANGGARAN HAM BERAT, ..... mohon peninjauan dan pertimbangan kembali semua Kepmen, Permen, PP dan Surat Edaran Dirjen yang bertentangan dengan UU diatasnya.

Kami hanya mampu berharap dan bersuara lewat surat ini, Semoga Allah membuka hati Nurani kita semua didalam menangkap kebenaran yang hak, demi mengemban amanah Allah dimuka bumi ini.... Amin.

atas nama
PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA


Sabtu, 19 April 2008

Yayasan Solidaritas Eks Napi Indonesia (YASENI)

Ditulis Oleh Rison Syamsuddin
Ketika Pintu Jeruji Besi Terbuka
Sampah masyarakat, merupakan idiom yang acapkali melekat dalam diri mantan narapidana. Untuk memulihkan mental dan membina mereka setelah keluar dari penjara, maka di bentuklah wadah khusus untuk mereka.

YASENI. Memberdayakan para mantan Napi.

Tak pernah ada orang yang bercita-cita, bahkan bermimpi suatu saat akan masuk ke dalam penjara. Tetapi seringkali realita hidup berkata lain, karena masalah ekonomi, dendam, serta faktor lainnya, membuat banyak orang memakai kata ‘khilaf’, untuk sedetik kejahatan yang berujung pada hukuman bulanan bahkan seumur hidup yang telah menantinya.

Setelah berada dalam LP/Rutan, berbagai keterampilan tentu saja diberikan kepada para Napi, untuk mengisi hari-hari ‘libur’ mereka selama berada di LP/Rutan. Perbengkelan, pertukangan, komputer, dan keterampilan lainnya merupakan bekal dasar, yang diharapkan akan digunakan ketika para Napi tersebut keluar. Meskipun demikian, nyatanya masih kurang bahkan tidak ada wadah yang membina mantan Napi ketika berada di tengah-tengah masyarakat.

Yaseni pun hadir, menjadi wadah sosial yang bertujuan memulihkan mental dan membina para Eks Napi, agar bisa bekerja secara halal untuk peningkatan kesejah-teraannya. Organisasi ini sendiri, merupakan organisasi pertama bagi eks narapidana di Indonesia yang berkedu-dukan di Makassar.

“Yaseni didirikan pada tanggal 23 Januari 2008 dengan maksud dan tujuan, membantu pemerintah dalam menciptakan ketenteraman dalam masyarakat, menciptakan lapangan kerja, memberdayakan masyarakat eks napi serta memperkuat rasa persatuan dan solidaritas sesama eks napi,” kata Amirullah Tahir, SH, salah seorang pendiri Yaseni.

Yaseni sendiri menyadari, salah satu faktor tingginya tingkat kriminalitas yang terjadi, diakibatkan karena tidak terse-dianya lapangan kerja yang memadai bagi para eks Napi, ditambah lagi tidak adanya wadah dan sarana untuk mensosialisasikan diri setelah keluar dari tahanan, membuat eks Napi cenderung mengulangi perbuatannya karena desakan kebutuhan ekonomi.

Hal senada juga diungkapkan oleh Hasanuddin Tahir, SH, salah seorang pendiri Yaseni, bahwa Yaseni akan lebih terkonsentrasi pada pemberdayaan eks napi sesuai keterampilan yang dimiliki, melakukan pembinaan, pengarahan tentang potensi SDM yang dimiliki, serta membentuk work shop dan tempat pelatihan bagi usaha-usaha kecil dan menengah sebagai bentuk pembinaan dan latihan, agar para eks napi mampu mandiri dan tidak berpikir lagi untuk mengulangi perbuatan yang dapat melanggar hukum.

“Yaseni selanjutnya akan melakukan kegiatan berupa pembentukan dan pelantikan pengurus di daerah-daerah di seluruh Indonesia sesuai kemampuan, dan juga segera akan menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah di tingkat pusat (Menteri Hukum dan Ham, Menteri Sosial, Menteri Pemuda, Pangdam, dan Kapolri serta organisasi LSM yang bergerak dalam bidang Kemanusian dan HAM), dan menjalin kerjasama dengan Pemprov, Pemda Kota/Kabupaten, Instansi Peme-rintah lainnya, Kapolda, Pangdam, Kepala LP/Rutan), kerjasama diawali dengan pembuatan MOU antara instansi-instansi tersebut,” sebut Syukri Djunaid Nuh, salah seorang pendiri Yaseni.

Ketika bergabung di Yaseni, para eks Napi akan mempeoleh beragam keteram-pilan, mulai dari pembentukan Perbengkelan, bengkel pengelasan, Meubel, Workshop, percetakan sablon, salon kecan-tikan, jasa pengamanan, kegiatan sosial, menyelenggaran pendidikan non formal, dan pelatihan-pelatihan.

“Prinsip Yaseni, membantu pemerintah dalam menjaga keamanan dan ketentraman kota, dan membantu eks napi untuk meningkatkan tarap hidup yang lebih baik. Kami ingin menumbuhkan solidaritas mantan napi kearah yang positif, selama ini solidaritas mantan napi lebih banyak kearah yang negatif,” tutup Amirullah Tahir, SH.

http://www.makassarterkini.com/artikel-makassar-terkini/artikel-makassar-terkini-1/info-komunitas.html

Sabtu, 05 April 2008

EURICO GUTERES....SELAMAT MENGHIRUP KEMERDEKAAN dari KEHIDUPAN TERALI BESI

Saya tidak kecewa, meskipun saya terus dihukum sampai 10 tahun pun saya tidak kecewa, Saya mencintai Indonesia karena keluarga saya dan banyak orang yang mati karena cinta Indonesia. Saya masih bersyukur karena saya masih hidup, meskipun harus masuk penjara, ketimbang mereka yang dikubur tanpa nama atau sia-sia. Jadi, saya tidak akan pernah kecewa atas apa yang saya terima.

Meskipun putusan PK MA itu memungkinkan saya untuk memulihkan nama baik, saya katakan, saya tidak akan melakukan itu dan sepenuhnya saya serahkan kepada pemerintah. Dan bagaimana pemerintah menyelesaikan seperti apa. Yang penting saya tetap menjadi warga negara Indonesia yang baik. Itu cukup buat saya
. Itu kata-2 kebesaran hati seorang Eurico Guteres, yang walaupun dipenjara cintanya kepada Indonesia tidak pernah pudar.

Semoga kebenaran yang hakiki yang selama ini kita perjuangkan baik dalam jeruji beli maupun diluar tembok penjara dapat mendapatkan Anugerah dan Berkat Tuhan... Amin

SELAMAT BERJUANG.... saudaraku... keyakinan kita selama ini telah terbukti " YAITU KEBENARAN TIDAK AKAN DAPAT DIKALAHKAN, KEBENARAN HANYA DAPAT DISALAHKAN, TETAPI KARENA KEBENARAN MILIK ALLAH, MAKA PADA WAKTU ALLAH, KEBENARAN YANG HAKIKI AKAN MUNCUL DAN MENGALAHKAN KEDHOLIMAN".

Pertahankan Mental dan kepribadianmu yang selama ini kamu yakini, dan jangan lupakan.... masih banyak perjuangan yang masih harus kita lakukan, dimanapun dan waktu yang tidak terbatas, sampai Allah menyabut nyawa kita.

Perjuangan sebagai anak bangsa dan anak Allah dimuka bumi ini, akan menyambut kepulangan dan kebebasanmu.... Semoga Berkat Allah selalu bersamamu, keluargamu dan saudara-2mu dalam seiman dan seperjuangan.... Amin

BANG NAPI SOEBRENGOS




Sabtu, 29 Maret 2008

Fosil Maharana, Forum Berkumpul Para Mantan Penghuni Bui

Dicibir Masyarakat, Dinilai Organisasi Bromocorah

Tak banyak orang yang bisa mengerti curahan hati para mantan penghuni penjara. Hanya mereka yang senasib yang bisa memaknai curahan hati tersebut. Itulah salah satu maksud pendirian Fosil Maharana, tempat berkumpul eks napi dan tahanan di Jatim.

WADAH berkumpul itu diberi nama Forum Sillaturahim Mantan Tahanan dan Narapidana (Fosil Maharana). Sesuai namanya, forum itu menjadi tempat bersilaturahmi. Wadah untuk menampung komunikasi, curahan hati, unek-unek, dan semacamnya.

Para mantan penghuni bui, tampaknya, memang begitu membutuhkan kehadiran forum tersebut. Barangkali, hanya rekan-rekan senasiblah yang bisa memahami keluh kesah sesamanya. Karena itu, meski belum genap dua tahun didirikan, anggota Fosil Maharana Jatim sudah mencapai 15 ribu orang. Mereka tersebar di 38 kabupaten dan kota. Klaim tersebut diungkapkan Jumanto, ketua Fosil Maharana Jatim.

Memang, Fosil Maharana Jatim lahir dari buah pikir Jumanto, mantan ketua Komisi A DPRD Kabupaten Probolinggo, yang pernah dipenjara lantaran menipu senilai Rp 20 juta. Jumanto memang paham betul penderitaan yang harus ditanggung orang-orang yang mendekam di tahanan hingga lembaga pemasyarakatan (lapas).

Bagi dia, kesusahan menjadi narapidana tidak sekadar ketika disidang dan dipenjara. Saat awal menjalani proses hukum, seorang tersangka sudah mendapatkan banyak tekanan. Bukan hanya bentakan. Bisa jadi, ada "sentuhan" fisik yang menyisakan rasa sakit. "Ada anggota forum yang cacat kaki karena ditembak," ungkap Jumanto.

Padahal, saat itu, tersangka tidak sedang melarikan diri dan dalam kondisi tangan terikat. Menurut dia, penembakan tersebut dilakukan dari jarak dekat dan bukan buah dari sebuah saling kejar aparat dan tersangka. Ungkapan penembakan karena tersangka melarikan diri, menurut dia, tidak benar.

Bahkan, dia menemukan anggotanya yang urat kakinya sengaja dipotong karena tidak menuruti keinginan aparat. "Akibatnya, kakinya pincang dan tidak bisa berjalan seperti sedia kala," tegasnya.

Kesulitan tidak sampai di situ. Saat bebas, mereka juga harus menanggung beban sosial. Sebab, status narapidana masih dipandang sebelah mata. Kebanyakan warga memberikan sorotan miring dan menyudutkan hingga akhirnya mereka dikucilkan.

