Kamis, 06 September 2007

Persatuan Narapidana Indonesia

Pidana
Mas Kopdang

Narapidana apakah bentukan katanya sama dengan narasumber? Sepertinya iya. Atau malah berbeda jauh?

Lalu Apakah Narapidana yang identik sebagai orang bertato, sampah masyarakat dapat dijadikan seorang narasumber? Kenapa tidak?

Pidana, walaupun “ada” dan “menjadi bagian dari “udara pagi-siang malam” kehidupan masyarakat Indonesia, namun aktualisasi pencitraan dirinya sungguh memprihatinkan.

Siapa yang mau datang ke kantor polisi selain bikin Surat Keterangan Berkelakuan Baik untuk syarat masuk PNS atau BUMN? Atau masuk TNI dan POLRI.

Pidana identik dengan hukuman. Dan itulah yang dialami oleh Roy Marten, Mulyana W Kusumah, dan Rahardi Ramelan. Mereka bertiga, mantan narapidana yang menginspirasikan diri mereka sendiri untuk membentuk Persatuan Narapidana Indonesia (KOMPAS hari ini).

Apakah Setiap Narapidana itu Jahat ?

Pertanyaan yang klise. Yang bertanya saja mungkin bosan, apalagi yang menjawabnya. Saya dalam hal ini melepaskan diri dari pengkutuban Pidana Indonesia, sebagai turunan dan hasil eksperimen Ahli Hukum Belanda, dengan membaginya menjadi Pelanggaran dan Kejahatan.

Bila kita kena Tilang, sesuai kepanjangannya -Bukti Pelanggaran- maka kita dianggap telah dianggap melakukan tindak pidana. Apakah kena tilang lantas kita berubah menjadi jahat?

Dan Hukum Pidana Indonesia bukanlah Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah) maupun Hukum Pidana Agama lainnya ataupun bila dikatakan Hukum Tuhan. Mengapa saya menyatakan demikian? Karena memang sumbernya sangat berbeda.

Hukum Tuhan ya asal-muasalnya dari Firman Tuhan yang disampaikan oleh Yang Mulia Para Penyampai Amanah. Sebuah dogma. Tanpa bisa ditawar. Take it or Leave it. Persis kalau belanja di Carrefour. Punya duit silahkan ambil, ndak punya silahkan minggir.

Nah, sedangkan Pidana Indonesia muncul dari kesepakatan Penyelenggara Negara dengan proses dasar penalisasi. Membuat pidana sebuah Perbuatan. Membuat Pidana Sebuah Keadaan. Bahkan membuat delik Pidana saat kita tak melakukan apa-apa.

Contohnya yang paling mudah:

Di Negara X, para pecandu psikotropika (extasy) masih dianggap sebagai korban/ victim, bukan pelaku kejahatan. Sedangkan di Indonesia, sebelum adanya Undang-undang Psikotropika di negara kita, peminum amfetamin dan ekstasi, boleh-boleh saja. Namun Lama-kelamaan dapat merusak generasi muda, maka penyelenggara negara berembug mencari solusi, maka dibuatlah proses yang disebut Penalisasi.

Membuat yang tadinya BOLEH menjadi TIDAK BOLEH.

Dalam kasus perdagangan Candu-pun seperti ini. Jaman dulu, tempat plesiran di Batavia terdapat kedai untuk menghisap candu. Qua peraturan, dulu boleh. Namun apa lacur bila kedai tersebut buka saat ini? Perbedaannya adalah dahulu boleh sedangkan sekarang sangat dilarang.

Pihak pemutus boleh-tidaknya adalah negara melalui Peraturan Perundang-undangan. Inilah yang disebut Penalisasi. Sebuah perbuatan biasa, yang diubah menjadi perbuatan pidana melalui proses pengaturan via Undang-undang.

Sehingga Pidana adalah masalah hubungan baik - ketaatan seseorang - kepada aturan yang berlaku di negara tempat seseorang tersebut berkewarganegaraan.

Singkatnya: Hubungan Hukum antara Warga Negara dan Negaranya.

… bersambung …

http://kopidangdut.wordpress.com/2007/09/06/pidana/

0 komentar:

Posting Komentar