Minggu, 08 April 2007

MASALAH KLASIK PENJARA

Iqrak Sulhin

Kompas 5 April 2007 memuat data selama tahun 2006 terdapat 813 narapidana meninggal di penjara. Dari data tersebut terbanyak terjadi di DKI Jakarta yaitu 321 kasus. Sementara pada tahun 2007 (Januari-Ferbruari) terdapat 62 narapidana yang meninggal di berbagai LP di Indonesia, 22 di antaranya terjadi di Jakarta.

Meninggalnya narapidana di dalam penjara memang bukan satu-satunya masalah yang dihadapi oleh Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Penjara juga identik dengan masalah-masalah seperti kekerasan antara narapidana (juga petugas kepada narapidana), kerusuhan, dan pelarian..

Namun tentang meninggalnya narapidana di dalam penjara sejumlah catatan yang dapat diberikan. Munculnya masalah tersebut tidak dapat dilepaskan dari masalah yang dihadapi penjara (Lembaga Pemasyarakatan) sebagai sebuah organisasi
Manajemen terendah berada di unit pelaksana atau penjara (Lembaga Pemasyarakatan) itu sendiri. Namun berbeda dengan sekolah, input yang diterima penjara sangat berbeda jauh dengan input yang diterima sekolah. Untuk memasuki sekolah, seseorang dapat memilih akan bersekolah di mana saja. Namun narapidana dipaksa untuk masuk ke dalam penjara karena keputusan pengadilan. Narapidana tidak dapat memilih untuk tidak masuk ke penjara atau memilih penjara mana yang akan menjadi tempat pelaksanaan pidananya.

Dari segi input, penjara dalam sistem hukum kontemporer dapat dikatakan sebagai tempat dipidananya orang-orang yang “tidak beruntung”. Dengan kata lain, input bagi penjara sudah terseleksi. Jumlah pelaku kejahatan yang tercatat di penjara sebagai ujung akhir sistem peradilan pidana (SPP) jauh lebih sedikit dengan catatan kepolisian yang merupakan ujung awal SPP.

Pelaku kejahatan yang akhirnya dipenjarakan adalah orang-orang yang tidak dapat “memperjuangkan” dirinya dalam proses penyidikan jaksa dan proses pengadilan. Untuk bisa memberikan perlawanan hukum, pelaku kejahatan (terdakwa) memerlukan bantuan dari pengacara-pengacara handal dan mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membayar mereka.

Kecenderungan ini setidaknya dibuktikan oleh status sosial ekonomi umumnya narapidana yang menengah ke bawah. Dengan kondisi input seperti ini, penjara kemudian berhadapan dengan sejumlah masalah. Narapidana dengan status sosial ekonomi rendah akan merasakan deprivasi penjara lebih besar dan sering berakhir dalam bentuk resistensi terhadap sistem penjara atau tekanan psikologis.

Kematian narapidana di penjara di antaranya disebabkan oleh bunuh diri. Dalam hal ini, mengakhiri hidup merupakan alternatif untuk menghilangkan penderitaan yang semakin diperparah oleh kondisi penjara. Selain dari segi input, masalah penjara juga terkait dengan proses dan manajemennya. Bahkan domain ini justru merupakan faktor dominan munculnya sejumlah masalah di penjara.

Sudah menjadi rahasia umum, kondisi penjara di Indonesia sangat tidak manusiawi. Jumlah narapidana yang melebihi kapasitas adalah pemandangan umum di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan mengapa banyak narapidana yang tidak mendapatkan sejumlah hak secara proporsional. Seperti tempat tidur yang layak, air bersih, makanan yang layak, sanitasi, hak untuk informasi dan hiburan, ibadah, kesehatan, pendidikan dan pelatihan dan lain-lain.

Padahal penemuhan hak-hak tersebut telah dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Serta dikukuhkan secara internasional melalui Standard Minimum Rules (SMR) for the Treatment of Prisoners. Mengapa penjara sulit menjalankan fungsinya dan memenuhi hak-hak narapidana secara baik? Setidaknya ada tiga faktor besar yang menyebabkannya.

Pertama, penjara di Indonesia berhadapan dengan masalah otonomi (problem of autonomy).
Kebijakan yang diambil oleh penjara sebagai sebuah organisasi tidak bersifat otonom terhadap institusi yang ada di atasnya. Dalam memperbaiki kondisi fisik penjara, kualitas sanitasi, makanan, kesehatan dan lain-lain, manajemen penjara akan menunggu keputusan dari otoritas yang lebih tinggi. Setidaknya dalam hal pendanaan. Relasi seperti ini memposisikan narapidana sebagai pihak yang paling dirugikan.


Kematian narapidana akibat sakit dapat dikaitkan dengan masalah otonomi penjara ketika manajemen penjara harus menunggu keputusan dan droping dana dari institusi di atasnya untuk memperbaiki kualitas makanan, air bersih, sanitasi, dan pelayanan kesehatan.

