Minggu, 06 Mei 2007

SURAT NAPI kepada MENTERI HUKUM dan HAM RI

Jakarta, 25 April 2007

Nomor : 01/NAPI-JB-RR/IV/07
Lampiran : Deklarasi Pembentukan NAPI
Hal : Pemberian hak narapidana secara jujur sekaligus mengurangi populasi Lembaga Pemasyarakatan.

Kepada Yth
1. Menteri Hukum dan HAM RI
2. Komisi III DPR RI

Dengan hormat.

Sebagaimana diberitakan media massa akhir-akhir ini, penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) di kota-kota besar Indonesia dewasa ini, jauh melebihi kapasitas. Pada saat bersamaan, pelayanan yang buruk, membuat penjara menjadi rawan penyakit. Bahkan seperti yang banyak ditulis belakangan ini, masuk penjara indentik dengan “menjemput maut.”

Rutan Salemba dan LP Cipinang, termasuk diantara yang terparah. Di Rutan Salemba, kapasitas yang tidak sampai 1.000 orang, sudah dihuni lebih dari 3.200 orang. Tidak ada jalan lain, bahwa tahanan dan narapidana terpaksa tidur di emperan blok. Hal yang sama terjadi di LP Klas I Cipinang, kapasitas yang hanya sekitar 1.500, sekarang sudah dihuni lebih dari 4.000 orang.

Dengan telah diratifikasinya Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan mengingat bahwa penataan HAM di Indonesia justru berada di departemen yang sama dengan yang mengurus LP, seharusnya, penataan pemasyarakatan di Indonesia bisa lebih lugas dilaksanakan, supaya kondisi LP seperti diatas dapat dicarikan solusi yang tepat dan nyata, agar sesuai dengan ketentuan HAM.

Pembenahan kondisi penjara di Indonesia dewasa ini, tidak bisa terlepaskan dari terjadinya pengebirian hak-hak narapidana yang selama ini secara sadar dilakukan oleh para petinggi penjara. Maka pembenahan yang pertama dan utama harus dimulai yaitu mengembalikan hak-hak narapida yang sudah dijamin Undang-undang. Tanpa pembenahan hak-hak tersebut, pembenahan fisik (kualitas hunian) tidak akan berguna.

Bukti paling nyata pengebirian hak narapidana, adalah pengaturan Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Pembebasan Bersyarat (PB), yang justru bertentangan dengan Undang-Undang 12/1995. Paradigma kebijakan Asimilasi, CMB dan PB sekarang ini, adalah “memelihara napi selama mungkin di penjara.”

Sebelum tahun 1999, perhitungan waktu PB sangat sederhana, yaitu 2/3 (duapertiga) hukuman, kemudian dikurangi dengan remisi. Persyaratan yang sama, dianut oleh UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Sesuai Penjelasan Pasal 14 UU 12/1995, syarat untuk memperoleh PB adalah: “Masa pidana yang telah dijalani untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidana.”

Namun, kemudian, SK Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 1999 (2 Februari 1999), menambah syarat untuk mengajukan PB, menjadi: “Untuk menjalani PB, narapidana telah menjalani 2/3 dari masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari sembilan bulan.”

Implikasi perhitungan ini, maka 1/3 masa tahanan menjadi hilang, dan 1/3 remisi menjadi hilang. Hal tersebut tidak masuk akal, sebab antara masa tahanan dan masa pidana, secara de facto, sesungguhnya tidak ada perbedaan. Dan lebih tidak masuk akal lagi, remisi (pidana yang tidak perlu dijalani), sudah diberikan, namun dikurangi lagi 1/3 dari jumlah remisi.

Bagi seorang tahanan ataupun narapidana, tidak ada perbedaan antara ditahan oleh aparat Kepolisian atau Kejaksaan, maupun dipenjara dalam LP. Kedua-duanya mengandung implikasi bahwa yang bersangkutan dibatasi hak untuk bergerak. Karena itu maka tidak selayaknya dibedakan antara ditahan sebelum ataupun setelah putusan pengadilan (yang memperoleh kekuatan hukum tetap). Kedua-duanya harus diperhitungkan sebagai masa penahanan/pidana. Dan karena itu pulalah, maka seharusnya perhitungan PB dimulai sejak yang bersangkutan ditahan, bukan sejak ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal tersebut juga berlaku bagi CMB.