"Padahal, hukuman penjara yang telah dijalani adalah balasan atas perbuatannya. Tapi, kami harus menanggung beban sosial saat kembali ke lingkungan kami," ujarnya.

Karena sorotan miring itu, keluarga dan anak-anak menjadi tidak pede ketika harus sekadar menyapa tetangga sekitar. Yang lebih menyedihkan, kata dia, anak-anak ikut menanggung beban tersebut. Akibatnya, pada masa-masa yang seharusnya riang bermain, anak malah enggan berbaur dengan teman sebayanya. "Tidak sedikit pula yang tidak mau bersekolah karena menjadi olokan teman-temannya," katanya.

Bukan hanya itu, mantan narapidana juga menanggung beban ekonomi yang tidak ringan. "Kalau kepala keluarga dipenjara, biasanya keluarganya hidup dari utang ke sana kemari," jelasnya.

Saat bebas itulah, utang menggunung dan selalu dikejar untuk segera melunasi. Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang menolak kehadiran narapidana. Dampaknya, dia tidak memiliki teman untuk sekadar mengobrol.

Nah, dalam forum itulah mantan narapidana yang termarginalkan memiliki komunitas yang mau menerima status yang disandang secara apa adanya.

Demikian pula terkait dengan masalah pekerjaan. Kata "sangat sulit", menurut Jumanto, sangat tepat untuk menggambarkan keadaan mereka. Sebab, orang cenderung tidak percaya kepada mantan narapidana. Sebenarnya, ada peluang untuk wiraswasta, tapi jelas tidak mungkin. Sebab, meski memiliki keterampilan, mereka tidak memiliki modal dan lahan pekerjaan yang bisa menampung. "Karena itu, kami minta perhatian anggota dewan sebagai wakil rakyat," kata mantan penghuni Rutan Kraksaan, Probolinggo, tersebut.

Memang, saat ini, Jumanto dan forum bentukannya sedang sibuk berat. Mereka road show ke beberapa instansi dan lembaga penegak hukum di Surabaya. Selain memaklumkan forum itu, Jumanto dkk mengadukan nasib mereka yang kurang beruntung sebagai eks napi.

Kemarin (5/3), mereka bertamu ke Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM (Kanwil Depkumham) Jatim Wahyu Widodo. Selain itu, mereka menyambangi Dinas Sosial. Tak ketinggalan, Jumanto dan anggotanya berkunjung ke sejumlah media massa di metropolis. "Hari ini (kemarin, Red), kami ke salah satu televisi swasta," jelasnya.

Sebelumnya, Selasa (4/5), mereka mengawali lawatan ke DPRD Jatim dan Kodam V Brawijaya.

Tentu, mereka tampil rapi jali saat bertamu. Mantan terpidana tersebut mengenakan batik plus celana kain. Beberapa di antaranya memakai sepatu mengilap. Mereka seolah ingin membuktikan bahwa status eks tahanan tak membuatnya berbeda dari manusia lainnya.

Bagi Jumanto, forum bentukannya tersebut memang bukan lahan main-main. Dia sangat getol memperjuangkan hak-hak kaum yang kerap disisihkan itu. "Saya pernah merasakan kesusahan yang mereka rasakan," tegasnya.

Karena itu, Jumanto sangat paham proses penahanan, pemeriksaan, serta penuntutan yang dihadapi para tahanan. Termasuk, kejanggalan-kejanggalan dalam tiap proses hukum yang dilalui para penghuni penjara. Pun, persoalan diskriminasi yang dihadapi mantan narapidana saat mereka kembali ke masyarakat. "Dari pengalaman pribadi dan keluhan teman-teman itulah ide pembentukan Fosil Maharana muncul," ujar pria yang pertama masuk rutan pada 2 Juli 2006 tersebut.

Selama sebulan di rutan (Jumanto bebas pada 3 Agustus 2006), pria berusia 42 tahun itu terus berpikir mewujudkan ide pendirian forum tersebut. Cita-cita itu baru bisa diwujudkan pada 20 Agustus 2006. Beberapa mantan tahanan dan napi sepakat mendirikan organisasi sebagai sarana komunikasi untuk eks penghuni terali besi. Sebulan kemudian, 3 September 2006, pendirian Fosil Maharana dideklarasikan secara resmi.

Perjuangan pendirian forum itu dimulai ketika Jumanto bebas dari tahanan. Begitu keluar tahanan, ide itu pun diutarakan kepada beberapa mantan tahanan dan napi di Probolinggo. "Saya kumpulkan teman-teman di rumah saya," ungkapnya.

Waktu itu, banyak warga yang mencibir dan menentang tindakan Jumanto. Bahkan, ada yang terang-terangan menyatakan tidak senang atas upaya dirinya mendirikan forum tersebut. "Ada juga yang bertanya dengan nada kasar kepada saya, untuk apa mengumpulkan para bromocorah (penjahat, Red)?" ujarnya.

Tapi, cibiran dan tantangan tersebut tidak menyurutkan langkah Jumanto dan teman seperjuangannya. Lama-kelamaan, eksistensi mereka pun diakui masyarakat. Berbagai kegiatan positif telah mereka lakukan. Misalnya, pengajian dan kunjungan ke lapas atau rutan.

"Kegiatan kami sempat menurun saat saya kembali ditahan dan diadili pada kasus yang sama pada 25 Januari tahun lalu hingga awal tahun ini. Tapi, tidak vakum," tegas pria yang baru menghirup udara bebas pada 26 Februari 2008 tersebut.

Demi penataan, organisasi itu berupaya melegalkan diri. Mereka lantas punya Akta Notaris No 16 Tahun 2007. "Supaya kami tidak dianggap hanya mencari keuntungan," kata Jumanto.

Karena tidak profit oriented, para pengurus maupun anggota pun harus rela tidak mendapatkan apa-apa. Mereka justru sering mengeluarkan dana untuk kunjungan ke rutan maupun lapas atau lawatan-lawatan lain. "Alhamdulillah, ada donatur yang memberi sumbangan. Kadang kami juga patungan," ujarnya.

Abdul Rahman, mantan tahanan kasus penganiayaan, membenarkan pernyataan tersebut. Bahkan, dia menuturkan, jika hanya ingin mencari keuntungan, para mantan tahanan atau napi tidak perlu masuk Fosil Maharana. "Ini murni forum yang bertujuan memperjuangkan hak-hak para penghuni penjara maupun mantan penghuni," tegasnya.

Kemarin, mereka menyampaikan keluhan dari para penghuni penjara tentang masalah overload. Gara-gara kelebihan kapasitas, para tahanan maupun narapidana harus berdesak-desakan di dalam penjara. Mereka tidak lagi mendapatkan hak sebagai manusia. Bahkan, ancaman terkena penyakit karena lingkungan yang tidak sehat pun menghantui mereka.

Selain memperjuangkan hak para penghuni penjara dan mantannya, mereka mengadakan kegiatan yang bertujuan menghibur para tahanan di penjara. "Mulai bulan depan, kami mengadakan tur keliling rutan dan lapas," kata Trias Susiana, wakil ketua Fosil Maharana.

Bekal yang bakal dibawa untuk tur tersebut adalah orkes Maharana Rock Dangdut. Orkes yang seluruh personelnya mantan tahanan dan narapidana itu bakal menyuguhkan lagu-lagu untuk para penghuni penjara. Di sela-sela pentas, Fosil Maharana tentu akan memberikan nasihat bagi para penghuni. Mereka berprinsip, nasihat akan lebih mengenai melalui musik. "Kalau melalui cara keras, nasihat tidak bisa sampai," jelas mantan napi kasus narkoba tersebut.

Bukan hanya musik yang dimiliki Fosil Maharana. Saat ini, pengurus organisasi itu pun sedang fokus memaksimalkan divisi pemantau peradilan. Divisi tersebut bertujuan memantau proses hukum yang sedang dijalani penghuni penjara. Dengan demikian, bila ada penanganan hukum yang tidak beres, hal itu bisa diketahui. "Kami juga membuka pos pengaduan di tiap daerah untuk menampung keluh kesah para pesakitan," kata Komari, mantan napi narkoba yang dihukum setahun penjara.

Dalam waktu dekat, forum yang telah memiliki perwakilan di 38 kabupaten/kota di Jatim tersebut membuka usaha yang ditujukan bagi para anggotanya. Hal itu dilakukan untuk mengatasi kesulitan para mantan tahanan dan narapidana dalam mencari pekerjaan setelah mereka bebas. "Mantan napi sulit mencari kerja karena perusahaan selalu melihat catatan perbuatan kita. Jarang perusahaan yang mau menerima pekerja mantan napi," tegas Nurul Wahid, mantan napi kasus penipuan.

Memang, Fosil Maharana ingin membebaskan jeruji besi yang seolah-olah masih terus membayangi hidup para mantan narapidana dan tahanan. Lewat forum itu, mereka ingin memberikan kemerdekaan sejati bagi orang-orang yang telah membayar kesalahannya. (dos)


http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=329175



Senin, 24 Maret 2008

Fosil Maharana Kunjungi Lapas

PROBOLINGGO - Setelah mengunjungi Rutan Kraksaan, beberapa waktu lalu. Kemarin, Forum Silaturahmi Mantan Tahanan dan Narapidana (Fosil Maharana) Jawa Timur mendatangi lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Kota Probolinggo.

Sama seperti tur sebelumnya, Fosil Maharana menghibur para tahanan dengan menggelar dangdutan di lapangan voli lapas kota. Ratusan penghuni lapas yang lama tidak menikmati hiburan, langsung tumplek blek memenuhi tempat acara.

Mereka terlihat menikmati alunan musik dangdut. Sebagian asyik berjoget di tengah teriknya sinar matahari. Sementara lainnya memilih menikmati lagu dangdut dengan mengggoyang-goyangkan kaki atau mengangguk-anggukkan kepala.

Hadir dalam acara tersebut, Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Edy Sutrisno mewakili wali kota, Kasat Reskrim Polresta Probolinggo AKP Hadi Prayitno, Danramil Kota Probolinggo Kapten Inf Bambang, perwakilan dari kejari dan Plh Lapas Kota Probolinggo Winarsangka.

