PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Team Futsal Narapidana Indonesia

Buktikan Sportivitasmu dan Buktikan Kamu Mampu, Semboyan olaharaga Narapidana Indonesia dalam rangka Pembinaan Kepribadian

Sabtu, 21 April 2007

PEMIDANAAN bukan BALAS DENDAM NEGARA


Wawancara Eksklusif : Jubir NAPI-Narapidana Indonesia
RAHARDI RAMELAN dengan KOMPAS


Pernah meringkuk di balik terali besi, mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi (1998) serta Menteri Perindustrian dan Perdagangan (1998- 1999) kini dipercaya sebagai Ketua Persatuan Narapidana Seluruh Indonesia. Berikut pandangannya:


Bagaimana kondisi umumnya narapidana sekarang ini?


Kalau melihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, di sana disebutkan orientasi pemenjaraan adalah pada pemasyarakatan. Narapidana itu diberikan beberapa hak, seperti cuti mengunjungi keluarga dan cuti menjelang bebas.


Kalau kembali ke cita-cita itu, satu-satunya hukuman adalah kehilangan kemerdekaan bergerak, tak ada hukuman lain, pemidanaan bukan balas dendam negara dan tak diasingkan dari masyarakatnya. Pemasyarakatan tak boleh menjadikan narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari semula. Narapidana itu juga manusia.

Ini masalahnya. Undang-undangnya sudah baik, tetapi peraturan pelaksanaannya jelek sekali, baik peraturan pemerintah, bahkan peraturan pemerintah sering kali diambil alih oleh surat edaran dirjen pemasyarakatan.

Masalah surat edaran dirjen pemasyarakatan seolah-olah surat edaran itu sangat rahasia. Waktu saya mendapat asimilasi, harus ditambah lagi sepertiga hanya dengan surat edaran. Yang ndilalahnya, peraturan presiden mengesahkan SE ini. Ini bertentangan dengan undang-undang.

Kalau mau cuti menjelang bebas, kami harus menyiapkan dokumen setebal ini (Rahardi menunjukkan dokumen setebal kira-kira 250 halaman yang berisi berbagai dokumen perkaranya, termasuk surat jaminan yang ditandatangani oleh RT, RW, lurah, hingga babinsa). Bahwa mereka menjamin kalau cuti saya tidak kabur. Ini berlaku buat semua.

Bagaimana kondisi kesehatan di dalam LP?

Makan sangat disaster. Saya suka blusukan, masuk saja ke dapur. Sangat tak higienis, kita selalu punya istilah-istilah, seperti tempe kotak, daging silet, belum nasinya yang keras. Dari 4.000 orang di LP, paling yang ambil makanan hanya 2.000 orang. Lainnya? Tanyakan kepada petugas LP kenapa yang lainnya tidak ambil makan. Saya termasuk yang tidak ambil makanan, saya memilih lebih baik masak sendiri. Itu menggambarkan betapa tidak bisa dimakannya makanan penjara itu. Di sana mau tidak mau terjadi perdagangan makanan, orang menjual makanan atau sipir yang menjual. Kalau napi yang menjual, pasti dalam perlindungan sipir.

Soal pengobatan, kami sering harus mengusahakan sendiri. Saya dan Paulus Sutopo (terpidana kasus korupsi penyimpangan dana BLBI) membuat inisiatif pengobatan massal. Pertama, kami berhasil mengobati 500 orang dengan mendatangkan 30 dokter untuk mengobati semua pasien yang kena penyakit kulit. Semua handuk dibakar, istri saya dan anak-anak saya mencari bantuan untuk 1.000 napi. Setiap orang mendapat dua celana dalam, dua celana jojon, satu t-shirt, satu handuk, satu sarung, sandal jepit, sikat gigi, sabun, odol, dan sampo.

Bukankah di LP ada poliklinik untuk menangani napi yang sakit?

Memang di LP ada poliklinik untuk berobat dan kalau parah dibawa ke rumah sakit. Kalau berobat, obatnya sangat terbatas. Dari 4.000 orang penghuni LP Cipinang, ternyata 1.000 orang lebih berpenyakit kulit akut.

Pertama soal higienis, air kurang bersih. Tidak diberi pakaian. Satu sel ukuran 5 x 10, yang tadinya cuma untuk 20 orang, dihuni 50 orang. Tidurnya di semen, kalau 40-50 orang, sebagian di bawah, ada anak bawah, anak atas, yang tidak punya duit tidur di bawah. LP tidak menyediakan apa pun juga, tikar juga tidak. Handuk satu dipakai bertujuh. Penyakit kulit datang dari mereka.

Kedua, penyakit kulit datang dari pencandu narkoba karena mereka takut air. Handuk satu dipakai bertujuh, baju cuma itu-itu saja.

Kalau ada yang sakit ringan, minta obat gatal kepada petugas dijawab, "Oh garuk sajalah karena tidak ada obatnya".

Apa yang Anda lakukan untuk membantu para napi?

Waktu saya ditahan tahun 2002, saya menghubungi Sekjen Depkes untuk membantu menghubungi perusahaan-perusahaan farmasi. Saya dibantu. Saya tiga belas bulan dipenjara, saya lebih fokus ke pengobatan.

