Selasa, 01 Mei 2007

PERLUKAH OMBUDSMAN PENJARA?: Sebuah Alternatif (1)

(Iqrak Sulhin) 1 Mei 2007

Sejumlah masalah yang muncul di berbagai lembaga pemasyarakatan (penjara) di Indonesia terakhir ini perlu mendapatkan perhatian serius. Menyerahkan upaya penyelesaian masalah ini sepenuhnya kepada Departemen Hukum dan HAM, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tidak akan berdampak maksimal. Ini sudah dibuktikan dengan tidak pernah terselesaikannya begitu banyak masalah dalam lembaga pemasyarakatan di Indonesia sejak dulu.

Mungkin kini diperlukan suatu alternatif penyelesaian multi stakeholder, yang tidak hanya melibatkan Dep Hum HAM dengan Dirjen Pemasyarakatannya. Lebih dari itu, upaya penyelesaian harus mengikutsertakan stakeholder lain di luar pemerintah seperti organisasi masyarakat sipil (LSM) dan mungkin juga kalangan swasta. Ide ini mengacu pada pengembangan proses governance dalam setiap pengambilan kebijakan, termasuk kebijakan dalam bidang pemasyarakatan.

Pengalaman Amerika Serikat dan Australia dapat dijadikan pembanding. Dalam upaya mengatasi sejumlah masalah dalam sistem pemenjaraan, mereka membentuk suatu badan yang dikenal dengan Prison Ombudsman (Ombudsman Penjara). Lembaga ini berfungsi sebagai mediator antara sejumlah stakeholder, seperti narapidana, petugas, penjara (di Indonesia disebut LP), dan juga otoritas yang ada di atas penjara (di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan).

Secara umum, tugas lembaga Ombudsman Penjara ini tidak jauh berbeda dengan tugas dan fungsi lembaga Ombudsman yang telah dikenal selama ini. Jika lembaga Ombudsman lebih banyak berurusan dengan keluhan yang diberikan masyarakat terhadap penyelenggaraan administrasi publik dan kebijakan publik, maka ombudsman penjara secara spesifik berurusan dengan keluhan yang terkait dengan pelaksanaan pemidanaan dan pembinaan di penjara. Seperti kondisi fisik penjara, kondisi kesehatan narapidana, kualitas makanan, pendidikan dan pelatihan di penjara serta masalah lainnya.

Ombudsman penjara ini dibentuk independen dari struktur pemerintahan (khususnya eksekutif di level departemen). Jika dikontekstualisasi di Indonesia, lembaga ini harus independen dari Departemen Hukum dan HAM, khususnya Dirjen Pemasyarakatan, dan langsung berada di bawah presiden. Independensi ini diperlukan agar benturan kepentingan yang mungkin terjadi bila melibatkan Dirjen Pemasyarakatan dalam upaya menangani sejumlah permasalahan penjara dapat dihindari.

Tidak efektifnya upaya mengatasi begitu banyak masalah di penjara dewasa ini tidak terlepas dari keterlibatan dominan dirjen Pemasyarakatan. Mereka dan hanya mereka yang diberikan kewenangan untuk mengambil sejumlah kebijakan terkait dengan penyelenggaraan pemasyarakatan di penjara. Dalam proses kebijakan, stakeholder tunggal lebih cenderung melakukan kesalahan dari pada multi stakeholder.

Pertanyaannya, bagaimana masalah-masalah penjara tersebut dapat ditangani secara baik bila yang ditugaskan melakukan perbaikan adalah bagian dari masalah itu sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejumlah masalah di penjara terkait dengan ketidakefektifan kerja direktorat jenderal pemasyarakatan. Penjara (LP) hanyalah pelaksana teknis dari kebijakan-kebijakan dirjen pemasyarakatan yang tersentralistik. Seperti telah diulas dalam Tulisan di blog ini berjudul “Masalah Klasik Penjara”, masalah otonomi penjara merupakan cikal-bakal bagi munculnya sederatan masalah lain berikutnya.

Dengan kondisi demikian, sudah saatnya proses pengambilan kebijakan dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia harus melibatkan stakeholder lain di luar direktorat jenderal pemasyarakatan. Departemen Hukum dan HAM memang telah membentuk Badan Pertimbangan Pemasyarakatan, sesuai dengan UU no. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Badan ini berfungsi memberikan pertimbangan, baik diminta atau tidak, terhadap pelaksanaan pemasyarakatan di Indonesia. Namun tidak dapat berjalan secara efektif. Hal ini salah satunya disebabkan karena Badan ini bertanggung jawab kepada Departemen yang membawahi Dirjen Pemasyarakatan. Ia menjadi suatu badan yang diminta mengawasi dan “menyentil” bosnya sendiri. Ini akan menjadi masalah yang sulit diatasi.

Ombudsman penjara dapat memberikan alternatif yang lebih baik dari pada apa yang telah dilakukan selama ini. Keanggotaan yang tidak didominasi eksekutif relatif memberikan “keberanian” bagi lembaga ini untuk merekomendasikan perubahan radikal. Dalam relasi kekuasaan proses kebijakan, hadirnya ombudsman penjara menyebabkan redistribusi kekuasaan yang selama ini hanya tersentralisasi di tangan Dirjen Pemasyarakatan. Tanpa fasilitasi oleh Ombudsman, narapidana dan juga keluarganya tidak akan memiliki posisi tawar yang kuat ketika ingin menyampaikan keluhan kepada LP tentang kondisi kehidupannya di dalam LP tersebut. Dalam struktur masyarakat penjara, minus pihak ketiga, narapidana akan menempati posisi terbawah.

Selain itu, perubahan sangat mungkin terjadi karena Ombudsman Penjara sekaligus akan bertindak menjadi pihak yang mengawasi proses perubahan tersebut. Dengan kemampuan untuk mempublikasi temuan-temuan tentang kondisi penjara dan merekomendasikan perbaikannya, Ombudsman relatif akan mendapatkan dukungan yang lebih luas dari masyarakat. Terlebih lagi dengan adanya kemampuan Ombudsman Penjara untuk meneruskan persoalan ini kepada eksekutif dan legislatif di tingkat tertinggi bila rekomendasi yang diberikannya tidak diindahkan sama sekali.

Masalahnya sekarang, Indonesia belum memiliki Ombudsman Penjara, di tengah semakin parahnya kondisi penjara dan narapidana, serta di tengah ketidakefektifan para pengambil kebijakan di Direktorat Pemasyarakatan. Menurut saya, ini mungkin salah satu alternatif yang harus segera dilakukan sekarang ini.

http://kriminologi1.wordpress.com/2007/05/01/perlukah-ombudsman-penjara/


0 komentar:

Posting Komentar