Dalam sambutannya kemarin, pengganti Kalapas Nuruddin Musa itu mengatakan, pihaknya sangat mendukung acara tersebut, karena kegiatan Fosil Maharana juga berorientasi pada pembinaan tahanan dan narapidana. "Lapas ini kan tempat yang sangat terbatas. Jadi mereka juga membutuhkan hiburan seperti ini di dalam. Semoga kegiatan ini bisa terus diselenggarakan," ujarnya siang kemarin.

Sementara itu, Ketua Fosil Maharana Jawa Timur Jumanto mengatakan, tur silaturahmi ini memang untuk memberi pembinaan. "Kami juga ingin nyambangi teman-teman di dalam lapas. Memberikan support moral, baik untuk tahanan atau narapidana," kata mantan narapidana karena kasus penipuan ini.

Ke depan Jumanto ingin mengajak semua muspida baik di tingkat provinsi atau daerah, agar bisa ikut andil dalam memberikan pembinaan kepada para narapidana. Apalagi, mereka kebanyakan asli daerah setempat. "Ini semua menjadi tanggung jawab semua elemen. Baik masyarakat, muspida atau pemerintah," tegas mantan anggota DPRD kabupaten Probolinggo ini.

Rencananya, lanjut Jumanto, pada 2 April 2008 mendatang bakal ada deklarasi Fosil Maharana di seluruh Indonesia. "Kami juga ingin memberdayakan teman-teman agar tidak ada diskriminasi," ujarnya kepada para wartawan, kemarin.

Dia juga mengatakan, pihaknya akan memberikan bantuan hukum kepada para tahanan dan narapidana yang membutuhkan. Selanjutnya, tur silaturahmi Fosil Maharana akan digelar di lapas Bondowoso, Sabtu (29/3); lapas Lumajang, Sabtu (5/4); dan rutan Medaeng, Sabtu (12/4). (fa)

http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_radar&id=202255&c=40

Senin, 17 Maret 2008

Jumanto ke Rutan Bangil

Para Penghuni Asyik Berjoget
BANGIL - Ketua Forum Silaturahim Mantan Tanahan dan Narapidana (Fosil Maharana) Jawa Timur Jumanto kemarin berkunjung ke Rumah Tahanan (Rutan) Bangil. Kedatangan itu ia maksudkan sebagai silaturrahim organisasi Fosil Maharana dengan para tahanan di Rutan Bangil.

Jumanto tiba sekitar pukul 09.00. Di hadapan para tahanan, Jumanto menyatakan bahwa masih banyak perlakuan diskriminatif yang dialami para mantan penghuni lapas dan napi. "Padahal, mereka juga manusia yang butuh dihormati dan dihargai," katanya dalam acara yang juga dihadiri Kepala Rutan Bangil M. Usman.


Perlakuan diskriminatif itu salah satunya tercermin dari UU Pemilu yang baru disahkan beberapa waktu lalu. Di mana, dalam salah satu pasalnya melarang mantan napi menjadi anggota legislatif. Khususnya, mereka yang mendapat ancaman hukuman di atas lima tahun.

Bagi Jumanto, pemberlakukan pasal tersebut merupakan bentuk diskriminasi politik kepada para mantan napi. Celakanya, perlakuan itu dikemas dalam sebuah produk undang-undang negara.

Karena itu, pada 2 April mendatang, dirinya akan melakukan gugatan resmi kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Dirinya menuntut kepada MK agar mengkaji ulang (judicial review) pemberlakukan undang-undang tersebut. "Sebab, undang-undang itu diskriminatif dan bertentangan dengan undang-undang dasar," jelas mantan ketua Komisi A DPRD Kabupaten Probolinggo itu.

Pengajuan gugatan tersebut, menurut lelaki berkacamata itu, sekaligus dijadikan momen deklarasi Fosil Maharana di tingkat nasional.

Menurut Jumanto, yang lebih penting lagi untuk dipahami adalah tak seorangpun yang ingin melakukan tindak kejahatan. Perilaku menyimpang itu, kata dia, hanya merupakan akibat dari akumulasinya berbagai faktor. Terutama faktor ekonomi.

Karena itu, bagi Jumanto, apa yang terjadi pada lapas merupakan gambaran dari tingkat kesejahteraan masyawakat. Menurut dia, semakin sejahtera, kejahatan akan minim. "Dengan demikian, para penghuni lapas tidak akan seperti ini," jelas mantan anggota dewan dari FKB ini.

Jumanto kemudian menjelaskan, dari seluruh penghuni lapas, mayoritas adalah karena terjerat kasus togel. Jumlah mereka mencapai sekitar 65 persen. Hal itu, kata dia menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum menikmati kesejaheteraan itu.

Dalam kesempatan itu, Bupati Jusbakir Aldjufri diwakili Kabag Sosial Windu Karno. Windu menyatakan, tidak ada alasan untuk memberikan perlakuan diskriminatif kepada para mantan napi. "Sebab, tak selamanya orang salah itu salah. Begitu juga sebaliknya," terangnya.

Karena itu, yang lebih penting untuk dilakukan adalah bagaimana para mantan napi itu tidak kembali mendapat predikat sebagai napi untuk kedua kalinya. Tentu, hal itu bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah setempat. Masyarakat, lanjutnya, harus bersedia menerima kehadiran mantan napi laiknya masyarakat umum.

Tak hanya sambutan Jumanto. Dalam acara itu para penghuni Rutan Bangil juga mendapat suguhan segar. Sebuah pentas kecil telah berdiri khusus. Di sela acara, penyanyi dangdut ditampilkan di atas panggung.

Para penghuni lapas pun berjoget ria. Tak peduli berada dalam kerangkeng besi, mereka tetap asyik bergoyang. "Hemm, joget dulu Mas. Daripada ingat keluarga terus," ujar Atim, warga Warungdowo, salah satu penghuni rutan. (aad)

http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_radar&id=200848&c=40

Sabtu, 08 Maret 2008

PEMULIHAN HAK-HAK SIPIL MANTAN NAPI

Oleh Prof.Dr. Muhammad Mustofa (Guru Besar Kriminologi FISIP UI)

Pendahuluan
Filosofi pembinaan pelanggar hukum yang dianut oleh Indonesia adalah mengintegrasikan kembali pelaku pelanggar hukum ke masyarakat, atau lebih dikenal sebagai pemasyarakatan. Akan tetapi dalam realitas, mantan narapidana secara sistematis justru dihambat untuk dapat berintegrasi kembali dalam kehidupan alamiah di masyarakat. Banyak peraturan perundangan dan kebijakan yang dibuat justru untuk menghambat terintegrasinya kembali mantan napi dengan masyarakat.

Dengan demikian maka filosofi pemasyarakatan napi hanya sekedar slogan kosong, yang dalam realitas menghasilkan pelaku pelanggar ulang, yang bolak-balik kembali ke bangunan penjara. Masyarakat dan struktur sosial (politik) telah melakukan stigmatisasi mantan napi yang sesungguhnya tidak selaras dengan filosofi pemasyarakatan napi.

Makalah ini akan membahas bagaimana cara memperlakukan mantan napi yang selaras dengan filosofi pemasyarakatan napi?

Pokok-pokok pikiran
Perlakuan terhadap mantan napi yang tidak adil sesungguhnya merupakan bentuk kemunafikan dari struktur sosial (politik). Sebab manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah Sang Maha Kuasa sebagai dapat berbuat dosa dan kesalahan. Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa tidak ada satu orangpun yang belum pernah melakukan perbuatan dosa dan kesalahan, termasuk pelanggaran hukum pidana. Namun demikian sebagian besar dari warga masyarakat tersebut beruntung karena tindakan kesalahan atau pelanggaran hukumnya tidak pernah diketahui oleh sistem peradilan pidana. Hanya sebagian kecil saja warga masyarakat yang tidak beruntung, yang ketika melakukan pelanggaran hukum pidana diketahui oleh sistem peradilan pidana dan tidak mampu menghindari hukuman. Mereka ini terpaksa menjalani hukuman dan diberi label narapidana.

Penghukuman pidana pada dasarnya adalah suatu bentuk penebusan kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang. Ia seperti tindakan membayar hutang kepada pemberi hutang. Oleh karena itu ketika seseorang narapidana telah selesai menjalani hukuman, ia harus diperlakukan sebagai orang yang merdeka seperti pembayar hutang yang telah melunasi hutangnya. Apabila mantan napi tidak diperlakukan secara adil sebagai warga masyarakat biasa yang telah menebus kesalahan, maka akibat yang paling buruk adalah mereka akan dapat mengulangi kembali tindakan pelanggaran hukumnya.

Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelanggar hukum sesungguhnya mempunyai beberapa ciri, bukan ciri tunggal penjahat. Penjahat dalam hal ini bukan kategori hukum, tetapi kategori sosial yaitu orang yang pola tingkah lakunya cenderung melanggar hukum pidana. Pelanggaran hukum pidana telah menjadi pilihan utama dalam bertingkah laku. Dengan dasar pengertian ini tipologi pelanggar hukum meliputi:
1. Pelanggar hukum situasional.
2. Pelanggar hukum yang lalai.
3. Pelanggar hukum yang tidak sengaja melakukan pelanggaran.
4. Pelanggar hukum yang sakit.
5. Pelanggar hukum berulang atau residivis.

Tipologi pelanggar hukum tersebut seperti status penyakit yang diderita orang. Ada penyakit yang tidak perlu dirawat karena akan sembuh sendiri. Ada penyakit yang perlu perawatan cukup sekali saja. Ada penyakit yang perlu perawatan jalan. Ada penyakit yang memerlukan perawatan inap. Dan ada penyakit yang tak tersembuhkan. Dengan demikian perlakuan terhadap mantan napi, dengan analogi penyakit tersebut, tidak dapat dilakan secara sama dalam keadaan apapun. Sebagian besar dari pelaku pelanggaran hukum sesungguhnya hanyalah orang-orang yang secara situasional (dalam keadaan khusus) melakukan pelanggaran hukum, dan kemungkinan pengulangan pelanggarannya kecil.

