Sabtu, 21 April 2007

DALAM LAPAS ADA GAZEBO nya.... LHO

Ada Gazebonya, Lho...

Dalam lembaga pemasyarakatan ada gazebo? Mau lihat, berkunjunglah ke Lapas Anak Pria Tangerang, Banten. Tempatnya nyaman, dua gazebo dikelilingi taman nan rapi dan bersih. Penghuni lapas boleh duduk di sana menikmati udara segar. Memang, tempat itu disediakan untuk tempat pertemuan keluarga dengan anak-anak penghuni lapas.

Tak jauh dari sana, di ruang pertemuan, Kamis (19/4) sore, terdengar gelak tawa penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) berbaur suara acara di teve yang mereka tonton. Ada yang duduk di lantai, tetapi ada juga yang nangkring di kursi tinggi yang biasa digunakan wasit bulu tangkis. Mereka tampak sangat santai.

Andai tidak ada pagar jeruji, deretan sel , dan tulisan Lapas Anak Pria Tangerang di pintu masuk lapas, tak ada yang menyangka bahwa itu adalah penjara, sedangkan anak-anak muda usia belasan tahun yang tengah santai di dalamnya merupakan penghuni penjara alias pesakitan.

Di penjara tersebut—kini disebut lembaga pemasyarakatan—tak tampak lagi pemandangan sipir membawa pentungan atau senjata api. Paradigma lapas sebagai tempat penghukuman anak usia 13 tahun-18 tahun yang menjadi pelaku tindak kejahatan itu sudah jauh berubah. Lapas Anak Pria Tangerang mewujudkan diri sebagai tempat pembinaan dan bimbingan bagi anak bermasalah dengan hukum. Kepala Lapas Anak Pria Tangerang FX Haru Tamtomo menegaskan, tidak boleh lagi menjadikan penjara untuk menghukum anak dengan berbagai cara.

"Mereka yang berada di sini sesungguhnya anak yang serba berkekurangan dan tak beruntung hidupnya. Ada yang kurang beretika, kurang pengetahuan, kurang kasih sayang, atau kurang bimbingan orangtuanya sampai kurang mampu dari segi keuangan...," papar Haru.

Oleh karena itu, Haru berpendapat, tak layak jika berbagai kekurangan yang mengakibatkan munculnya masalah pada anak didik (andik) itu ditambahi lagi dengan penderitaan di dalam lapas. "Yang mereka butuhkan justru kasih sayang, perhatian, dan bimbingan," ujarnya melanjutkan.

Beragam kegiatan

Sederetan kegiatan, seperti latihan band, membuat komik, menjahit, membuat maket rumah, montir sepeda motor, montir alat elektronika, serta sekolah formal tingkat SD, SMP, dan kelompok belajar; dilengkapi pula pemberian kursus, atau tugas giliran memasak di dapur, membuat remaja penghuni lapas mendapat keterampilan untuk bekal kehidupan kelak setelah keluar lapas.

Yadi (14), pelaku tindak asusila, merasa beruntung bisa bersekolah kembali, bahkan menjadi pimpinan kegiatan Pramuka di sana.

Sebelum masuk lapas, Yadi putus sekolah karena orangtuanya miskin. Akibatnya, ia hanya bermain di rumahnya di Kronjo, Kabupaten Tangerang. Saat menganggur ia sering ke rumah tetangganya yang hobi menonton video porno. Entah setan mana yang merasukinya, suatu hari pada tahun 2004 Yadi mencabuli anak perempuan tetangganya itu. Perbuatan itu mengantarnya masuk ke Lapas Anak Pria Tangerang.

Bambang (16) juga mendapatkan kepandaian memasak setelah beberapa bulan ini ia sering ditugaskan di dapur lapas. Berkat tugas meracik bumbu lauk, sayur lodeh, tempe bacem, sop, tempe orak-arik, dan lainnya bagi seluruh penghuni lapas, kini ia dengan bangga berujar, "Saya sudah bisa masak berbagai jenis makanan."

Kepiawaian Bambang sudah teruji, setiap hari kepala lapas ikut menguji cita rasa masakan yang hendak dikonsumsi 265 anak didiknya. "Setiap hari saya mencicipi masakannya dan dua pembina perempuan bertugas di dapur," kata Haru.

Soal cita rasa makanan bukanlah satu-satunya indikasi perubahan di lapas tersebut. Berbagai perubahan dan terobosan untuk menjadikan penjara anak ini sebagai lapas ramah anak dilakukan, misalnya dengan tak lagi memberi mereka baju seragam sebagai narapidana.

Bangunan lapas seluas 3.800 meter persegi yang dibangun Belanda pada tahun 1925 di atas tanah seluas 12.000 meter persegi itu juga tak lagi berkesan seram. Warna-warni pada dinding ruangan atau pagar penjara, taman yang rapi dan bersih, sungguh mengesankan tempat tersebut jauh dari kesan kumuh, mencekam, dan menyeramkan. "Seperti bukan penjara saja, Kak. Berbeda sekali dengan waktu baru tiba di sini," ujar seorang andik yang sudah 3,5 tahun tinggal di tempat itu.

Kegiatan-kegiatan pun diperbanyak, yang intinya membuat anak-anak sibuk sehingga tak lagi punya waktu untuk melamun atau ngerumpi. Untuk memperkaya jenis kegiatan, sejumlah lembaga, seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DKI Jakarta, Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), ILO, Unicef, BNN, dan Unesco bergandengan tangan dengan Lapas Anak Pria berupaya mengembangkan bakat penghuni lapas.

Tak hanya itu, kedisiplinan dan kebersihan pun menjadi soal yang mutlak dilakukan. "Di sini, kesehatan anak-anak menjadi prioritas saya," tutur Haru Tamtomo yang mantan juru bicara pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM itu.

Jika PKBI membimbing anak didik membuat usaha mi ayam popeye (mi dicampur bayam), YCAB berhasil membuat lima andik membuat maket bangunan secara profesional. Maket buatan mereka bahkan telah berhasil "menyamai" kualitas maket buatan para profesional seperti arsitek atau lulusan SMK bangunan.

"Kami akan berupaya agar mereka dapat pekerjaan selepas dari lapas ini. Perusahaan pembuat maket kan sampai sekarang belum ada. Padahal, pasarnya jelas," ujar Firmansyah dari YCAB.

Menurut Pujo Harinto, Kepala Seksi Bimbingan Napi Lapas Anak Pria Tangerang, beberapa kalangan kini sudah memesan pepohonan pelengkap maket buatan andiknya. Untuk itu, kendati mereka bekerja dengan cutter dan benda tajam lainnya, pihak lapas memercayakan mereka mengerjakan proyek itu di kamar.

"Kami tidak terpikir untuk menusuk seseorang dengan pisau ini, kok. Masa-masa itu telah lewat," ujar Mulyadi, seorang andik sembari tertawa. (IRN/TRI )

ditulis oleh Kompas dalam Kolom FOCUS
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/fokus/3468749.htm

0 komentar:

Posting Komentar