Maka jelas, SK Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 1999 yang secara nyata telah bertentangan dengan UU 12/1995, menyebabkan sedikitnya empat kerugian nyata:

  1. Menyebabkan kerugian negara, karena negara harus menyediakan makanan dalam jangka waktu yang lebih lama.
  2. Membuat penghuni LP/Rutan menjadi banyak, sehingga melampaui kapasitas.
  3. Merugikan napi.
  4. Bertentangan dengan Hak Asasi Manusia

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap SK Menkeh M.01.PK.04-10 1999, yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 12/1995. Metoda perhitungan PB, hendaknya dihitung sejak ditahan, dengan formulasi menjadi sebagai berikut:

Pelaksanaan PB = (2/3 x Hukuman) – Remisi

Sesuai dengan Keppres Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, Pasal 4 Ayat (2) Huruf b, remisi pada tahun kedua adalah adalah tiga bulan. Hal ini dihitung menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) pada Keppres yang sama, yakni, dihitung sejak tanggal penahanan sampai dengan hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus tahun bersangkutan.

Praktek yang terjadi sekarang: Narapidana dianggap memasuki tahun kedua, apabila sudah pernah mendapat Remisi 17 Agustus pada tahun sebelumnya. Di sini letak perbedaan penafsiran. Menurut Keppres dihitung sejak ditahan, dalam pelaksanaan bukan sejak ditahan.

Permasalahan ini, yaitu perbedaan antara yang secara jelas tertulis dalam Keppres 174/1999, dengan praktek yang terjadi di lapangan, harus segera diatasi.

Sangat dirasakan bahwa dari pejabat Ditjen Pemasyarakatan, ada resistensi terhadap kebijakan yang mengupayakan pengurangan penghuni penjara. Upaya mereka, sadar tidak sadar, justru berusaha agar narapidana berada selama mungkin di penjara. Ini pulalah yang mungkin menyebabkan, bahwa sekarang ini sudah diterapkan kebijakan mengurangi masa PB dengan sepertiganya dari masa hukuman (atau sepersembilan dari dari masa hukuman). Dengan kebijakan ini, maka masa PB bukan lagi 1/3 (atau 3/9) dari masa hukuman, tetapi menjadi hanya 2/9.

Peraturan tentang kebijakan didasari Surat Edaran Dirjen, sedangkan dasar aturan tentang PB adalah Pasal 15 KUHP dan Pasal 14 Ayat 1 Huruf K Undang-Undang 12 tahun 1995 serta PP 32 tahun 1999. Walaupun kemudian Surat Edaran tersebut telah diangkat menjadi PP 28 tahun 2006, yang tetap menjadi pertanyaan bagaimana Surat Edaran Dirjen yang kemudian dikukuhkan menjadi PP bertentangan dengan KUHP dan Undang-Undang?

Dalam memperingati Hari Pemasyarakatan pada tanggal 27 April 2007, pembenahan LP-Rutan di Indonesia, harus dimulai dari pemberian hak-hak narapidana yang sesuai dengan Undang-undang. Jika hal tersebut sudah terpenuhi, barulah pembenahan fisik bisa membawa manfaat.

Demikianlah yang dapat kami sampaikan, dengan harapan akan menjadi perhatian dan ditindaklanjuti secara nyata.

Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Prof Dr Rahardi Ramelan MSc.ME
(Juru Bicara NAPI)

Tembusan:
1. Menko Polkam RI
2. DirJen Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM
3. Pengurus NAPI

Alamat : Jl. Bungur Raya No.9 Harjamukti Cimanggis Depok 16954 Tel. (62-21) 873 4709 Fax : (62-21) 873 0105


2 komentar:

Salam,

Pak Rahardi atau pak Jubir NAPI, sepertinya kita dan juga stakeholder yang lainnya perlu mendiskusikan masalah penjara di Indonesia ini secara lebih serius dan berimplikasi pada kebijakan. Saya lihat komitmen pak Rahardi cukup besar untuk masalah ini, dan begitu juga dengan banyak pihak yang lain. Namun kita sama-sama tahu rendahnya komitmen pemerintah untuk mengatasi hal ini.

Salam

Terima kasih pak IQRAK, segera kita melakukan konsilidasi... & terima kasih telah mengunjungi website kami...
SALAM NAPI

Posting Komentar