Minggu, 20 Mei 2007

LEMBAGA PEMASYARAKATAN bukan PENJARA


PEMASYARAKATAN
Rahardi Ramelan

Dipicu oleh kenyataan bahwa banyak narapidana yang meninggal dunia di dalam lembaga pemasyarakatan atau LP akhir-akhir ini banyak dibicarakan berbagai masalah keadaan LP.

Berkembangnya produk perundangan untuk mengawal jalannya pembangunan menimbulkan juga beragamnya tindakan yang bisa dipidanakan. Dalam pelaksanaan pidana ini, kita bersumber pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946, yang telah dikuatkan dengan UU No 73/1958 yang dikenal dengan nama "Wetboek van Straftrecht". Sejak tahun 1946 telah menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP serta telah mengalami perubahan dan pengembangan sesuai dengan dinamika pembangunan hukum.

produk hukum baru telah membawa implikasi luas bagi mereka yang terkena pidana dan harus menjalankan hukuman penjara. LP yang tadinya disebut penjara bukan saja dihuni oleh pencuri, perampok, penipu, pembunuh, atau pemerkosa, melainkan juga ditempati oleh pemakai, kurir, pengedar dan bandar narkoba, serta penjudi dan bandar judi. Selain itu, dengan intensifnya penegakan hukum pemberantasan KKN dan white collar crime lainnya, penghuni LP pun makin beragam, antara lain mantan pejabat negara, direksi bank, intelektual, profesional, bankir, pengusaha, yang mempunyai profesionalisme dan kompetensi yang tinggi. Penghuni LP pun menjadi sangat bervariatif, baik dari sisi usia maupun panjangnya hukuman dari hanya tiga bulan sampai hukuman seumur hidup dan hukuman mati.

Spektrum penghuni LP yang sangat luas, baik dari kejahatan, latar belakang, profesionalisme, usia, maupun lamanya hukuman, menyebabkan pengelolaan LP pun menjadi sangat kompleks dan memerlukan penyesuaian ataupun perubahan.

Pemasyarakatan

Sistem kepenjaraan kita yang sebelumnya menganut berbagai perundangan warisan kolonial, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan UUD 1945, telah berangsur diubah dan diperbaiki. Pemikiran baru mengenai fungsi hukuman penjara dicetuskan oleh DR Sahardjo pada tahun 1962 dan kemudian ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 April 1964 dan tercermin di dalam UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan telah dihapus dan diubah dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, di mana sistem pembinaan bagi narapidana telah berubah dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan.

Dari "rumah penjara" menjadi "lembaga pemasyarakatan" bukan semata-mata hanya secara fisik mengubah atau mendirikan bangunannya saja, melainkan yang lebih penting menerapkan konsep pemasyarakatan. Desain fisik LP baru justru berbeda dengan konsep pemasyarakatan. Perlu diresapkan yang disampaikan Hazairin dalam bukunya, Tujuh Serangkai Tentang Hukum: " …hidup dalam penjara walaupun dalam penjara yang super modern adalah hidup yang sangat menekan jiwa, pikiran, dan hidup kepribadian".

Pertanyaannya adalah apakah pelaksanaan UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan dengan berbagai peraturan pelaksanaannya telah sesuai dengan pemikiran mulia tahun 1964 dan pesan moral UUD 1945? Apalagi akhir-akhir ini, dengan makin dirasakannya kesemrawutan baik sistem maupun proses peradilan kita, seperti suap, pemerasan, kekerasan, "mafia" peradilan, tebang pilih, dan intervensi politik, telah menimbulkan keraguan apakah mereka yang berada di LP adalah yang benar-benar harus dipidana?

Pemidanaan

LP adalah muara dari proses peradilan. Penahapan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa institusi yang terpisah dan independen harus diartikan agar tercipta proses check and balance dalam pelaksanaannya. Namun, kenyataannya proses check and balance sekarang ini tidak berjalan semestinya.

