Minggu, 20 Mei 2007

PENJARA adalah MINIATUR MASYARAKAT

Sosok Dan Pemikiran
Susana Rita

Negara tidak boleh membuat seseorang menjadi lebih jahat atau buruk daripada sebelum orang yang bersangkutan dipidana. Dengan kondisi penjara seperti saat ini—yang lebih mirip gabungan organisasi ketentaraan dan rumah sakit jiwa—mungkinkah hal tersebut terpenuhi?

Penjara itu miniatur masyarakat. Banyak persoalan kemanusiaan di sana," ungkap ahli kriminologi sekaligus pengamat lembaga pemasyarakatan (LP) dari Universitas Indonesia (UI), Thomas Sunaryo.

Ada banyak cerita dari balik penjara yang kini bukan menjadi rahasia. Itu mencerminkan beragam persoalan, mulai dari kapasitas penjara yang mulai tak mampu menampung narapidana (napi), isu kesehatan, isu pungutan liar, dan berbagai isu lainnya.

Thomas menggambarkan situasi penjara yang dianalogikannya dengan gabungan rumah sakit jiwa dan ketentaraan. Sedemikian menyedihkannya sehingga tak hanya napi yang enggan berdekatan dengan lingkungan tersebut. Mayoritas petugas LP atau sekitar 70 persen pun mengaku ingin pindah ke bagian lain jika memungkinkan.

Fakta tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan ahli kriminologi sekaligus pengamat pemasyarakatan itu. Penelitian dilakukan di 20 LP di seluruh Indonesia. Penelitian dilakukan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan HAM pada 2005. Berikut petikan wawancara dengan Thomas, saat ditemui di Kampus UI, Salemba, pekan lalu.

Bagaimana Anda melihat penjara?

Penjara, baik manusia maupun lingkungan sosialnya, sebenarnya mencerminkan miniatur dari masyarakat. Di situ banyak sekali persoalan kemanusiaan, bukan cuma masalah napi kabur. Itu hanya seperti puncak gunung es. Hanya saja, penjara ini termasuk lingkungan yang tidak pernah dilihat orang atau unseen environment. Orang tidak tahu apa yang terjadi di dalamnya.

Penjara itu sebenarnya merupakan sebuah lingkungan yang unik. Unik, karena terdiri atas manusia dari golongan yang beragam, kaya, miskin, suku, maupun agama. Unik, karena penjara itu mirip gabungan organisasi ketentaraan dengan rumah sakit jiwa. Mirip tentara karena setiap orang diperlakukan seragam. Mirip rumah sakit jiwa karena lingkungan penjara merupakan lingkungan yang antitesis terhadap kebebasan orang bertindak. Ini menyebabkan derita psikologis yang lebih berat daripada hukuman fisik.

Orang dipenjara itu kan kehilangan kemerdekaan. Begini saja, Anda mengikuti kuliah jika lebih dari dua jam pasti sudah gelisah. Mereka setiap hari berada di dalam sekat-sekat. Itu pasti membosankan. Belum lagi hilangnya komunikasi dengan orang yang mempunyai hubungan emosional. Ini berakibat macam-macam; cepat marah, kehilangan kreativitas, kehilangan semangat, apatis, dan perilaku berpura-pura.

Di sisi lain, ada petugas LP berkuasa yang menekankan pada pendekatan keamanan, bukan pembinaan. Karena memang yang dibutuhkan di dalam penjara pendekatan keamanan. Kenapa? Karena kalau ada narapidana yang ribut-ribut atau lari, dia ditegur atasan. Tapi, kalau salah pembinaan, dia tidak kena masalah.

Di dalam LP, ada hubungan simbiosis mutualisme dan diskriminasi di dalam relasi antara napi dan petugas. Ini terjadi karena dua kepentingan tadi, napi ingin mengurangi penderitaannya. Ia menyogok. Petugas memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya.

Bukankah memenjara adalah memasyarakatkan?

Di dalam implementasinya, tidak jalan. Kalau lihat gambar tadi, itu kan pindang.

(Sebelum memulai perbincangan, Thomas memperlihatkan foto-foto situasi dan kondisi LP. Penuh sesak. Di siang hari, napi berserak di mana-mana, hampir di setiap sudut dan ruang terbuka di areal LP. Di malam hari, mereka tidur berbaring seperti ikan pindang yang berjejer. Tak ada sedikitpun sisa ruang untuk mengubah posisi anggota badan.

