Sabtu, 21 April 2007

PEMIDANAAN bukan BALAS DENDAM NEGARA


Wawancara Eksklusif : Jubir NAPI-Narapidana Indonesia
RAHARDI RAMELAN dengan KOMPAS


Pernah meringkuk di balik terali besi, mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi (1998) serta Menteri Perindustrian dan Perdagangan (1998- 1999) kini dipercaya sebagai Ketua Persatuan Narapidana Seluruh Indonesia. Berikut pandangannya:


Bagaimana kondisi umumnya narapidana sekarang ini?


Kalau melihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, di sana disebutkan orientasi pemenjaraan adalah pada pemasyarakatan. Narapidana itu diberikan beberapa hak, seperti cuti mengunjungi keluarga dan cuti menjelang bebas.


Kalau kembali ke cita-cita itu, satu-satunya hukuman adalah kehilangan kemerdekaan bergerak, tak ada hukuman lain, pemidanaan bukan balas dendam negara dan tak diasingkan dari masyarakatnya. Pemasyarakatan tak boleh menjadikan narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari semula. Narapidana itu juga manusia.

Ini masalahnya. Undang-undangnya sudah baik, tetapi peraturan pelaksanaannya jelek sekali, baik peraturan pemerintah, bahkan peraturan pemerintah sering kali diambil alih oleh surat edaran dirjen pemasyarakatan.

Masalah surat edaran dirjen pemasyarakatan seolah-olah surat edaran itu sangat rahasia. Waktu saya mendapat asimilasi, harus ditambah lagi sepertiga hanya dengan surat edaran. Yang ndilalahnya, peraturan presiden mengesahkan SE ini. Ini bertentangan dengan undang-undang.

Kalau mau cuti menjelang bebas, kami harus menyiapkan dokumen setebal ini (Rahardi menunjukkan dokumen setebal kira-kira 250 halaman yang berisi berbagai dokumen perkaranya, termasuk surat jaminan yang ditandatangani oleh RT, RW, lurah, hingga babinsa). Bahwa mereka menjamin kalau cuti saya tidak kabur. Ini berlaku buat semua.

Bagaimana kondisi kesehatan di dalam LP?

Makan sangat disaster. Saya suka blusukan, masuk saja ke dapur. Sangat tak higienis, kita selalu punya istilah-istilah, seperti tempe kotak, daging silet, belum nasinya yang keras. Dari 4.000 orang di LP, paling yang ambil makanan hanya 2.000 orang. Lainnya? Tanyakan kepada petugas LP kenapa yang lainnya tidak ambil makan. Saya termasuk yang tidak ambil makanan, saya memilih lebih baik masak sendiri. Itu menggambarkan betapa tidak bisa dimakannya makanan penjara itu. Di sana mau tidak mau terjadi perdagangan makanan, orang menjual makanan atau sipir yang menjual. Kalau napi yang menjual, pasti dalam perlindungan sipir.

Soal pengobatan, kami sering harus mengusahakan sendiri. Saya dan Paulus Sutopo (terpidana kasus korupsi penyimpangan dana BLBI) membuat inisiatif pengobatan massal. Pertama, kami berhasil mengobati 500 orang dengan mendatangkan 30 dokter untuk mengobati semua pasien yang kena penyakit kulit. Semua handuk dibakar, istri saya dan anak-anak saya mencari bantuan untuk 1.000 napi. Setiap orang mendapat dua celana dalam, dua celana jojon, satu t-shirt, satu handuk, satu sarung, sandal jepit, sikat gigi, sabun, odol, dan sampo.

Bukankah di LP ada poliklinik untuk menangani napi yang sakit?

Memang di LP ada poliklinik untuk berobat dan kalau parah dibawa ke rumah sakit. Kalau berobat, obatnya sangat terbatas. Dari 4.000 orang penghuni LP Cipinang, ternyata 1.000 orang lebih berpenyakit kulit akut.

Pertama soal higienis, air kurang bersih. Tidak diberi pakaian. Satu sel ukuran 5 x 10, yang tadinya cuma untuk 20 orang, dihuni 50 orang. Tidurnya di semen, kalau 40-50 orang, sebagian di bawah, ada anak bawah, anak atas, yang tidak punya duit tidur di bawah. LP tidak menyediakan apa pun juga, tikar juga tidak. Handuk satu dipakai bertujuh. Penyakit kulit datang dari mereka.

Kedua, penyakit kulit datang dari pencandu narkoba karena mereka takut air. Handuk satu dipakai bertujuh, baju cuma itu-itu saja.

Kalau ada yang sakit ringan, minta obat gatal kepada petugas dijawab, "Oh garuk sajalah karena tidak ada obatnya".

Apa yang Anda lakukan untuk membantu para napi?

Waktu saya ditahan tahun 2002, saya menghubungi Sekjen Depkes untuk membantu menghubungi perusahaan-perusahaan farmasi. Saya dibantu. Saya tiga belas bulan dipenjara, saya lebih fokus ke pengobatan.

Yang lebih parah, napi-napi yang kena penyakit, kena stroke, dan kena jantung. Kita mengalami seorang kena stroke pada malam hari, ketahuan pada pukul 06.00-07.00, baru bisa siang hari dibawa ke rumah sakit. Orang stroke seharusnya the golden 4 hours. Kalau 4 jam tak diintervensi, kerusakan otak semakin parah.

Bisakah napi sakit dibawa ke rumah sakit?


Kalau napi sakit mau ke rumah sakit, harus punya izin. Kalau izin ke dokter harus dikawal atau diborgol. Untuk izin, pasti ada ongkosnya, ongkos untuk surat izin. Kalau tidak punya uang? Tidak usahlah. Kira-kira harus punya uang Rp 1 juta. Ada narapidana tertentu yang memanfaatkan itu. Dengan surat izin keluar dan mengunjungi ke rumah sakitnya. Kita mendengar itu, ada beberapa rutan yang kebanyakan penghuninya berada di luar dan ada beberapa rumah sakit yang dipakai. Keadaan kesehatan jelek.

Pernahkah menangani napi yang meninggal di lapas?

Pernah dan inilah susahnya. Petugas meminta bantuan ke kita. Petugas perlu dana untuk mencari keluarga napi yang meninggal. Dan itu tidak gampang. Setelah ketemu, harus lagi mencari ambulans pengangkut jenazah. Ketika ambulans datang, ternyata bensinnya habis. Terpaksalah kita-kita keluar kocek.

Ada juga orang yang keluar lapas untuk dibawa ke rumah sakit. Napi sudah dinaikkan ke ambulans, kita mengurus surat-suratnya. Ketika surat selesai, orangnya sudah meninggal. (VIN)

ditulis di KOMPAS dalam kolom FOCUS
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/fokus/3468961.htm

0 komentar:

Posting Komentar