Yang lebih parah, napi-napi yang kena penyakit, kena stroke, dan kena jantung. Kita mengalami seorang kena stroke pada malam hari, ketahuan pada pukul 06.00-07.00, baru bisa siang hari dibawa ke rumah sakit. Orang stroke seharusnya the golden 4 hours. Kalau 4 jam tak diintervensi, kerusakan otak semakin parah.

Bisakah napi sakit dibawa ke rumah sakit?


Kalau napi sakit mau ke rumah sakit, harus punya izin. Kalau izin ke dokter harus dikawal atau diborgol. Untuk izin, pasti ada ongkosnya, ongkos untuk surat izin. Kalau tidak punya uang? Tidak usahlah. Kira-kira harus punya uang Rp 1 juta. Ada narapidana tertentu yang memanfaatkan itu. Dengan surat izin keluar dan mengunjungi ke rumah sakitnya. Kita mendengar itu, ada beberapa rutan yang kebanyakan penghuninya berada di luar dan ada beberapa rumah sakit yang dipakai. Keadaan kesehatan jelek.

Pernahkah menangani napi yang meninggal di lapas?

Pernah dan inilah susahnya. Petugas meminta bantuan ke kita. Petugas perlu dana untuk mencari keluarga napi yang meninggal. Dan itu tidak gampang. Setelah ketemu, harus lagi mencari ambulans pengangkut jenazah. Ketika ambulans datang, ternyata bensinnya habis. Terpaksalah kita-kita keluar kocek.

Ada juga orang yang keluar lapas untuk dibawa ke rumah sakit. Napi sudah dinaikkan ke ambulans, kita mengurus surat-suratnya. Ketika surat selesai, orangnya sudah meninggal. (VIN)

ditulis di KOMPAS dalam kolom FOCUS
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/fokus/3468961.htm

DALAM LAPAS ADA GAZEBO nya.... LHO

Ada Gazebonya, Lho...

Dalam lembaga pemasyarakatan ada gazebo? Mau lihat, berkunjunglah ke Lapas Anak Pria Tangerang, Banten. Tempatnya nyaman, dua gazebo dikelilingi taman nan rapi dan bersih. Penghuni lapas boleh duduk di sana menikmati udara segar. Memang, tempat itu disediakan untuk tempat pertemuan keluarga dengan anak-anak penghuni lapas.

Tak jauh dari sana, di ruang pertemuan, Kamis (19/4) sore, terdengar gelak tawa penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) berbaur suara acara di teve yang mereka tonton. Ada yang duduk di lantai, tetapi ada juga yang nangkring di kursi tinggi yang biasa digunakan wasit bulu tangkis. Mereka tampak sangat santai.

Andai tidak ada pagar jeruji, deretan sel , dan tulisan Lapas Anak Pria Tangerang di pintu masuk lapas, tak ada yang menyangka bahwa itu adalah penjara, sedangkan anak-anak muda usia belasan tahun yang tengah santai di dalamnya merupakan penghuni penjara alias pesakitan.

Di penjara tersebut—kini disebut lembaga pemasyarakatan—tak tampak lagi pemandangan sipir membawa pentungan atau senjata api. Paradigma lapas sebagai tempat penghukuman anak usia 13 tahun-18 tahun yang menjadi pelaku tindak kejahatan itu sudah jauh berubah. Lapas Anak Pria Tangerang mewujudkan diri sebagai tempat pembinaan dan bimbingan bagi anak bermasalah dengan hukum. Kepala Lapas Anak Pria Tangerang FX Haru Tamtomo menegaskan, tidak boleh lagi menjadikan penjara untuk menghukum anak dengan berbagai cara.

"Mereka yang berada di sini sesungguhnya anak yang serba berkekurangan dan tak beruntung hidupnya. Ada yang kurang beretika, kurang pengetahuan, kurang kasih sayang, atau kurang bimbingan orangtuanya sampai kurang mampu dari segi keuangan...," papar Haru.

Oleh karena itu, Haru berpendapat, tak layak jika berbagai kekurangan yang mengakibatkan munculnya masalah pada anak didik (andik) itu ditambahi lagi dengan penderitaan di dalam lapas. "Yang mereka butuhkan justru kasih sayang, perhatian, dan bimbingan," ujarnya melanjutkan.

Beragam kegiatan

Sederetan kegiatan, seperti latihan band, membuat komik, menjahit, membuat maket rumah, montir sepeda motor, montir alat elektronika, serta sekolah formal tingkat SD, SMP, dan kelompok belajar; dilengkapi pula pemberian kursus, atau tugas giliran memasak di dapur, membuat remaja penghuni lapas mendapat keterampilan untuk bekal kehidupan kelak setelah keluar lapas.

Yadi (14), pelaku tindak asusila, merasa beruntung bisa bersekolah kembali, bahkan menjadi pimpinan kegiatan Pramuka di sana.

Sebelum masuk lapas, Yadi putus sekolah karena orangtuanya miskin. Akibatnya, ia hanya bermain di rumahnya di Kronjo, Kabupaten Tangerang. Saat menganggur ia sering ke rumah tetangganya yang hobi menonton video porno. Entah setan mana yang merasukinya, suatu hari pada tahun 2004 Yadi mencabuli anak perempuan tetangganya itu. Perbuatan itu mengantarnya masuk ke Lapas Anak Pria Tangerang.