Demikian juga banyak orang yang melakukan pelanggaran hukum secara tidak sengaja atau karena lalai. Dalam keadaan sakit (jiwa) orang tidak menyadari apa yang dilakukan ketika melakukan tindakan pelanggaran hukum pidana. Orang menjadi pelaku pelanggaran berulang melalui suatu proses yang panjang, termasuk memahirkan tindakan pelanggaran ketika berada di dalam lembaga penghukuman (penjara) dan penolakan masyarakat untuk berintegrasi kembali dengan masyarakat, habitat hidup manusia. Pada tahap tertentu, pelaku pelanggaran ulang akan juga menghentikan kecenderungan pelanggarannya. Suatu penelitian melaporkan bahwa pada umumnya orang akan menghentikan kecenderungan melakukan pelanggaran hukum secara berulang ketika mencapai usia lanjut.

Kecenderungan memperlakukan pelanggar hukum secara represif dalam telaah Durkheim mencerminkan bahwa masyarakat yang bersangkutan lebih dekat dengan ciri masyarakat primitif. Masyarakat modern cenderung menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran hukum secara restitutif, yaitu memulihkan hubungan. Dalam dalil evolusi penghukuman, Durkheim menumuskan:

1. Semakin dekat tipe masyarakat ke pada masyarakat primitif, dan semakin absolut kekuasaan pusat dilakukan, intensitas hukuman semakin tinggi
2. Perampasan kemerdekaan yang lamanya berbeda tergantung dari keseriusan kejahatannya, cenderung menjadi alat pengendalian sosial yang normal

Kalau mengikuti dalil evolusi penghukuman dari Durkheim tersebut, dapat dikatakan bahwa perlakuan tidak adil terhadap mantan napi menunjukkan bahwa masyarakat dan kekuasaan pusat (struktur sosial poilitik) yang cenderung absolut merupakan ciri masyarakat primitif. Padahal sesungguhnya ciri umum masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa timur, dalam menyikapi pelanggaran hukum pidana cenderung mencari solusi perdamaian atau pemulihan hubungan antara pelaku dengan korban dan masyarakat.

Pelanggaran hukum pidana dilihat tidak semata-mata sebagai konflik antar pribadi (micro cosmos), tetapi merupakan keadaan yang dapat mengganggu kestablian alam semesta (macro cosmos). Oleh karena itu ketidakseimbangan yang dihasilkan harus disikapi dengan mengembalikan kestabilan hubungan para pihak yang berkonflik. Filosofi penghukuman bangsa-bangsa timur ini telah digali olehilmuwan barat John Braithwaite menjadi konsep restorative justice.

Restorative justice adalah cara penyelesaian konflik pidana melalui cara-cara informal yang dilakukan oleh komunitas dengan tujuan memulihkan hubungan antara pelaku dengan korbannya dan yang direstui masyarakat, dengan tetap menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah tindakan yang tidak benar. Melalui mekanisme ini adaupacara untuk menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah salah, tetapi melalui proses restorasi, pelanggar hukum diterima kembali menjadi warga masyarakat.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penghilangan dan pembatasan hak-hak sipil dan politik terhadap mantan napi dalam berbagai peraturan perundangan dan kebijakan merupakan ketidakadilan terhadap warga masyarakat yang telah melunasi hutang kesalahan. Oleh karena itu semua peraturan perundangan yang membatasi atau menghilangkan hak-hak sipil dan politik mantan napi haruslah dicabut. Selain itu perlu adanya gerakan penyadaran masyarakat terhadap realitas pelanggaran hukum seperti yang diuraikan di atas sehingga masyarakat secara sadar mampu memperlakukan mantan napi secara adil.

http://kriminologi1.wordpress.com/


Kamis, 06 Maret 2008

KELOMPOK MANTAN NAPI KUNJUNGI DPRD JATIM

Sebanyak 13 orang perwakilan mantan tahanan dan narapidana yang tergabung dalam Forum Silaturrahmi Mantan Tahanan dan Narapidana (Fosil Maharana) mendatangi DPRD Jatim. Mereka mengadukan nasibnya yeng kurang mendapatkan pelayanan pubik dan sering dipandang sebelah mata di masyarakat.

“Di masyarakat kami disepelekan dan sering mendapat perlakuan tidak adil yang itu juga dilakukan oknum aparat pemerintahan,” kata Ketua Fosil Maharana, Drs Jumanto, di Kantor DPRD Jatim, Selasa (4/3) sore.

Selain mengadukan nasibnya, Dia juga bermaksud mengenalkan organisasi ini. Fosil Maharana ini dibentuk untuk memberi advokasi kepada tahanan, narapidana dan mantan narapidana.

Penyebabnya, lanjut Jumanto, banyak napi dan tahanan yang tidak mendapat pembelaan dari pengacara sehingga harus di back up Fosil Maharana. Namun ia mengaku sering mendapat teror sejak dibentuknya Fosil Maharana. Sebab, forum ini selalu melakukan pantauan pada masalah hukum di Jatim. Pantauan ini dilakukan, karena banyak oknum penegak hukum dan jaksa yang melakukan “jual beli” hukum.

Fosil Maharana minta Komisi A mendukung langkah yang mereka lakukan. Karena selama ini mereka sering mendapat tekanan dari berbagai pihak.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi A DPRD Jatim, Jafar Sodiq saat menerima rombongan mendukung langkah yang dilakukan Fosil Maharana. “Memang banyak napi yang dipenjara namun tidak melakukan salah,” katanya.

Jafar menjelaskan, masalah hukum saat ini mudah dipermainkan, apalagi jika ada uang untuk meringankan masa hukuman. Untuk mengungkap masalah mafia hukum, ia mengusulkan agar Fosil Maharana menulis buku tentang pengalaman napi yang tergabung dalam forum tersebut. “Dengan tulisan masyarakat bisa tahu hukum di Indonesia yang sebenarnya,” tutur Jafar.

Anggota Komisi A, Suli Daim sependapat dengan usulan mencetak buku pengalaman napi. Dia juga memberikan apresiai pada forum tersebut karena berani mengenalkan diri dan melakukan pendampingan napi.

“Biasanya, mantan tahanan dan napi selalu mengurung diri dan menjauh dari masyarakat, namun saya salut pada Fosil Maharana yang berani mengenalkan diri ke masyarakat,” kata Suli.


*(icl)
http://www.d-infokom-jatim.go.id/news.php?id=13301

Minggu, 02 Maret 2008

Institusi lapas harus terbuka bagi masyarakat

Penjara dan beban negara
Oleh: Mahariansyah.

Belum lagi keterlibatan beberapa oknum sipir penjara yang ikut serta dalam membuat kondisi penjara semakin ruwet.

Jika itu yang terjadi, sebenarnya pembinaan tidak bisa berjalan dengan efektif,karenakan kondisi penjara dan rutan yang sudah tidak sehat lagi. Dan juga outputnya yang tidak sesuai dengan harapan dari pembinaan itu sendiri. Apa buktinya?

Penjara, seharusnya berisi banyak pembinaan yang memberikan penyuluhan, agar orang tersebut tidak melakukan hal yang sama (residivis), tetapi kasus Roy Marten, membuktikan bahwa sebenarnya pembinaan didalam penjara belumlah efektif, itu hanya sebagian kecil dari banyaknya kasus-kasus khususnya narkotika yang berulang (Residivis).

Melihat realitas seperti itu, penjara memang tidak lebih dari sekumpulan-orang-orang jahat (melanggar hukum pidana), yang berkumpul dari yang kelas teri sampai kelas kakap, dikumpulkan menjadi satu, lalu mereka bertukar pikiran, lalu menjadi penjahat yang lebih tinggi kelasnya.

Pembinaan yang lunak

Karena tidak dapt dipisahkan lagi, mana penjahat yang harus dibina sangat keras (Supemaximum security), seperti kejahatan kelas kakap, dengan yang pembinaan yang sangat lunak, didalamnya, tidak mustahil mereka bertukar pikiran, karena jumlah sipir yang tidak seimbang, dengan jumlah narapidananya.

Lebih parahnya, narapidana yang sebanyak itu, semuanya dibiayai kebutuhannya dengan Negara, seperti pakaian, baju dan lain sebagainya, tanpa tujuan yang jelas, karena kondisi yang overcrowded tersebut.

Dan jumlah itu tidak sedikit, dan sangat mubazir, melihat hasilnya yang sangat tidak efektif dari pembinaan tersebut.

Analoginya, anak-anak jalanan yang mencari uang di jalanan, tidak memliki tempat tinggal, mencari uang dengan penuh peluh, padahal ia tidak melanggar hukum, tetapi disatu sisi seorang pelanggar hukukm, seperti Fariz RM yang tertangkap tangan mambawa ganja kurang dari dua linting, dibiayai kebutuhan hidupnya oleh Negara, walaupun dipenjara tanpa pembinaan sekalipun.

Timbulkan bumerang

Contoh Roy, dan Fariz menggambarkan, betapa mubazirnya uang yang dihamburkan untuk memelihara atau memberikan kebutuhan primer secara Cuma-Cuma, padahal satu sisi, mereka anak jalanan membutuhkan kebutuhan tersebut malah dianggap sampah oleh Negara.

Sehingga mereka menjadi potential offender atau pelaku kriminal, walaupun belum terbukti melakukan kriminal. Tetapi mereka yang jelas-jelas sudah melakukan kejahatan, malah dipelihara dan dibina, diberi pakaian, makan, ironis memang, jika mereka yang tidak memiliki pekerjaan, tidak memiliki tempat tinggal, menjadi iri, lalu melakukan tindakan kriminal.

Walaupun sebenarnya penjara masih dibutuhkan oleh kita, sebagai satu-satunya pembinaan yang terakhir yang diharapkan oleh kita semua selaku masyarakat luas.

Tetapi kondisi yang sangat mengenaskan secara umum penjara Indonesia, justru menimbulkan bumerang bagi masyarakat.

Peran masyarakat

Kondisi penjara yang masih termarjinalkan dari masyarakat, membuat penjara seolah-olah sebagai lembaga yang eksklusif, padahal penjara dan masyarakat menjadi kesatuan, karena output dari penjara nantinya akan dikembalikan oleh penjara kepada masyarakat luas.

Melihat kenyataan tersebut, kita tidak bisa menisbikan peran masyarakat luas, institusi penjara harusnya terbuka untuk masyarakat, dengan segala kondisi kekurangan dan kelebihannya, dan menemukan solusinya yang terbaik.