Kamera Thomas juga sempat menangkap gambar napi yang tidak kebagian tempat di lantai. Napi itu terpaksa tidur bergelantung pada kain sarung yang diikatkan di jeruji sel. Ada pula yang tidur di atas tembok pemisah kamar mandi. Yang satu ini tentu membutuhkan keahlian khusus karena lebar tembok tak lebih dari 30 sentimeter.)

Jadi, bagaimana?

Konsep pemasyarakatan itu diperkenalkan oleh Saharjo, ada 10 prinsip pemasyarakatan. Yang paling bagus, menurut saya, adalah bagian yang menyebutkan negara tidak boleh membuat seseorang lebih jahat atau lebih buruk dari sebelumnya. Artinya, di dalam kacamata negara, napi adalah sumber daya. Napi itu tidak boleh menganggur.

Tapi, itu kembali lagi antara das solen dan das sein yang sangat berlainan. Petugas dihadapkan oleh ketakutan napi akan berantem dan sebagainya, petugas tidak bisa berpikir kreatif.

Di Australia, pembuatan pelat nomor dikerjakan napi. Mereka menyediakan jasa pencucian untuk rumah sakit. Di tempat kita, pada zaman Belanda, kita punya yang semacam itu. LP di Yogyakarta dengan sepatu kulitnya, di Bandung ada usaha percetakan, di Cirebon ada baju. Sekarang tidak bisa karena masalah daya saing.

Beberapa waktu lalu memang ada pengusaha di LP Cipinang yang membuat peternakan ayam. Di penjara, banyak orang potensial yang punya akses ke mana-mana. Tetapi, kenapa ini tidak dilakukan, kembali lagi karena kreativitas petugasnya tidak ada.

Kalau kita tarik ke masalah komitmen, ini yang susah. Kebanyakan orang masuk ke Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) karena tidak ada pilihan lain. Ditanya kalau ada pilihan pindah ke bagian lain, 70 persen mengatakan ya, ingin kerja di bidang lain. Jadi, yang tidak betah di LP tidak hanya napinya, petugasnya juga. Kalau orang bekerja sudah tidak betah, integritasnya... ya sudah. Yang penting apa adanya.

Namun, konsep ini seharusnya tidak hanya dilihat dari dalam LP saja. Itu juga harus terkait dengan polisi, jaksa, hakim, dan LP sebagai bagian dari criminal justice system. Tetapi, semuanya berjalan sendiri-sendiri. Polisi bertindak mengacu pada UU Kepolisian, buat dia makin cepat menangkap orang makin baik. Jaksa dengan UU Kejaksaan, hakim dengan UU Kekuasaan Kehakiman. LP dengan UU Pemasyarakatan.

Mengapa terjadi?

Karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang memayunginya tidak menjelaskan tujuan atau filosofi dari pemidanaan/hukuman. Hanya dikatakan, barang siapa begini dikenai hukuman sekian tahun. Padahal, tujuan hukuman itu mendasar.

Sebenarnya, konsep pemasyarakatan itu kuncinya di hakim. Dia yang memutuskan seseorang masuk ke LP. Padahal, kenapa harus selalu dimasukkan ke sini sampai pelanggar perda yang dihukum dalam hitungan hari pun juga dipenjara.

Di luar negeri, seorang pengutil dijatuhi hukuman 60 hari. Namun, ia diperbolehkan memilih apakah akan melakoni hukuman tersebut atau memakai baju dari kardus, seperti Kick Andy yang ditulisi I’m thief atau saya pencuri. Ini untuk memberi rasa jera.

Di dalam RUU KUHP yang baru, tujuan pemidanaan disebutkan untuk pemasyarakatan. Kalau ini gol, diharapkan polisi, jaksa, dan hakim tahu apa itu pemasyarakatan.

Reformasi

Persoalan mengenai narapidana memang diakuinya sangat kompleks. Lelaki yang akrab dengan lingkungan penjara itu (sejak belia memang sudah sering berkunjung ke penjara) mengatakan, perlu ada reformasi di bidang pemasyarakatan. Mengenai dari mana reformasi dilakukan, perbaikan dilakukan secara simultan. Internal pemasyarakatan diperbaiki, KUHP juga perlu diperbaiki. Apabila tidak, kata dia, akan seperti bayi prematur karena induknya belum diperbaiki.


ditulis oleh Media KOMPAS 19 Mei 2007


0 komentar:

Posting Komentar