Bambang (16) juga mendapatkan kepandaian memasak setelah beberapa bulan ini ia sering ditugaskan di dapur lapas. Berkat tugas meracik bumbu lauk, sayur lodeh, tempe bacem, sop, tempe orak-arik, dan lainnya bagi seluruh penghuni lapas, kini ia dengan bangga berujar, "Saya sudah bisa masak berbagai jenis makanan."

Kepiawaian Bambang sudah teruji, setiap hari kepala lapas ikut menguji cita rasa masakan yang hendak dikonsumsi 265 anak didiknya. "Setiap hari saya mencicipi masakannya dan dua pembina perempuan bertugas di dapur," kata Haru.

Soal cita rasa makanan bukanlah satu-satunya indikasi perubahan di lapas tersebut. Berbagai perubahan dan terobosan untuk menjadikan penjara anak ini sebagai lapas ramah anak dilakukan, misalnya dengan tak lagi memberi mereka baju seragam sebagai narapidana.

Bangunan lapas seluas 3.800 meter persegi yang dibangun Belanda pada tahun 1925 di atas tanah seluas 12.000 meter persegi itu juga tak lagi berkesan seram. Warna-warni pada dinding ruangan atau pagar penjara, taman yang rapi dan bersih, sungguh mengesankan tempat tersebut jauh dari kesan kumuh, mencekam, dan menyeramkan. "Seperti bukan penjara saja, Kak. Berbeda sekali dengan waktu baru tiba di sini," ujar seorang andik yang sudah 3,5 tahun tinggal di tempat itu.

Kegiatan-kegiatan pun diperbanyak, yang intinya membuat anak-anak sibuk sehingga tak lagi punya waktu untuk melamun atau ngerumpi. Untuk memperkaya jenis kegiatan, sejumlah lembaga, seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DKI Jakarta, Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), ILO, Unicef, BNN, dan Unesco bergandengan tangan dengan Lapas Anak Pria berupaya mengembangkan bakat penghuni lapas.

Tak hanya itu, kedisiplinan dan kebersihan pun menjadi soal yang mutlak dilakukan. "Di sini, kesehatan anak-anak menjadi prioritas saya," tutur Haru Tamtomo yang mantan juru bicara pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM itu.

Jika PKBI membimbing anak didik membuat usaha mi ayam popeye (mi dicampur bayam), YCAB berhasil membuat lima andik membuat maket bangunan secara profesional. Maket buatan mereka bahkan telah berhasil "menyamai" kualitas maket buatan para profesional seperti arsitek atau lulusan SMK bangunan.

"Kami akan berupaya agar mereka dapat pekerjaan selepas dari lapas ini. Perusahaan pembuat maket kan sampai sekarang belum ada. Padahal, pasarnya jelas," ujar Firmansyah dari YCAB.

Menurut Pujo Harinto, Kepala Seksi Bimbingan Napi Lapas Anak Pria Tangerang, beberapa kalangan kini sudah memesan pepohonan pelengkap maket buatan andiknya. Untuk itu, kendati mereka bekerja dengan cutter dan benda tajam lainnya, pihak lapas memercayakan mereka mengerjakan proyek itu di kamar.

"Kami tidak terpikir untuk menusuk seseorang dengan pisau ini, kok. Masa-masa itu telah lewat," ujar Mulyadi, seorang andik sembari tertawa. (IRN/TRI )

ditulis oleh Kompas dalam Kolom FOCUS
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/fokus/3468749.htm

Rabu, 18 April 2007

KEBERMAKNAAN HIDUP NARAPIDANA YANG MENDAPAT HUKUMAN SEUMUR HIDUP

(Studi pada narapidana di LP Lowokwaru Malang)
Undergraduate Theses from JIPTUMM / 2003-05-23 08:27:00Oleh : ST Nur Aini (98810124), PsychologyDibuat : 2003-05-23, dengan 3 file
Keyword : Narapidana,penjahat,terisolir,simbolis.
Url : http://

Stereotip dari penjahat adalah suatu perhatian yang khusus , yang diarahkan dalam usaha menjelaskan penjahat dengan memberi bentuk yang bisa dilihat secara lahiriah. Pada mulanya golongan terendah yang paling terbuang dalam masyarakat , penjahat-penjahat dalam bentuk simbolis yang distereotip-kan melanjutkan untuk mewakili perbuatan salah yang dipusatkan dalam golongan-golongan sosial terendah, sehingga seolah-olah penjahat hanya ada pada orang atau golongan tertentu saja (Purnianti dan Darmawan, 1994:24).

Orang yang melakukan tindak kejahatan bisa memperoleh hukuman. Dengan dijatuhkannya vonis atau hukuman terhadap narapidana (penjahat) bukan berarti perampasan gerak mereka, melainkan sebagai sarana untuk penyembuhan atau pembinaan. Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disebut LP) tidak sesempit dugaan masyarakat.

Fakta ada dilapangan narapidana bisa “bebas” untuk menjalani hidupnya. Dalam komunitas kecil orang-orang yang menjalani hukuman, narapidana merasa senasib dan sependeritaan. Dilingkungan Lembaga Pemasyarakatan sama halnya dengan lingkungan luar, narapidana bisa bebas beraktivitas dan berkreatiftas guna memenuhi kebutuhan akan makna hidupnya.