Agar pembinaan menjadi lebih efektif, tantangan yang harus dihadapi penjara, tidaklah bisa penjara bekerja sendiri, tanpa bantuan masyarakat luas.r

Penulis adalah TIM peneliti sistem pemasyarakatan di Indonesia

http://www.monitordepok.com/news/Opini/14728.html

Sabtu, 01 Maret 2008

Mengapa Meninggal di Penjara?

metrorealita

Peristiwa tragis meninggalnya tahanan di dalam penjara terus mengintai. Sayangnya, pemerintah tak cukup anggaran memperbaiki kualitas lembaga pemasyarakatan.

Sepekan sebelumnya, tepatnya hari Kamis tanggal 14 Februari 2008, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Andi Mattalatta mencanangkan gerakan nasional ”Bulan Tertib Pemasyarakatan” yang dipusatkan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta. Ketika itu, dia memerintahkan kepada seluruh Kepala lembaga pemasyarakatan (Kalapas) dan kepala rumah tahanan negara (Karutan) untuk menertibkan lapas dan rutan.

Menteri Andi juga mengungkapkan bahwa pemerintah telah menaikkan biaya perawatan dan biaya hidup bagi narapidana/tahanan dan memberikan berbagai tunjungan kepada petugas pemasyarakatan. ”Tidak ada lagi alasan narapidana atau tahanan memasak makanannya sendiri dengan biaya sendiri serta tidak ada lagi keluhan dari masyarakat bahwa narapidana harus membayar sejumlah uang untuk kebutuhan dasar sehari-hari,” katanya.

Namun, sepekan kemudian, tepatnya hari Rabu, 20 Februari 2008, terbetik kabar meninggalnya seorang penghuni LP Cipinang bernama Nurdinsyah Mokobombang. Tragisnya, sang tersangka kasus korupsi senilai Rp2,9 miliar di Lembaga Penerbangan dan Antarariksa Nasional (Lapan) itu menghembuskan nafas terakhirnya saat hendak dibawa dengan memakai tandu menuju Rumah Sakit Polri Kramat Jati.

Namun, kabar lain menginformasikan, Nurdinsyah Mokobombang, dilarikan ke rumah sakit dengan menggunakan mobil milik Iyul Sulinah, istri tersangka kasus Asabri, Henry Leo. Sedianya Nurdinsyah akan dibawa dengan menggunakan ambulans milik rumah sakit tersebut, namun karena ambulan yang ditunggu tak kunjung datang maka ia pun dilarikan ke RSPP dengan mobil Ford Escape milik Iyul yang sedang mengunjungi suaminya.

Seolah biasa, karena Kabid Pembinaan LP Cipinang Agus Rianto kepada wartawan mengatakan, almarhum menghuni sel nomor 201 blok tipe 7 tinggal bersama 9 tahanan lain. “Dia memang mempunyai riwayat sakit jantung, kita juga pernah menolak dia dahulu. Tapi setelah menjalani perawatan akhirnya kita terima,” katanya.

Meninggalnya tersangka kasus korupsi itu menambah deretan panjang kisah tragis di dalam penjara. Berdasarkan catatan Tabloid Sensor, sebelumnya beberapa koruptor juga meninggal di dalam penjara, di antaranya Sudi Ahmad (pegawai MA), satu dari enam terdakwa kasus dugaan korupsi suap Ketua MA Bagir terkait kasasi Probosutedjo, yang meninggal karena sakit 23 Mei 2006 di Rutan Polda Metro Jaya. Kemudian Lalu Artawa (bekas anggota DPRD NTB), terdakwa kasus dugaan korupsi APBD, meninggal karena sakit pada 31 Maret 2006 di LP Mataram.

Demikian pula Yusuf Rustandi, meninggal sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kelapa Gading, Jakarta Utara, sebesar Rp3 miliar.

Selain itu, Hamdani Amin (Kepala Biro KPU), terpidana korupsi pengadaan logistik pada Pemilu 2004, meninggal setelah bermain bulu tangkis dan kemudian terjatuh di LP Cipinang, Dan, mantan Dirut Pertamina Faisal Abdaoe, tersangka dugaan korupsi pipanisasi di Jawa sebesar 20 juta dolar AS, yang meninggal dalam status tersangka di dalam penjara.

Berbagai sebab
Sementara itu, berdasarkan data Ditjenpas, total narapidana yang meninggal di penjara sepanjang tahun 2007 mencapai 693 orang. Sebanyak 256 narapidana meninggal di lembaga pemasyarakatan yang ada di Kanwil Hukum dan HAM DKI Jakarta. Lalu 178 orang meninggal di LP yang ada di Kanwil Banten.

Berdasarkan data tersebut, jumlah narapidana atau tahanan yang meninggal di sejumlah lapas di Sumatera mencapai 154 orang pada 2007. Jika dibandingkan jumlah narapidana dan tahanan yang meninggal, di Pulau Jawa masih lebih tinggi yaitu mencapai 620 orang.

Sedangkan tahun sebelumnya, 2006, sebanyak 813 narapidana meninggal di sejumlah lembaga pemasyarakatan di Indonesia karena berbagai sebab. Jika dibuat rata-rata, berarti setiap hari dua narapidana meninggal. Jumlah total narapidana tahun 2006 sebanyak 116.688 orang.

Diperoleh informasi, narapidana yang memiliki penyakit bawaan ketika masuk LP kondisi kesehatannya bakal makin parah. Pada umumnya, narapidana yang meninggal di dalam LP telah membawa penyakit tertentu pada saat masuk penjara. Penyakit itu kian berat, terutama karena pengaruh kondisi psikologis terpidana yang juga buruk. Namun, yang mengkhawatirkan adalah pengidap HIV. Virus itu menyerang kekebalan tubuh pengidapnya. Dalam kondisi semacam itu, narapidana sangat rentan terserang berbagai macam penyakit.

Kondisi itu diperburuk dengan ketersediaan tenaga medis yang relatif minim. Tidak semua LP memiliki dokter, perawat, atau poliklinik tersendiri. Berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan pada Februari 2007, jumlah dokter di LP sebanyak 277 orang (58,1 persen adalah dokter paruh waktu) dan perawat 438 orang (60,9 persen adalah perawat paruh waktu). Sementara jumlah poliklinik sebanyak 163 buah.

“Maaf, Mas. Ada uang, ada barang.” Itu kalau tahanan mau mendapatkan apa yang ada di dalam LP atau Rutan. Fasilitas, misalnya, bisa dinikmati bila seorang tahanan berkantong tebal. Tapi bagi tahanan berkantong cekak, jangankan fasilitas, untuk keluar-masuk pintu bila ada yang menjenguk saja bingung. Ya karena dia harus merogoh kocek.

“Kalau mau ngobrol sama saya di LP, situ yang biayain ya. Soalnya di tiap pintu ada pungutan. Jebol kantong saya kalau harus saya yang keluar duit,” demikian almarhum Nurdinsyah menceritakan sedikit kondisi LP Cipinang kala berbincang-bincang dengan wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Itulah sebab, beberapa waktu lalu Direktur Jenderal Pemasyarakatan Untung Sugiyono mengatakan, untuk mengurangi kematian napi atau tahanan, Ditjen Pemasyarakatan bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menaruh perhatian atas kondisi kesehatan napi/tahanan.

“Penyakit penyebab kematian mereka hampir sama dari tahun ke tahun. Selain itu, angka kematian napi/tahanan di penjara yang tinggi itu akibat kondisi penjara yang penuh dan terbatas,” katanya.

Bicara soal rumah tahanan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang belum lama terbentuk, sampai saat ini belum memiliki rumah tahanan. Padahal, banyak kasus yang ditangani KPK, khususnya korupsi karena lembaga ini memang lembaga pemberangus korupsi.

Tidak mau berlama-lama numpang di rutan lembaga lain, pihak KPK merencanakan akan membangun rumah tahanan, yakni 4 ruang untuk tahanan laki-laki, dan satu ruang tahanan perempuan. Sekjen KPK Syamsa Ardisasmita mengatakan, pembangunan rutan KPK itu sudah sangat mendesak.

Akan tetapi, rencana KPK itu masih terbentur restu Depkumham. Pasalnya, biaya pembangunannya akan menelan dana Rp738 juta. Sembari menunggu ‘restu’ itu, tampaknya KPK juga harus lebih mematangkan lagi rencananya. Jangan sampai hal-hal diluar perkiraan terjadi, sebagaimana terjadi di LP atau Rutan lain. Sebab, masalah sekecil apapun bisa mencoreng wibawa yang sudah dibangun. mahadir romadhon

http://tabloidsensor.wordpress.com/2008/02/22/mengapa-meninggal-di-penjara/

Rabu, 27 Februari 2008

Kalbar Segera Bentuk Persatuan Napi

Pontianak,- Persatuan Narapidana Seluruh Indonesia yang sudah dibentuk, 17 September 2006 lalu di Cipinang akan ditindaklanjuti di Kalbar.
Salah seorang mantan Napi, Gunawan berencana akan mengoordinir untuk pembentukan persatuan itu. “Masih dalam proses, secepatnya kita akan kumpulkan kawan-kawan untuk membicarakan ini lebih lanjut agar ada wadah bagi kita sebagai kontrol sosial bagi pemerintah dan lembaga lainnya,” kata Gunawan kepada sejumlah wartawan media cetak dan elektronik, Senin (18/2) di rumah makan Galaherang.

Menurut Gunawan yang pernah tersangkut hukum kasus narkoba itu, ada hal yang tidak proporsional dari penegak hukum terutama terhadap perkara illegal logging dan korupsi. Pendapat itu dilontarkannya melihat vonis ringan bahkan bebas untuk beberapa terdakwa. “Sementara teman-teman kita yang melakukan perbuatan pidana kecil seperti jambret atau pencurian mendapatkan hukuman lebih berat. Padahal mereka yang melakukan kegiatan illegal logging atau korupsi sangat merugikan perekonomian negara,” urainya.

Pengelola Galaherang itu pun mengkritisi fungsi pembinaan di lembaga pemasyarakatan (Lapas) atau rumah tahanan yang tidak memadai bahkan kurang tepat, selebihnya soal ketidakadilan hukum. “Jadi, penjara itu hanya untuk menghukum atau balas dendam. Kalau seperti itu wajar jika Napi yang keluar bisa melakukan perbuatan pidana dan bahkan lebih pintar agar tidak mudah tertangkap karena mereka tak terbina dengan baik,” bongkar Gunawan yang sempat dimasukkan di Lapas saat proses persidangan kasusnya.