Ketidakjelasan proses peradilan dan politik menyebabkan sebagian penghuni LP bukanlah mereka yang seharusnya menjalani hukuman dan akhirnya menjadi beban LP. Minimalnya anggaran menyebabkan setiap tempat penahanan berusaha untuk mendapatkan penghuni "jelas", untuk bisa membiayai keperluan institusinya dan menjadikan mereka sebagai "sumber pendanaan". Terpidana tidak saja berada di LP, tetapi juga berada di tahanan Kejaksaan Agung dan kepolisian. Di sisi lain, LP juga dijejali dengan tahanan, baik dari kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Keadaan demikian makin memperparah keadaan di LP dan semakin menjauhkan LP dari cita-cita sebagai "lembaga pemasyarakatan".

Keterbatasan anggaran menjadikan sebutan "hotel prodeo" hanya tinggal istilah, hampir semua proses ada ongkosnya. Pembangunan LP baru, walaupun kelihatan modern, sudah jauh meninggalkan konsep "lembaga pemasyarakatan". Lembaga pemasyarakatan haruslah diartikan bukan hanya dari segi fisiknya belaka, melainkan juga dari sisi pembinaannya secara utuh.

Hak-hak narapidana sesuai dengan perundangan dan peraturan yang ada perlu ditinjau kembali pelaksanaannya agar sesuai dengan falsafah dan konsep pemasyarakatan yang kita anut.

Dalam menjalankan proses "reintegrasi sosial", narapidana mempunyai hak untuk mendapatkan cuti mengunjungi keluarga (CMK), asimilasi, pembebasan bersyarat (PB), dan cuti menjelang bebas (CMB), tetapi kenyataannya proses dan administrasi mendapatkan hak-hak tersebut ruwet serta memakan waktu dan ongkos. Dengan demikian, pelaksanaannya terhambat, misalnya di LP Cipinang dalam dua tahun terakhir ini hampir tidak ada yang menjalankan hak asimilasi. Untuk terpidana kasus-kasus tertentu, hak-hak narapidana seperti di atas, termasuk remisi, telah dikebiri lagi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006, tanggal 28 Juli 2006.

Langkah yang mendesak untuk dilakukan dalam waktu dekat untuk memperbaiki keadaan LP adalah mengurangi huniannya. Pertama, memberikan segera hak PB dan CMB pada waktunya, tanpa prosedur yang berbelit-belit dan tanpa ongkos. Menghilangkan berbagai peraturan yang justru mempersulit pemberian hak tersebut. Kedua, segera memberlakukan hukuman berupa kerja sosial bagi terpidana di bawah 6 bulan, yang sudah sejak enam bulan yang lalu didengung-dengungkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Ketiga, meninjau kembali seluruh PP, keputusan presiden (kepres), keputusan menteri (kepmen), sampai surat edaran dirjen pemasyarakatan agar tidak bertentangan dengan UU No 12/1995. Keempat, mengevaluasi kembali desain dari LP baru.

Rahardi Ramelan Mantan Narapidana;
Juru Bicara Napi–Narapidana Indonesia
ditulis oleh Media Kompas 19 Mei 2007

1 komentar:

hak-hak narapidana memang sudah seharusnya direalisasikan seperti apa yang telah dijamin dalam undang-undang, akan tetapi jaminan pelaksanaan hak-hak narapidana tidak hanya membutuhkan aturan hukum secara tertulis, dibutuhkan pula kesadaran dari aparat penegak hukum untuk tidak mengambil keuntungan dari para narapidana. Dalam salah satu artikel yang saya baca, tertulis pula bahwa antara aparat penegak hukum dan narapidana terjadi simbiosis mutualisme. hal inilah yang harus dihapuskan. selain untuk menjamin terealisasinya hak-hak narapidana yang diatur dalam undang-undang, gerakan untuk meningkatkan moral aparat penegak hukum juga memiliki nilai tambah lain. dengan ditegakkannya hukum tertulis, akan menumbulkan efek jera tersendiri kepada para palaku tindak pidana karena tidak ada lagi celah bagi para pelaku tindak pidana, "dari semua kalangan", untuk lolos dari jerat hukum.

Posting Komentar