Adanya program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan di antaranya pemberian ketrampilan, kegiatan agama dan kegiatan olahraga. Di sela-sela kegiatan yang diadakan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan, narapidaana juga mempunyai bidang usaha sendiri di bawah pengawasan Lembaga Pemasyarakatan.

Ada beberapa narapidana yang menghasilkan karya yang sudah diekspor ke luar negeri. Ada juga narapidana yang berjualan makanan dan petugas Lembaga Pemasyarakatan dan bahkan pengunjung sebagai konsumennya. Aktifitas-aktifitas tersebut bisa menghibur hati narapidana dalam menemani kerinduannya pada keluarga, dan bisa mengurangi kesedihannya sebagai orang yang terisolir.

ditulis dalam website
http://digilib.itb.ac.id/index.php



Jumat, 13 April 2007

NAPI Minta Pemerintah Benahi LP dan Rutan

SUARA PEMBARUAN DAILY


Rahardi Ramelan [Dok Pembaruan]

[JAKARTA] Narapidana (napi) yang berada di semua lembaga pemasyarakatan (LP) dan rumah tahanan (rutan) di seluruh Indonesia meminta pemerintah agar segera mengambil langkah konkret untuk meningkatkan kualitas LP dan rutan di seluruh Indonesia.Permintaan itu disampaikan NAPI yang merupakan perkumpulan napi di seluruh Indonesia.

NAPI dideklarasikan 45 napi di LP Kelas I Cipinang 17 September 2006. Pengurus NAPI, antara lain Eurico Guterres, Aprila Widharta dan Sihol P Manullang. Juru bicara NAPI adalah Prof Dr Rahardi Ramelan dan Dr Ir Sussongko Sahardjo. Misi NAPI adalah menggalang solidaritas untuk memperjuangkan hak-hak napi. Menurut Rahardi Ramelan, paradigma yang ada, yakni agar napi selama mungkin di penjara hendaknya segera ditinggalkan, diganti dengan paradigma yang manusiawi. Padatnya hunian LP, harus segera direspons dengan mengubah aturan asimilasi dan pembebasan bersyarat (PB). Dikatakan, banyaknya napi yang meninggal dunia merupakan cerminan konsep berpikir pemerintah terhadap napi. Secara konsepsional, "penjara" memang sudah digantikan dengan "pemasyarakatan," namun dalam praktiknya, kualitas pemasyarakatan dewasa ini justru jauh merosot ketimbang zaman Hindia Belanda.

Kualitas hunian napi, kata dia, jauh melorot. Tingkat hunian jauh melampaui daya tampung. Di berbagai LP sulit memperoleh air bersih (untuk mandi-cuci dan minum). Kondisi inilah yang membuat napi rentan diserang berbagai penyakit. Pada saat bersamaan, kualitas gaji sipir penjara masih perlu dipertanyakan, kualitas rumah sakit yang ada di LP/Rutan masih terbatas dan anggarannya kecil dan tidak jelas, pada akhirnya membuat dukungan terhadap kesehatan napi semakin lemah.

Lebih jauh dikatakan, jika pemerintah tidak segera mengubah paradigma kepenjaraan, bukan hanya kecenderungan kematian napi yang akan terus meningkat, tetapi napi juga akan mengalami kematian hak-hak yuridis. Sulitnya memperjuangkan hak napi yang merupakan gerbang menuju kematian hak-hak yuridis, juga membuat napi menjadi stres dan putus asa. Disadari atau tidak, napi menjadi acuh mengurus kesehatan karena putus asa setelah diperlakukan tidak adil. Bertentangan Paradigma kepenjaraan sekarang ini, kata dia, didesain sedemikian rupa agar napi selama mungkin berada di penjara. Hal itu tampak jelas dari peraturan perhitungan asimilasi dan PB yang bertentangan dengan UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Bahkan, peraturan/perhitungan pemberian remisi pun, kata dia, bertentangan dengan Keppres 174/1999 tentang Remisi. Menurut Rahardi, perhitungan asimilasi dan PB secara logika sungguh menyesatkan. Sebab remisi yang sudah diperoleh napi pada saat HUT RI dan hari raya keagamaan, pada saat pelaksanaan asmilasi dikurangi lagi setengah. Artinya, masa tahanan dan remisi yang diperhitungkan, hanya setengah saja dan setengahnya lagi menjadi hilang. Dan, pada saat PB dikurangi lagi sepertiga, masa tahanan dan remisi yang diperhitungkan, hanya dua pertiga, sedangkan yang sepertiga menjadi hilang. "Remisi (hukuman yang tidak perlu dijalankan) sudah diberikan, namun dikurangi lagi, sungguh menyesatkan dan kurang manusiawi," kata dia.

Menurut Rahardi, penghuni LP/rutan di kota-kota besar yang sebagian besar terlibat kasus narkorba memerlukan penanganan multidepartemental.

Last modified: 10/4/07

ditulis di media Suara Pembaruan 10 April 2007
http://www.suarapembaruan.com/

Napi Sulit Berharap Pengobatan

Ledakan Kematian Bakal Terjadi

Jakarta, Kompas - Narapidana atau napi sulit mengharapkan pengobatan yang memadai di penjara. Obat-obatan yang tersedia sangat minim dan dokter yang tersedia hanya dokter jaga. Akibatnya, napi sering kali bersama-sama mengupayakan sendiri pengobatan, terutama untuk membantu napi yang tidak punya uang.