Protes lain disampaikan Gunawan, di Kalbar belum berdiri penjara khusus kasus narkoba. Sementara pelaku narkoba terutama pemakai menurutnya harus mendapatkan perlakuan khusus agar tidak mudah kambuh. Apalagi kontrol terhadap narkoba yang masuk ke penjara kurang ketat. “Bisa saja dengan adanya narkoba yang masuk ke penjara untuk memenuhi kebutuhan pecandu, Napi yang tidak kecanduan atau yang belum pernah merasa barang haram tersebut menjadi ikut-ikutan bahkan menjadi pecandu. Padahal kalau dipasang peralatan CCTV di penjara tentunya lebih mudah mengawasi Napi yang ada,” terang Gunawan yang sekarang lebih banyak menghabiskan waktu mengurus usahanya itu.

Karena itu, Gunawan bertekad wadah yang telah terbentuk di Cipinang akan lebih baik juga muncul di Kalbar. Ia pun telah mengambil beberapa langkah menuju persiapannya, seperti menginventarisasi Napi dan mantan Napi di Kalbar dan Pontianak khususnya. “Kita segera mungkin membentuknya, setelah itu meminta mandat dari pengurus nasional. Kita juga akan menyiapkan semacam lembaga bantuan hukum bagi Napi terutama yang kurang mampu,” tandas Gunawan.

Seperti diketahui, deklarasi 17 September 2006 merupakan hasil kesepakatan 45 orang Napi LP Kelas I Cipinang yang sepakat mendirikan wadah Persatuan Napi Seluruh Indonesia.

Deklarasi itu menyebutkan, penjara dikatakan sebagai ‘sekolah kejahatan’ karena pemerintah seakan tak peduli dengan kualitas pembinaan Napi yang malah menyuburkan dendam sosial. Kualitas lembaga pemasyarakatan di Indonesia sekarang dinilai jauh merosot dibanding penjara zaman Hindia Belanda. Banyak hak-hak hukum Napi diabaikan pemerintah.

Dalam deklarasi, Prof Dd Rahadi Ramelan dan Ir Sasongko Sahardjo MSc, MPA, PhD ditunjuk sebagai Wakil Napi Indonesia untuk berhubungan dengan pihak mana pun, secara lisan maupun tertulis dalam rangka memperjuangkan hak-hak mereka. Sementara Eurico Gueters, Adrian H Waworuntu, Aprilia Widharta dan Sihol Manulang ditunjuk sebagai pengurus. (her)

http://www.equator-news.com/berita/index.asp?Berita=KalbarRaya&id=70221

Sabtu, 16 Februari 2008

Lembaga Pemasyarakatan dan Sistem Peradilan Pidana

Disusun Oleh Muhamad Husni Mubaroq Al-Iqbal
NPM : A10040078

Menurut salah seorang Doktor Ilmu Hukum Indonesia, penerapan hukum tertulis dan tidak tertulis dapat menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial pada orang, sehingga lahirlah mereka yang disebut korban penerapan hukum yang menderita lemah mental, fisik, dan sosial (korban viktimasi struktural). Olehkarena itu perlu adanya pemenuhan persyaratan minimal bagi eksistensinya suatu peraturan perundang-undangan yang berpihak pada rakyat dan keadilan sebagai perwujudan reformasi hukum yang rasional positif, dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat (Gosita, 2004: 89).

Sistem peradilan pidana

Dalam bukunya: "Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana", Reksodiputro (1994: 84) mengartikan peradilan sebagai tiang teras dan landasan negara hukum. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan sistem penanggulangan kejahatan, yang berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya, dalam buku: "Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana", terbaca dengan jelas bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana (Muladi, 1995: 4).

Pada umumnya, penerapan kebijakan/kewenangan penjatuhan pidana (yang pada hakikatnya juga berarti penerapan kebijakan/kewenangan penegakan hukum pidana) sesuai sumber bacaan: "Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana", dilakukan melalui empat tahap/proses sebagai berikut:

(1) penerapan kebijakan/kewenangan penyidikan;
(2) penerapan kebijakan/kewenangan penuntutan;
(3) penerapan kebijakan/kewenangan pemidanaan; dan
(4) penerapan kebijakan/kewenangan pelaksanaan/eksekusi pidana.

Keempat tahap/proses ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Keseluruhan sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana itu pun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral (Nawawi, 1998: 31).

Kenyataannya, peradilan pidana sebagai suatu sistem, terdapat juga empat komponen yang telah diketahui umum bekerja sama satu sama lain, yaitukepolisian-kejaksaan-pengadilan dan (lembaga) pemasyarakatan. Keempat komponen ini diharapkan bekerja sama membentuk suatu "integrated criminal justice administration" (Reksodiputro, 1994: 85). Sedangkan, ciri-ciri peradilan pidana sebagai suatu sistem terbaca dengan jelas dalam buku: "Problema Kenakalan Anak-anak dan Remaja", sebagai berikut:

(1) titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksanaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan);
(2) pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; (3) efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelenggaraan perkara; dan
(4) penggunaan hukum sebagai instrumen untuk menerapkan "the administration of justice" (Atmasasmita, 1984: 9-10).

Lembaga Pemasyarakatan dan Sistem Peradilan Pidana

Proses restorative justice merupakan proses keadilan yang sepenuhnya dijalankan dan dicapai oleh masyarakat. Proses yang benar-benar harus sensitif terhadap kebutuhan masyarakat dan benar-benar ditujukan untuk mencegah dilakukannya kembali tindak pidana. Hal ini menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang penuh dengan pertimbangan dalam merespon kejahatan dan menghindari terjadinya stigmatisasi.

Sehingga sangat disadari perlu dijalankannya suatu mekamsme monitoring di dalam masyarakat terhadap pelaksanaan hasil akhir dari penyelesaian suatu tindak pidana, menyediakan dukungan, dan dibukanya kesempatan yang luas bagi stakeholder3 kunci. Hasil analisa terhadap existing legal framework dan dikaitan dengan perspektif restorative justice adalah:

• Konsep Sistem Pemasyarakatan dalam instrumen nasional tentang reaksi negara terhadap orang yang telah divonis melanggar hukum, yang diilhami oleh 10 Prinsip Pemasyarakatan dari Dr. Sahardjo, memperlihatkan kecenderungan nilai dan pendekatan yang hampir sama dengan nilai dan pendekatan yang terdapat dalam instrumen internasional tentang perlakuan terhadap tahanan dan narapidana, sebagaimana termuat dalam Peraturan-peraturan Standar Minimum (Perserikatan Bangsa Bangsa) bagi Perlakuan terhadap Narapidana, resolusi 663 C (XXIV)/1957 dan resolusi 2076/1977.

Meskipun dalam undang-undang tentang penghukuman dalam sistem peradilan Indonesia tidak diatur secara detail perihal perlakuan minimal yang diberikan oleh negara.

Baik Konsep Sistem Pemasyarakatan maupun Peraturan-peraturan Standar Minimum Bagi Perlakuan terhadap Narapidana menganut filosofi penghukuman yang diwarnai pendekatan rehabilitatif, yaitu pendekatan yang menganggap pelaku pelanggar hukum sebagai pesaldtan dan karenanya harus disembuhkan.

• Hak-hak narapidana atau orang-orang yang dipenjara sebagaimana tercantum> dalam Peraturan-peraturan Standar Minimum (Perserikatan Bangsa Bangsa) bagi Perlakuan terhadap Narapidana, resolusi 663 C (XXTV)/1957 dan resolusi 2076/1977, sebagian besar juga diatur dalam instrumen-instrumen nasional.

• Hak-hak korban salah pemidanaan dan korban penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang — hal mana secara jelas dan detail diatur dalam instrumen-instrumen internasional- tidak diatur dengan jelas dalam instrumen nasional, kecuali dalam Konvensi

Yang dimaksud dengan stakeholder kunci dalam proses keadilan restoratif adalah korban, pelaku, dan masyarakat umum. Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) Resolusi 39/46 tanggal 10 Desember 1984, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1998.

Ada perbedaan yang cukup signifikan antara aneka penghukuman terhadap narapidana yang melakukan berbagai pelanggaran disiplin lembaga (melakukan pelanggaran atas aturan dan tata tertib lembaga penahanan/penjara). Dalam instrumen nasional, terdapat hukuman tutupan sunyi maupun hukuman untuk menghentikan atau menunda hak tertentu untuk jangka waktu tertentu bagi narapidana yang dianggap melakukan pelanggaran hukuman disiplin.

Padahal dalam instrumen-instrumen internasional, bentuk hukuman yang demikian ini dilarang. Mengenai kelengkapan keamanan yang standar bagi petugas lembaga penahanan atau pemenjaraan dalam menjalankan tugas kesehariannya, perlu sangat selektif dalam penggunaan senjata api. Dalam instrumen nasional, penggunaan senjata api justru dinyatakan secara eksplisit sebagai satu kondisi yang umum/biasa.

Dalam kegiatan pengenalan lingkungan bagi narapidana yang baru masuk ke lembaga pemenjaraan, yang pada saat itu diberikan pengenalan fisik lingkungan, juga seyogyanya diberikan pengenalan atas peraturan-peraturan yang eksis dalam lembaga, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh narapidana, juga tentang hak dan kewajiban narapidana.

Bila dalam instrumen internasional, informasi-informasi tersebut wajib diberikan oleh pejabat lembaga pemenjaraan, tetapi dalam instrumen nasional pemberian pengenalan lingkungan ini diberikan oleh kepala blok. Kepala blok adalah narapidana, yang biasanya dipilih atas kualifikasi pendeknya sisa masa hukuman dan perikku patuh 'hukum' (sesungguhnya hanya patuh kepada petugas) serta memiliki kewibawaan atas narapidana lain, pihak yang diberikan tanggung jawab oleh petugas yang berwenang dalam lembaga sebagai penyambung lidah petugas, dan menjadi penanggung jawab atas ketertiban dan keamanan di wilayah bloknya yang terdiri atas beberapa kamar dan dihuni oleh sejumlah narapidana.