Kedua, masalah teknologi (problem of technology). Teknologi yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya dalam bentuk sarana dan prasarana yang canggih (berteknologi tinggi) dalam mendukung proses pembinaan dalam penjara. Lebih dari itu, teknologi yang dimaksud terkait dengan manajemen penjara secara umum dalam proses pembinaan (people processing). Menurut mashab atau filsafat penghukumannya, sistem pemasyarakatan di Indonesia menganut Reintegrasi Sosial. Kejahatan menurut filsafat ini adalah konflik yang terjadi antara pelaku kejahatan dengan masyarakatnya. Sehingga hukuman (pidana) yang diberikan kepada pelaku kejahatan tidak bersifat membuat derita.

Namun mengupayakan reintegrasi (bersatunya kembali) pelaku kejahatan dengan masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan penghukuman seperti ini diperlukan metode pembinaan yang dapat memberikan bekal kepada narapidana. Jika umumnya narapidana adalah pengangguran, dan berasal dari status sosial ekonomi rendah, proses pembinaan harus mampu memerikan keterampilan yang cukup bagi narapidana agar ketika kembali ke masyarakat mendapatkan pekerjaan dengan lebih mudah.

Selain dari aspek narapidana, metode pembinaan juga harus mempertimbangkan keharusan dalam filsafat penghukuman Reintegrasi Sosial untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembinaan. Bagaimana bentuk praktis pelibatan masyarakat dalam pembinaan selain dari pada yang telah dilakukan selama ini dan diragukan efektivitasnya.

Seperti bekerja di luar pagar penjara agar terjadi interaksi dengan masyarakat, cuti mengunjungi keluarga, atau pembebasan bersyarat. Sistem pemasyarakatan di Indonesia memang telah melakukan proses pembinaan untuk tujuan reintegrasi. Dalam kenyataannya, proses pembinaan yang dilakukan diragukan efektivitasnya dengan munculnya residivisme.

Di beberapa penjara, proses pembinaan yang dilakukan hanya “berada” di atas kertas (seperti laporan tahunan lembaga). Sebuah penjara mengatakan telah memberikan pelatihan menjahit dan pelatihan komputer. Padahal mesin jahit hanya berjumlah satu dan komputer yang dipergunakan untuk pelatihan hanya berupa rangka hardware-nya saja
.

Faktor ketiga adalah masalah kontrol sosial (problem of social control). Sudah menjadi rahasia umum, bahwa relasi antar warga penjara didasarkan atas dasar kewenangan. Narapidana tentu saja tidak memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Atas dasar kewenangan, kontrol di dalam penjara lebih banyak bersifat represif. Problem ini pada dasarnya terkait dengan mekanisme reward and punishment.

Kontrol di dalam penjara lebih banyak diperlihatkan dalam bentuk penghukuman. Misalnya atas narapidana yang melakukan kerusuhan, kekerasan atau melanggar peraturan. Kontrol sosial yang efektif perlu didukung oleh reward yang terukur.

Penjara di Indonesia memang telah memberikan reward kepada narapidana yang berperilaku baik. Seperti pengurangan masa hukuman (remisi) pada hari-hari kebesaran agama atau nasional. Meskipun dalam beberapa kasus mengundang pertanyaan ketika diberikan kepada pelaku kejahatan kelas kakap dengan jumlah pengurangan yang tidak wajar. Namun reward yang diberikan menjadi nihil jika dihadapkan dengan dominasi pola kontrol koersif oleh penjara.

Ketiga faktor yang memunculkan masalah bagi penjara sebagai sebuah organisasi tersebut tidak berdiri sendiri.

Faktor pertama menjadi pemicu munculnya faktor kedua dan ketiga. Antara faktor kedua dan ketiga berbiimplikasi. Tidak adanya otonomi penjara dalam membuat kebijakan menyulitkan kepala penjara melakukan sejumlah perubahan yang mungkin berdampak positif kepada narapidana.

Dominasi kontrol sosial koersif lebih mudah menyebabkan resistensi narapidana terhadap proses pembinaan. Kematian narapidana hanya satu dari sekian banyak masalah yang terdapat di dalam penjara kita. Secara teori sistem pemasyarakatan yang dilakukan di Indonesia jauh lebih manusiawi bila dibandingkan dengan sistem penjara di beberapa negara lain.

Namun jika terdapat gap antara teori dan komitmen untuk mewujudkannya, masalah kematian narapidana akibat sakit karena kondisi kesehatan di penjara yang buruk atau akibat bunuh diri, kekerasan antar narapidana, atau masalah kerusuhan tidak akan pernah dapat diminimalisir.

ditulis dalam
http://kriminologi.wordpress.com/2007/04/08/masalah-klasik-penjara/





1 komentar:

ok, secara prinsip saya sangat setuju dengan artikel diatas..
dalam arti bahwa pemsyarakatn adalah suatu sistem..semua unsur sub sistem sudah seharusnya mendukung pelaksanaan dari sistem pemasysrakatan itu sendiri..mulai dari petugas, napi, masyarakat, LSM, serta aparat peradilan lainnya sehingga terjadi kesinambungan..jadi semua unsur harus memiliki rasaa tanggung jawab..termasuk diantaranya media massa..

Posting Komentar