"Dokter yang betul-betul menangani napi adalah dokter napi. Mereka selalu siap menolong rekannya sesama napi yang sakit. Poliklinik di lembaga pemasyarakatan (LP) memang ada, tetapi sangat terbatas fasilitasnya," ujar juru bicara napi seluruh Indonesia, Rahardi Ramelan, di rumahnya, Jakarta, Senin (9/4). Rahardi bercerita pengalamannya saat di LP Cipinang, Jakarta. Pengobatan di LP itu sering diupayakan sendiri oleh napi.
Dari sekitar 4.000 napi di LP Cipinang, kata Rahardi, lebih dari 1.000 napi memiliki penyakit kulit akut. Kapasitas LP Cipinang yang hanya untuk 1.700 napi harus didiami sekitar 4.000 napi. Tiada yang memerhatikan kesehatan napi, padahal begitu banyak penyakit yang bisa menular dengan cepat di antara sesama napi, termasuk penyakit kulit. "Jika ada napi yang mengeluh tubuhnya gatal, dijawab petugas, ya digaruk saja. Obat-obatnya tak ada," ujar Rahardi.

Rahardi menjelaskan, penyakit kulit akut menular dari kelompok napi yang diambil dari jalanan yang tak memiliki pakaian ganti. Padahal, sering kali 50 napi dalam satu sel. Penularan penyakit kulit terjadi karena pakaian tidak pernah ganti dan kadang satu handuk dipakai tujuh orang. Kelompok penular kedua adalah pencandu narkoba yang takut air sehingga mereka jarang mandi. Problem lain yang juga muncul adalah saat napi harus ke rumah sakit (RS). Menurut Rahardi, napi yang dibawa ke RS harus punya izin. Namun, surat izin itu ada biayanya. Bagi napi miskin sulit berharap bisa dirawat di RS karena tak sanggup membayar ongkos agar surat izin itu keluar.

Ledakan kematian.
Direktur Yayasan Partisan Club Baby Jim Aditya menuturkan, bila problem kesehatan penghuni LP tidak diatasi serius, beberapa tahun ke depan dikhawatirkan terjadi ledakan kematian napi. Kematian itu terutama disebabkan penyebaran virus HIV di antara sesama napi. Ditambah kondisi lingkungan LP yang buruk, penyakit oportunistik mudah menyerang napi. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Departemen Kesehatan diminta untuk mengantisipasi kejadian ini. Baby mengakui, kesadaran pemerintah akan bahaya HIV/AIDS di penjara sangat terlambat. Ia sudah mengingatkan tentang penularan HIV di penjara sejak tahun 1999. Tingginya kematian napi saat ini sudah diprediksikan sebelumnya.

Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas) Jakarta Timur dan Utara Purwani Suyatmi mengakui, kondisi napi anak lebih baik dibandingkan napi dewasa. Bapas merekomendasikan tak semua anak yang terlibat tindak pidana harus dipenjarakan. (vin/ana/tra)

ditulis oleh Kompas Cyber Media 10 April 2007

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/10/Politikhukum/

Napi Masih Dianggap "Sampah"

Ketua Komisi III DPR Minta Hamid Awaludin Berikan Perhatian

Jakarta, Kompas - Tingginya angka kematian narapidana atau napi di lembaga pemasyarakatan cukup mengentak dan mengejutkan. Selama ini hampir tak ada lembaga yang memberikan perhatian kepada napi karena masih ada anggapan napi adalah "sampah". Pemerintah harus memerhatikan masalah ini. Sejumlah napi mengeluhkan tiadanya perhatian dari masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) terhadap mereka dan lembaga pemasyarakatan (LP). "Peran lawyer berhenti di pintu gerbang LP atau rumah tahanan (rutan)," ujar seorang napi kepada Kompas di Jakarta, Jumat (6/4).

"Napi lain mencontohkan, meninggalnya mantan Kepala Biro Keuangan Komisi Pemilihan Umum Hamdani Amin dan terdakwa dalam kasus suap di Mahkamah Agung, Sudi Achmad, tak mengundang kepedulian sosial. Siapa yang peduli kepada mereka? Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/ F-PDIP, Sumatera Utara II) mengaku kaget dengan tingginya angka kematian napi tahun 2006.

Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang dirilis (Kompas, 5/4) menunjukkan, 831 napi meninggal selama tahun 2006. Ia mendesak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Hamid Awaludin memberikan perhatian soal kondisi napi dan LP. Jika problemnya pada pelayanan kesehatan, perlu ada kerja sama antara Departemen Kesehatan serta Dephuk dan HAM untuk meningkatkan pelayanan kesehatan napi. Ini perlu perhatian karena menyangkut nyawa manusia," katanya.

Trimedya dan juga pengajar kriminologi dari Universitas Indonesia, Thomas Sunaryo, menangkap perasaan napi yang merasa dirinya "sampah" sehingga tak ada yang memedulikannya. Thomas mengatakan,praktik pemasyarakatan sekarang ini jauh dari konsep pemasyarakatan yang pernah digagas Sahardjo, ahli hukum. Dalam filosofi Sahardjo, dalam proses pemasyarakatan, negara tidak boleh membuat kondisi seseorang lebih jahat atau lebih buruk daripada sebelum napi itu dipenjarakan. Implementasi konsep pemasyarakatan berjalan lambat. Malah, ia menangkap filosofi pemasyarakatan dan pembinaan kalah dengan filosofi lama, LP sebagai tempat penghukuman.