Dalam instrumen internasional, secara jelas diatur tentang keberadaan lembaga pengawas yang independen (ombudsman atau oversight committee) atas bekerjanya lembaga-lembaga dan administrasi pemenjaraan, untuk memastikan bahwa lembaga-lembaga ini telah bekerja sebagaimana aturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga yang independen ini juga memiliki otoritas atas akses yang luas ke dalam lembaga pemenjaraan dan terhadap narapidana. Narapidana pun memiliki hak untuk menyampaikan keluhan kepada lembaga pengawas yang independen ini secara bebas dan tanpa didengarkan oleh pejabat lembaga pemenjaraan. Tentang lembaga pengawas yang independen ini tidak diatur dalam instrumen nasional.

Prinsip-prinsip dasar bahwa pengaturan lembaga pemenjaraan harus meminimalkan berbagai perbedaan diantara kehidupan dalam lembaga dengan kehidupan bebas, yang bertujuan untuk mengurangi pertanggung jawaban para narapidana karena martabat mereka sebagai insan manusia, juga dianut oleh instrumen nasional.

Hal-hal tentang pencatatan identitas diri narapidana, kategori-kategori penempatan narapidana, akomodasi, kebersihan pribadi, pakaian narapidana dan tempat tidur, makanan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain, mesldpun tidak diatur secara rinci sebagaimana dalam Standard Minimum Rules (UN), dalam instrumen nasional pun hampir semuanya telah diatur, walaupun memang dengan kualitas yang lebih rendah ketimbang ketentuan yang secara eksplisit disebut dalam Standard Minimum Rules (UN).

Misalnya, dalam hal pemberian pakaian, perlengkapan tidur, ketersediaan obat-obatan dan petugas medis demikian pula masalah sanitasi dan ventilasi kamar atau sel narapidana.

Berkaitan dengan restorative justice, maka terdapat banyak sekali hal yang terdapat dalam ketentuan internasional ataupun nasional yang terkait dengan penahanan/pemenjaraan sebagai kegiatan terminal yang harus memHiki kontribusi pada kehidupan yang lebih baik, minimal sama, pada diri pelanggar hukum pasca penghukuman.

Penekanan pada pemberian pelatihan vokasional sebagai bekal di masa depan, adalah salah satu bentuknya. Dengan kata lain, penghukuman tidak lagi merupakan instrumen retributif ataupun rehabilitatif tetapi juga restoratif. Walaupun demikian, masih berkaitan dengan ide restorative justice, maka terdapat banyak sekali hal yang belum diatur dalam ketentuan internasional ataupun, apalagi, nasional.

Pemenuhan hak-hak asasi tahanan dan narapidana memang tidak dapat disingkirkan, namun seyogyanya dilaksanakan bersamaan dan seimbang dengan pemenuhan hak-hak asasi pihak- pihak yang terkait dengan pelaku kejahatan.' Tidak hanya itu, sistem pemasyarakatan yang secara konsisten dan optimal menganut pemikiran restorative justice, sebenarnya tidak menuntut diberlakukannya berbagai hal yang selama ini telah diatur dalam ketentuan internasional ataupun nasional mengenai pembinaan ataupun perlakuan terhadap narapidana.

Perspektif restorative justice juga menuntut diadakannya pembentukan ataupun perubahan (bila sebelumnya sudah terbentuk) menyangkut lembaga-lembaga lain di luar lembaga pemasyarakatan guna bersama-sarna lembaga pemasyarakatan merestorasi perilaku jahat atau menyimpang dari narapidana. Baik ketentuan mternasional maupun nasional tidak menyinggung hal itu.

Ide restorative justice menghendaki agar proporsi lembaga-lembaga lain tersebut cukup signifikan dibandingkan dengan lembaga pemasyarakatan, melambangkan tersedianya.cukup alternatif dalam rangka pemberian sanksi sosial bagi anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan penyimpangan.

Temuan studi lapangan:

- overpopulatis, berimbas kepada banyak persoalan seperti keterbatasan ruang, fasilitas pembinaan, fasilitas-fasiltas dasar seperti tempat tidur, pakaian, dll. Ancaman keributan atau kerusuhan dalam lembaga, kontrol dan perhatian petugas yang terbatas akibat perbandingan yang tidak ideal antara jumlah petugas dengan narapidana, akses terhadap fcegiatan-kegiatan pembinaan dan Kecrampiian kerja yang sangat terbatas.

- indikator kebehasilan pembinaan dalam lembaga cenderung dilihat oleh pejabat lembaga melalui sejauhmana kepatuhan narapidana terhadap peraturan lembaga yang direpresentasikan oleh ada tidaknya pelarian dan keributan dalam lembaga

- dengan demikian maka prioritas utama pembinaan adalah menciptakan kestabilan keamanan dalam lembaga melalui peraturan-peraturan yang ketat, sanksi hukum yang keras (meskipun tidak ada kepastian dan kejelasan).

- karena berprioritas pada kestabilan dan keamanan institusi, maka program pembinaan berjalan dengan semangat 'asal ada kegiatan'.

- minimnya anggaran juga menyebabkan Lapas sulit mengatur program kegiatan yang benar-benar tepat sasaran. Anggaran terbesar diserap oleh kebutuhan akan makanan bagi napi.

- sebagian besar responden sebelumnya telah melakukan tindak kriminal

- pelatihan kerja atau keterampilan, seringnya hal itu tidak sesuai dengan karakteristik, minat dan keinginan mereka, atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi di luar lembaga. Ketertinggalan teknologi dan tidak bervariasinya pemberian keterampilan justru menyebabkan kegiatan menjadi tidak efektif, dengan biaya produksi yang tinggi dan hasil yang tidak maksimal.

- maka, tidaklah terlalu mengherankan bila hal tersebut menyebabkan kebanyakan bekas narapidana menemui kesulitan untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat. Selain, tentu saja, persoalan stigma negatif yang menempel pada 'label' bekas narapidana menyebabkan banyak perusahaan atau majikan tidak mau menerima 'eks napi' sebagai pegawainya.

- Program pembinaan dititikberatkan pada kegiatan pembinaan agama karena pejabat yang berwenang memandang kejahatan sebagai dosa, sehingga konsep tentang tobat dan akhlak, masih sangat kental

Menurut mereka, persoalan kejahatan adalah persoalan tidak adanya iman yang kuat dari para pelakunya penempatan narapidana di dalam Lapas juga menimbulkan "korban" baru (secondary but indirect victimisation). Dari 140 orang responden yang sudah berkeluarga, 87.2% diantaranya mengharuskan (tepatnya: mengakibadcan) istri dan keluarganya (seperti orangtua, saudara, dll.) untuk menanggung biaya hidup anak-anaknya.

Sebagian besar alasan mereka ddak ingin kembali ke tempat dnggal asalnya menggambarkan bahwa tidak ada upaya reintegrasi, baik antara pelaku dengan korban, juga antara pelaku dengan masyarakat, yang mestinya menjadi inisiadf dan dilakukan oleh sistem peradilan. Realitas program pembinaan narapidana di dalam dan di luar lembaga, ddak bisa dipisahkan dari kondisi sumber daya petugas yang secara umum tidak cukup kapabei. Hal mi di antaranya disebabkan oleh,

a. sistem perekrutan yang tidak didasari oleh kebutuhan kualifikasi personil

b. lemahnya keterkaitan kurikulum Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) sebagai insdtusi yang menghasilkan lulusan untuk bekerja pada Lembaga Pemasyarakatan, padahal jumlah mereka sangat signifikan dan menduduki posisi-posisi penting.

c. kurangnya pengkayaan kemampuan petugas Lapas dan Bapas melalui pelatihan-pelatihan d. buruknya sistem gaji dan tunjangan bagi pegawai pemasyarakatan dan Bapas yang berpengaruh pada kinerja personil dan lembaga

d. mekanisme evaluasi prestasi kerja dan jenjang karir petugas yang ddak jelas dan transparan

e. friksi antar pegawai yang berasal dari AKIP dengan non AKIP, yang dipicu olehperlakuan yang diskriminatif, merendahkan terhadap petugas dari non AKIP

f. anggaran dana operasional untuk lembaga yang sangat minim dan ketika bertemu dengan moralitas pejabat lembaga yang korup, maka kondisi ini menjadi sangat menekan biaya-biaya operasional yang semesdnya tidak bisa dikurangi

g. sudah dana terbatas, semaltin terbatas karena dikorup, pengalokasiannya tidak tepat , sasaran dan tidak efisien (adanya pemborosan-pemborosan karena melakukan 'tender* tertutup untuk pengadaan barang, makanan untuk operasinal lembaga).

h. dan yang terutama adalah, kesenjangan konsep pemasyarakatan dengan realitas pelaksanaan di lapangan.**

http://mhusnimubaroq.blogs.friendster.com/mhusnimubaroq/2007/06/_lembaga_pemasy.html

Minggu, 10 Februari 2008

Mantan Napi Versus Kebohongan

Oleh: Rahardi Ramelan
Ketua Umum, NAPI-Persatuan Narapidana Indonesia


Sungguh menarik apa yang disampaikan Ketua DPR dalam pidato Pembukaan Masa Persidangan III DPR 2007-2008, pada tanggal 7 Januari yang lalu, mengenai hak mantan narapidana dalam jabatan publik. Ketua DPR yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar telah meminta kepada Pansus RUU Politik untuk memperhatikan keputusan MK pada tanggal 11 Desember 2007 yang lalu, tentang hak politik mantan narapidana pada jabatan publik.

Dengan adanya pembatasan bagi mantan narapidana pada jabatan publik dan pemerintahan dalam beberapa UU yang ada, maka beberapa orang mantan napi telah mengajukan permohonan uji materiil kepada MK. Sejak pengajuan hal tersebut dan dalam proses di MK telah timbul polemik pro dan kontra, etis atau tidak etis, mengenai dikembalikannya hak-hak politik mantan narapidana.

Pasal-pasal tertentu dalam UU Pemda, UU Pilpres, UU BPK, UU MA dan UU MK, telah mengatur mengenai syarat-syarat pencalonan diri pada jabatan-jabatan publik diinstasi bersangkutan, yang berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih”.

