Jumat, 13 April 2007

Napi Masih Dianggap "Sampah"

Ketua Komisi III DPR Minta Hamid Awaludin Berikan Perhatian

Jakarta, Kompas - Tingginya angka kematian narapidana atau napi di lembaga pemasyarakatan cukup mengentak dan mengejutkan. Selama ini hampir tak ada lembaga yang memberikan perhatian kepada napi karena masih ada anggapan napi adalah "sampah". Pemerintah harus memerhatikan masalah ini. Sejumlah napi mengeluhkan tiadanya perhatian dari masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) terhadap mereka dan lembaga pemasyarakatan (LP). "Peran lawyer berhenti di pintu gerbang LP atau rumah tahanan (rutan)," ujar seorang napi kepada Kompas di Jakarta, Jumat (6/4).

"Napi lain mencontohkan, meninggalnya mantan Kepala Biro Keuangan Komisi Pemilihan Umum Hamdani Amin dan terdakwa dalam kasus suap di Mahkamah Agung, Sudi Achmad, tak mengundang kepedulian sosial. Siapa yang peduli kepada mereka? Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/ F-PDIP, Sumatera Utara II) mengaku kaget dengan tingginya angka kematian napi tahun 2006.

Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang dirilis (Kompas, 5/4) menunjukkan, 831 napi meninggal selama tahun 2006. Ia mendesak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Hamid Awaludin memberikan perhatian soal kondisi napi dan LP. Jika problemnya pada pelayanan kesehatan, perlu ada kerja sama antara Departemen Kesehatan serta Dephuk dan HAM untuk meningkatkan pelayanan kesehatan napi. Ini perlu perhatian karena menyangkut nyawa manusia," katanya.

Trimedya dan juga pengajar kriminologi dari Universitas Indonesia, Thomas Sunaryo, menangkap perasaan napi yang merasa dirinya "sampah" sehingga tak ada yang memedulikannya. Thomas mengatakan,praktik pemasyarakatan sekarang ini jauh dari konsep pemasyarakatan yang pernah digagas Sahardjo, ahli hukum. Dalam filosofi Sahardjo, dalam proses pemasyarakatan, negara tidak boleh membuat kondisi seseorang lebih jahat atau lebih buruk daripada sebelum napi itu dipenjarakan. Implementasi konsep pemasyarakatan berjalan lambat. Malah, ia menangkap filosofi pemasyarakatan dan pembinaan kalah dengan filosofi lama, LP sebagai tempat penghukuman.

Menurut catatan Kompas, sejumlah napi pernah mengeluarkan Deklarasi Napi Cipinang 17 September 2006, yang salah satu isinya sepakat mendeklarasikan wadah Persatuan Napi Seluruh Indonesia Dalam deklarasi itu, mereka menyebutkan, meskipun sejak tanggal 27 April 1964 kata warisan kolonial boei telah diganti dengan pemasyarakatan, kualitas pemasyarakatan di Indonesia jauh merosot dibandingkan "penjara" masa Hindia Belanda.

Deklarasi ini menunjuk Rahardi Ramelan dan Sussongko Suhardjo untuk mewakili napi Indonesia memperjuangkan haknya. Keduanya kini sudah bebas. Thomas menyinggung tidak berjalannya fungsi dan peran hakim pengawas, seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). "Seharusnya, setelah hakim menjatuhkan pemidanaan, ia perlu melihat bagaimana pemidanaan itu dilaksanakan. Tetapi, apakah itu berjalan?" katanya.

Harus diubah
Indonesia sebenarnya sudah mengakui Standar Minimum Rules for The Treatment of Prisoners (1955). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pun relatif baik, tetapi ada regulasi teknis dan praktik bertentangan sehingga ada "kebijakan memelihara napi" selama mungkin". Akibatnya, LP padat dan kelebihan penghuni,"ujar seorang napi. Thomas berpendapat, perlu ada perubahan menyeluruh mengenai pemasyarakatan. Ia menyebut contoh penjara di Australia. Di sana napi bisa mempunyai monopoli membuat pelat nomor kendaraan sehingga pemasyarakatan menjadi produktif. Ada juga penjara yang dilengkapi mesin cuci yang dioperasikan napi yang melayani jasa cucian dari rumah sakit.

Thomas mendukung gagasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang membuka alternatif hukuman tak hanya pada pemidanaan. Misalnya, kerja sosial juga alternatif yang harus dipikirkan. "Apakah korban narkotika, pekerja seks, gelandangan, dan pengemis harus dimasukkan penjara," kata Thomas menggugat

Kurang responsif
Trimedya menduga kematian napi, selain sudah membawa penyakit sejak dari luar dan LP yang penuh sesak, juga karena kurang responsifnya petugas saat menangani penghuni LP yang sakit. Komisi III DPR pernah berkunjung ke salah satu penjara di Sumatera Barat dan menemukan seorang napi perempuan berusia 35 tahun sakit. Menurut keterangan perempuan itu, kata Trimedya, dirinya berkali-kali minta berobat ke rumah sakit, tetapi permintaan itu tidak dikabulkan kepala LP. "Saat kami ke sana, kami meminta agar perempuan itu dibawa ke rumah sakit. Tetapi, petugas tidak menanggapinya dengan cepat. Saya dengar, begitu kami pergi dari penjara, perempuan itu meninggal," ujarnya.

Menurut Direktur Bina Perawatan Ditjen Pemasyarakatan Dephuk dan HAM Paulus Sugeng, kepala LP tidak dapat begitu saja membawa napi keluar. Ada banyak pertimbangan sebelum mengizinkan napi dibawa ke rumah sakit, seperti faktor keamanan atau menarik perhatian masyarakat atau tidak. Namun, papar seorang mantan penghuni LP di Kabupaten Banyumas, Jateng, Budi, siapa pun, termasuk napi, sakit bisa keluar penjara asal membayar tiket keluar. "Seorang teman saya sakit vertigo. Ia minta dibawa keluar untuk berobat. Dibolehkan, tapi harus membayar sekitar Rp 2,5 juta kepada petugas. Jika tidak, ya tak dikeluarkan," ujarnya. Ia menjelaskan, fasilitas kesehatan di LP sangat minim. Napi yang sakit ditempatkan dalam sel tersendiri. Sel itu khusus dipergunakan orang yang sakit dengan segala jenis penyakit. (ANA/BDM)

ditulis oleh Kompas Cyber Media 7 April 2007 http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/07/utama/


0 komentar:

Posting Komentar