Menurut catatan Kompas, sejumlah napi pernah mengeluarkan Deklarasi Napi Cipinang 17 September 2006, yang salah satu isinya sepakat mendeklarasikan wadah Persatuan Napi Seluruh Indonesia Dalam deklarasi itu, mereka menyebutkan, meskipun sejak tanggal 27 April 1964 kata warisan kolonial boei telah diganti dengan pemasyarakatan, kualitas pemasyarakatan di Indonesia jauh merosot dibandingkan "penjara" masa Hindia Belanda.

Deklarasi ini menunjuk Rahardi Ramelan dan Sussongko Suhardjo untuk mewakili napi Indonesia memperjuangkan haknya. Keduanya kini sudah bebas. Thomas menyinggung tidak berjalannya fungsi dan peran hakim pengawas, seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). "Seharusnya, setelah hakim menjatuhkan pemidanaan, ia perlu melihat bagaimana pemidanaan itu dilaksanakan. Tetapi, apakah itu berjalan?" katanya.

Harus diubah
Indonesia sebenarnya sudah mengakui Standar Minimum Rules for The Treatment of Prisoners (1955). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pun relatif baik, tetapi ada regulasi teknis dan praktik bertentangan sehingga ada "kebijakan memelihara napi" selama mungkin". Akibatnya, LP padat dan kelebihan penghuni,"ujar seorang napi. Thomas berpendapat, perlu ada perubahan menyeluruh mengenai pemasyarakatan. Ia menyebut contoh penjara di Australia. Di sana napi bisa mempunyai monopoli membuat pelat nomor kendaraan sehingga pemasyarakatan menjadi produktif. Ada juga penjara yang dilengkapi mesin cuci yang dioperasikan napi yang melayani jasa cucian dari rumah sakit.

Thomas mendukung gagasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang membuka alternatif hukuman tak hanya pada pemidanaan. Misalnya, kerja sosial juga alternatif yang harus dipikirkan. "Apakah korban narkotika, pekerja seks, gelandangan, dan pengemis harus dimasukkan penjara," kata Thomas menggugat

Kurang responsif
Trimedya menduga kematian napi, selain sudah membawa penyakit sejak dari luar dan LP yang penuh sesak, juga karena kurang responsifnya petugas saat menangani penghuni LP yang sakit. Komisi III DPR pernah berkunjung ke salah satu penjara di Sumatera Barat dan menemukan seorang napi perempuan berusia 35 tahun sakit. Menurut keterangan perempuan itu, kata Trimedya, dirinya berkali-kali minta berobat ke rumah sakit, tetapi permintaan itu tidak dikabulkan kepala LP. "Saat kami ke sana, kami meminta agar perempuan itu dibawa ke rumah sakit. Tetapi, petugas tidak menanggapinya dengan cepat. Saya dengar, begitu kami pergi dari penjara, perempuan itu meninggal," ujarnya.

Menurut Direktur Bina Perawatan Ditjen Pemasyarakatan Dephuk dan HAM Paulus Sugeng, kepala LP tidak dapat begitu saja membawa napi keluar. Ada banyak pertimbangan sebelum mengizinkan napi dibawa ke rumah sakit, seperti faktor keamanan atau menarik perhatian masyarakat atau tidak. Namun, papar seorang mantan penghuni LP di Kabupaten Banyumas, Jateng, Budi, siapa pun, termasuk napi, sakit bisa keluar penjara asal membayar tiket keluar. "Seorang teman saya sakit vertigo. Ia minta dibawa keluar untuk berobat. Dibolehkan, tapi harus membayar sekitar Rp 2,5 juta kepada petugas. Jika tidak, ya tak dikeluarkan," ujarnya. Ia menjelaskan, fasilitas kesehatan di LP sangat minim. Napi yang sakit ditempatkan dalam sel tersendiri. Sel itu khusus dipergunakan orang yang sakit dengan segala jenis penyakit. (ANA/BDM)

ditulis oleh Kompas Cyber Media 7 April 2007 http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/07/utama/


Selasa, 10 April 2007

PEMERINTAH HARUS MEMPERHATIKAN KONDISI NARAPIDANA

Jakarta, 10 April 2007

Wakil Ketua MPR-RI, A..M. Fatwa, mengharapkan perhatian dalam hal ini pemerintah cq.Menteri Hukum dan HAM mengenai kondisi kesehatan para narapidana (napi) di hampir semua lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia yang kondisi saat ini sangat menyedihkan dan tidak manusiawi, akibatnya banyak napi yang yang sakit bahkan banyak yang mingggal dunia, untuk tahun 2006 saja tidak kurang 831 orang napi meninggal. Maka Fatwa mengusulkan agar ada perombakan yang signifikan dalam pengelolaan LP, terutama sitem pembinaan dan pengawasannya serta fasilitasnya.