Walaupun akhirnya MK menolak permohonan tersebut, tetapi dalam putusannya menyatakan bahwa putusan tersebut sebagai putusan “kunstitusional bersyarat”. Putusan MK tersebut memberikan batasan, yaitu hanya berlaku bagi mantan napi kasus politik dan kealpaan ringan (culpa levis). Putusan mengenai pembatasan tersebut telah mendapat tanggapan kritis dari beberapa politisi progresif yang menginginkan ditiadakannya pembatasan berdasarkan kasus mantan napi.

Pandangan politisi progresif tersebut sejalan dengan aspirasi masyarakat kita yang sudah dapat menilai siapa sebenarnya yang telah dijebloskan kedalam penjara atas nama hukum. Tebang pilih yang terjadi dalam proses awal peradilan, dan peradilan yang carut marut sering menimbulkan pertanyaan siapa sebetulnya yang menjadi narapidana.

Kasus para selebriti dan pejabat publik menjadi besar karena lingkupan media yang gencar. Terutama kasus narkoba bagi selebriti dan kasus korupsi bagi pejabat publik. Mereka yang telah menjalani hukuman penjara, kadang-kadang bukan merupakan pengakuan atas kesalahan atau kekeliruannya, melainkan karena menghormati proses hukum.

Menjadi terpidana di negeri tercinta ini, hanya bagi mereka yang bodoh sehingga tertangkap basah melakukan pelanggaran hukum, atau korban rekayasa politik dan kekuasaan, serta mereka yang tidak memiliki kekuatan baik kekuasaan maupun uang untuk menghindar dari penjara.

Menghormati Hukum

Mantan napi pada dasarnya adalah anggota masyarakat yang lebih terhormat, karena mereka telah menghormati hukum, jika dibandingkan dengan mereka, terutama pejabat publik, yang telah melakukan kebohongan publik dan rekayasa untuk melepaskan diri dari jerat hukum. Beberapa kasus yang menjadi perhatian masyarakat dan sorotan media masih segar dalam ingatan kita, betapa kebohongan demi kebohongan telah dilakukan oleh beberapa public figure, baik didepan umum maupun dalam persidangan, yang kemudian menjadi bahan tertawaan masyarakat.

Seperti halnya kita menonton parodi politik yang banyak ditayangkan di TV sekarang ini. Bohong bersama-sama merupakan istilah yang dipakai masyarakat mengungkapkan kekesalannya atas usaha para tersangka mengatur saksi-saksi untuk bersama-sama berbohong. Meja dan kursi dijadikan saksi, lupa atau sudah tidak ingat, telah dijadikan senjata untuk berkelit dari tuntutan pidana.

Peringatan dan ancaman hakim atas hukuman bagi yang berbohong didalam sidang, hanya dianggap sebagai gertakan belaka, karena belum pernah ada implementasinya.

Jadi, sebetulnya siapa yang lebih tidak layak menjadi pejabat publik? Apakah mantan narapidana, yang telah menjalankan hukuman sesuai dengan putusan pengadilan? Mereka yang dengan lapang dada telah menjalankan hukuman demi kepatuhan terhadap hukum.

Atau mereka yang menghindar dari hukuman dengan cara melakukan kebohongan publik, tetapi mereka merasa lebih berhak menjadi pejabat publik?

Kita jangan lupa bahwa orang jahat lebih banyak berada diluar penjara daripada didalam penjara.

Semoga wakil-wakil rakyat di DPR mempunyai pandangan yang jernih serta mendengar hati nuraninya dalam menyelesaikan RUU Politik, khususnya RUU Pemilu yang sedang dibahas.

Janganlah kita menjadi masyarakat atau bangsa yang pendek ingatannya, sehingga melupakan perilaku para elit kita, yang secara tidak etis melakukan kebohongan publik dengan mengorbankan orang lain.

Dimuat di Harian Suara Pembaruan tgl 17 Januari 2008

http://www.leapidea.com/presentation?id=92

Sabtu, 09 Februari 2008

Yayasan Solidaritas Eks Napi Indonesia SulseL

Miliki 300 Anggota, Berusaha Tepis Hukuman Sosial


Laporan: Sultan Rakib

STIGMA negatif bagi para narapidana (napi), memang masih melekat kuat di masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga tak bisa disalahkan begitu saja. GELAK tawa sejumlah pria terdengar jelas dari sebuah rumah permanen berwarna putih di Jl Sultan Alauddin I nomor 5 Makassar, kira-kira pukul 13.00 Wita Rabu, 20 Februari. Gelak tawa itu sesekali terdengar sampai di halaman rumah; sangat keras.

Tepat di depan rumah yang memiliki rumput lebat itu, berdiri kokoh papan berukuran 2X3 meter dengan tulisan Yayasan Solidaritas Eks Napi Indonesia (Yaseni) Sulawesi Selatan. Ternyata, rumah ini menjadi tempat pertemuan bagi para eks napi yang masuk dalam anggota Yaseni.

Tawa dan canda beberapa pria itu tiba-tiba terhenti saat penulis melangkah melewati pintu dan masuk ke ruang tamu rumah tersebut. Pandangan beberapa pria ini bak dikomando mengarah kepada penulis.

“Dari Fajar? Silakan masuk, sudah ditunggu,” ujar salah seorang dari mereka. Penulis sempat khawatir. Maklum, beberapa di antara mereka terlihat gondrong plus anting-anting di telinga.

Bukan hanya itu, ada eks napi yang kancing bagian atas bajunya terbuka sehingga tato di bagian dadanya terlihat.

Namun, ternyata mereka menyambut penulis dengan nada sopan dan senyum ramah. Penulis akhirnya tenang. “Kita semua sama dan bersaudara.

Bedanya, beberapa teman ini, termasuk saya adalah eks napi, sedangkan bapak (penulis) bukan,” kata Syukri Djunaid, seorang pembina Yaseni sambil mempersilakan penulis duduk di sofa berwarna krem.

Tidak ada basa-basi, memang. Beberapa detik saja setelah penulis mengambil posisi duduk, Ketua Umum Yaseni Andi Amir langsung membuka pembicaraan.

Lelaki dengan rambut cepak ini kemudian berkisah tentang yayasan yang mengayomi para eks napi itu. Ia mengatakan, yayasan ini sudah memiliki 300 anggota eks napi.

“Mereka semuanya dibina di yayasan ini. Kita berupaya keras agar tidak ada lagi yang melakukan praktik amoral setelah keluar dari penjara,” tegas Amir, meyakinkan.
Selang beberapa detik setelah berkomentar, Hasanuddin Tahir, salah seorang pembina dan sekaligus pendiri Yaseni ini, angkat bicara.

Dia menjelaskan bahwa ikhwal terbentuknya yayasan ini tak lain untuk meminimalkan tindak kriminalitas, khususnya bagi para eks napi.

Dia mengungkapkan, sebenarnya, salah satu penyebab sehingga sejumlah eks napi tak pernah bertobat karena perilaku masyarakat sekitar. Selain itu, tidak adanya jaminan dari pihak pemerintah.

Dalam realitas masyarakat modern yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, praktik pemenjaraan seolah-olah gagal mengubah seorang penjahat menjadi warga masyarakat yang baik. Pada akhirnya, lembaga pemasyarakatan tetap sebagai penjara yang seringkali membuat seorang narapidana tambah “pintar” berbuat jahat.

Dasar inilah, lanjut Hasanuddin, memunculkan pemikiran untuk membuat yayasan yang bisa mengubah secara total dan permanen sikap mantan napi. Tujuannya, agar bisa berguna dan tidak sekadar menjadi “sampah” masyarakat.

“Di Yaseni ini, sebanyak 300 anggotanya mulai kami kumpulkan untuk kemudian kami usahakan agar disalurkan ke beberapa perusahaan yang bisa menerima mereka sesuai dengan keahliannya,” jelas Hasanuddin.

Memang, lanjut dia, tidak semua anggota Yaseni sudah mendapatkan pekerjaan. Maklum, usia yayasan ini baru beranjak sebulan. Yaseni dibentuk berdasarkan akte pendirian tertanggal 23 Januari 2008.

“Pengurus yayasan masih terus membuka akses ke sejumlah perusahaan, sambil proses SITU-nya dibuat. Yang jelas, niat baik kami menjadikan yayasan eks napi ini berguna dan tidak lagi menjadi momok menakutkan bagi masyarakat,” ujar Hasanuddin.

Amirullah Tahir, salah satu pengacara di Makassar, ternyata menjadi salah seorang pendiri Yaseni. Sayangnya, Amirullah tak sempat hadir dalam pertemuan para eks napi ini dengan penulis, kemarin. Amirullah berada di Jakarta.

Kendati tak bertemu langsung dengan penulis, ia tetap mengirimkan pesan singkat yang mempertegas bahwa Yaseni bukan organisasi politik. Juga tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu.

Yayasana ini, kata dia, murni bergerak dalam bidang sosial dengan tujuan utama menyejahterahkan anggotanya. Terpenting, sebut dia lagi, menghapus segala bentuk diskriminasi sosial bagi mantan napi.

Ditambahkan, Yaseni berbeda dengan yayasan sejenis yang didirikan di Jakarta yang hanya melakukan pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP), dengan kegiatan membuka kuliah hukum di Cipinang, yang diikuti eks napi berduit.

“Yaseni beda dengan itu. Karena orientasinya pada pembinaan mantan napi di luar LP, membina yang keluar Rutan/LP,” katanya.

Amirullah menambahkan, pembinaan di dalam penjara saat ini dinilai sudah baik. Bimbingan mental dan keterampilan juga sudah memadai. “Persoalannya muncul saat napi keluar dari Rutan/LP.

Adaptasi sosial menjadi masalah karena muncul penolakan sebagian masyarakat. Mantan napi dianggap pendosa yang harus dijauhi.

Akibatnya, pekerjaan tidak jelas. Urusan mengisi perut saja menjadi sulit, sehingga muncullah pikiran, antara lain; lebih baik mati berdarah daripada mati kelaparan. Nah, akhirnya kejahatan terulang lagi,” tandas Amirullah.

Pernyataan Amirullah ini mungkin ada benarnya. Tak heran, sejumlah napi terkesan tak mau bertobat karena kurangnya perhatian masyarakat luas dan pemerintah kepada mereka. Nah, di sinilah sikap kearifan sebagai sesama sangat dibutuhkan. (bersambung)


http://www.fajar.co.id/picer.php?newsid=368