Sebagai mantan penghuni lapas A.M. Fatwa sangat prihatin kondisi Lapas pada saat ini, sebagai contoh LP Cipinang mestinya hanya untuk 1.700 napi tatapi pada saat ini dihuni sekitar 4.000 napi. Jelas LP yang kondisi penuh sesak demikian dapat memicu melemahkan kesehatan para napi, karena banyak penyakit yang dapat cepat menulkar di setiap LP. Padalah bila para napi jatuh sakit mereka sangat kesulitan untuk berobat, karena obatan yang disedikan pemerintah sangat minim.

A.M. Fatwa mengharapkan agar Departemen Hukum dan HAM menaikan angggaran dalam APBN untuk biaya makan dan kesehatan para napi diseluruh Indonesia. Disamping itu pemerintah seyogianya setiap tahun juga harus menyediakan angggaran untuk membangun LP-LP baru guna menampung para napi yang sekarang berjubel di sejumlah Lapas, agar lebih manusiawi.

A.M. Fatwa khawatir, apabila masalah kondisi LP dan kesehatan para narapidana ini tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat, maka dimasa mendatang napi yang meninggal di LP akan lebih banyak lagi.

http://www.mpr.go.id/pimpinan2/

Minggu, 08 April 2007

MASALAH KLASIK PENJARA

Iqrak Sulhin

Kompas 5 April 2007 memuat data selama tahun 2006 terdapat 813 narapidana meninggal di penjara. Dari data tersebut terbanyak terjadi di DKI Jakarta yaitu 321 kasus. Sementara pada tahun 2007 (Januari-Ferbruari) terdapat 62 narapidana yang meninggal di berbagai LP di Indonesia, 22 di antaranya terjadi di Jakarta.

Meninggalnya narapidana di dalam penjara memang bukan satu-satunya masalah yang dihadapi oleh Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Penjara juga identik dengan masalah-masalah seperti kekerasan antara narapidana (juga petugas kepada narapidana), kerusuhan, dan pelarian..

Namun tentang meninggalnya narapidana di dalam penjara sejumlah catatan yang dapat diberikan. Munculnya masalah tersebut tidak dapat dilepaskan dari masalah yang dihadapi penjara (Lembaga Pemasyarakatan) sebagai sebuah organisasi
Manajemen terendah berada di unit pelaksana atau penjara (Lembaga Pemasyarakatan) itu sendiri. Namun berbeda dengan sekolah, input yang diterima penjara sangat berbeda jauh dengan input yang diterima sekolah. Untuk memasuki sekolah, seseorang dapat memilih akan bersekolah di mana saja. Namun narapidana dipaksa untuk masuk ke dalam penjara karena keputusan pengadilan. Narapidana tidak dapat memilih untuk tidak masuk ke penjara atau memilih penjara mana yang akan menjadi tempat pelaksanaan pidananya.

Dari segi input, penjara dalam sistem hukum kontemporer dapat dikatakan sebagai tempat dipidananya orang-orang yang “tidak beruntung”. Dengan kata lain, input bagi penjara sudah terseleksi. Jumlah pelaku kejahatan yang tercatat di penjara sebagai ujung akhir sistem peradilan pidana (SPP) jauh lebih sedikit dengan catatan kepolisian yang merupakan ujung awal SPP.

Pelaku kejahatan yang akhirnya dipenjarakan adalah orang-orang yang tidak dapat “memperjuangkan” dirinya dalam proses penyidikan jaksa dan proses pengadilan. Untuk bisa memberikan perlawanan hukum, pelaku kejahatan (terdakwa) memerlukan bantuan dari pengacara-pengacara handal dan mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membayar mereka.

Kecenderungan ini setidaknya dibuktikan oleh status sosial ekonomi umumnya narapidana yang menengah ke bawah. Dengan kondisi input seperti ini, penjara kemudian berhadapan dengan sejumlah masalah. Narapidana dengan status sosial ekonomi rendah akan merasakan deprivasi penjara lebih besar dan sering berakhir dalam bentuk resistensi terhadap sistem penjara atau tekanan psikologis.

Kematian narapidana di penjara di antaranya disebabkan oleh bunuh diri. Dalam hal ini, mengakhiri hidup merupakan alternatif untuk menghilangkan penderitaan yang semakin diperparah oleh kondisi penjara. Selain dari segi input, masalah penjara juga terkait dengan proses dan manajemennya. Bahkan domain ini justru merupakan faktor dominan munculnya sejumlah masalah di penjara.

Sudah menjadi rahasia umum, kondisi penjara di Indonesia sangat tidak manusiawi. Jumlah narapidana yang melebihi kapasitas adalah pemandangan umum di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan mengapa banyak narapidana yang tidak mendapatkan sejumlah hak secara proporsional. Seperti tempat tidur yang layak, air bersih, makanan yang layak, sanitasi, hak untuk informasi dan hiburan, ibadah, kesehatan, pendidikan dan pelatihan dan lain-lain.

Padahal penemuhan hak-hak tersebut telah dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Serta dikukuhkan secara internasional melalui Standard Minimum Rules (SMR) for the Treatment of Prisoners. Mengapa penjara sulit menjalankan fungsinya dan memenuhi hak-hak narapidana secara baik? Setidaknya ada tiga faktor besar yang menyebabkannya.

Pertama, penjara di Indonesia berhadapan dengan masalah otonomi (problem of autonomy).
Kebijakan yang diambil oleh penjara sebagai sebuah organisasi tidak bersifat otonom terhadap institusi yang ada di atasnya. Dalam memperbaiki kondisi fisik penjara, kualitas sanitasi, makanan, kesehatan dan lain-lain, manajemen penjara akan menunggu keputusan dari otoritas yang lebih tinggi. Setidaknya dalam hal pendanaan. Relasi seperti ini memposisikan narapidana sebagai pihak yang paling dirugikan.


Kematian narapidana akibat sakit dapat dikaitkan dengan masalah otonomi penjara ketika manajemen penjara harus menunggu keputusan dan droping dana dari institusi di atasnya untuk memperbaiki kualitas makanan, air bersih, sanitasi, dan pelayanan kesehatan.

Kedua, masalah teknologi (problem of technology). Teknologi yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya dalam bentuk sarana dan prasarana yang canggih (berteknologi tinggi) dalam mendukung proses pembinaan dalam penjara. Lebih dari itu, teknologi yang dimaksud terkait dengan manajemen penjara secara umum dalam proses pembinaan (people processing). Menurut mashab atau filsafat penghukumannya, sistem pemasyarakatan di Indonesia menganut Reintegrasi Sosial. Kejahatan menurut filsafat ini adalah konflik yang terjadi antara pelaku kejahatan dengan masyarakatnya. Sehingga hukuman (pidana) yang diberikan kepada pelaku kejahatan tidak bersifat membuat derita.

Namun mengupayakan reintegrasi (bersatunya kembali) pelaku kejahatan dengan masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan penghukuman seperti ini diperlukan metode pembinaan yang dapat memberikan bekal kepada narapidana. Jika umumnya narapidana adalah pengangguran, dan berasal dari status sosial ekonomi rendah, proses pembinaan harus mampu memerikan keterampilan yang cukup bagi narapidana agar ketika kembali ke masyarakat mendapatkan pekerjaan dengan lebih mudah.

Selain dari aspek narapidana, metode pembinaan juga harus mempertimbangkan keharusan dalam filsafat penghukuman Reintegrasi Sosial untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembinaan. Bagaimana bentuk praktis pelibatan masyarakat dalam pembinaan selain dari pada yang telah dilakukan selama ini dan diragukan efektivitasnya.

Seperti bekerja di luar pagar penjara agar terjadi interaksi dengan masyarakat, cuti mengunjungi keluarga, atau pembebasan bersyarat. Sistem pemasyarakatan di Indonesia memang telah melakukan proses pembinaan untuk tujuan reintegrasi. Dalam kenyataannya, proses pembinaan yang dilakukan diragukan efektivitasnya dengan munculnya residivisme.

Di beberapa penjara, proses pembinaan yang dilakukan hanya “berada” di atas kertas (seperti laporan tahunan lembaga). Sebuah penjara mengatakan telah memberikan pelatihan menjahit dan pelatihan komputer. Padahal mesin jahit hanya berjumlah satu dan komputer yang dipergunakan untuk pelatihan hanya berupa rangka hardware-nya saja
.

Faktor ketiga adalah masalah kontrol sosial (problem of social control). Sudah menjadi rahasia umum, bahwa relasi antar warga penjara didasarkan atas dasar kewenangan. Narapidana tentu saja tidak memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Atas dasar kewenangan, kontrol di dalam penjara lebih banyak bersifat represif. Problem ini pada dasarnya terkait dengan mekanisme reward and punishment.

Kontrol di dalam penjara lebih banyak diperlihatkan dalam bentuk penghukuman. Misalnya atas narapidana yang melakukan kerusuhan, kekerasan atau melanggar peraturan. Kontrol sosial yang efektif perlu didukung oleh reward yang terukur.

Penjara di Indonesia memang telah memberikan reward kepada narapidana yang berperilaku baik. Seperti pengurangan masa hukuman (remisi) pada hari-hari kebesaran agama atau nasional. Meskipun dalam beberapa kasus mengundang pertanyaan ketika diberikan kepada pelaku kejahatan kelas kakap dengan jumlah pengurangan yang tidak wajar. Namun reward yang diberikan menjadi nihil jika dihadapkan dengan dominasi pola kontrol koersif oleh penjara.

Ketiga faktor yang memunculkan masalah bagi penjara sebagai sebuah organisasi tersebut tidak berdiri sendiri.

Faktor pertama menjadi pemicu munculnya faktor kedua dan ketiga. Antara faktor kedua dan ketiga berbiimplikasi. Tidak adanya otonomi penjara dalam membuat kebijakan menyulitkan kepala penjara melakukan sejumlah perubahan yang mungkin berdampak positif kepada narapidana.

Dominasi kontrol sosial koersif lebih mudah menyebabkan resistensi narapidana terhadap proses pembinaan. Kematian narapidana hanya satu dari sekian banyak masalah yang terdapat di dalam penjara kita. Secara teori sistem pemasyarakatan yang dilakukan di Indonesia jauh lebih manusiawi bila dibandingkan dengan sistem penjara di beberapa negara lain.

Namun jika terdapat gap antara teori dan komitmen untuk mewujudkannya, masalah kematian narapidana akibat sakit karena kondisi kesehatan di penjara yang buruk atau akibat bunuh diri, kekerasan antar narapidana, atau masalah kerusuhan tidak akan pernah dapat diminimalisir.

ditulis dalam
http://kriminologi.wordpress.com/2007/04/08/masalah-klasik-penjara/