Jumat, 07 September 2007

Hotel Prodeo Bintang Lima

Mengintip lewat celah sempit jeruji penjara. Banyak narapidana tak dimanusiakan. Ada yang mampu membeli kebebasan.

2 Oktober 1992. Penjara Carandiru berubah menjadi medan pertempuran brutal. Perang antargeng di penjara Sao Paolo, Brasil, itu mengakibatkan sembilan narapidana tewas dibantai sesama penghuni sel. Bahkan, kerusuhan meluas dan 102 pesakitan tewas mengenaskan dihujam butir timah panas polisi militer. Alih-alih mengatasi kerusuhan, polisi militer justru memberondong para napi yang kalang-kabut dan panik di balik jeruji besi.

Tragedi Carandiru tercatat sebagai kerusuhan terbesar dalam penjara yang pernah terjadi di negara sepak bola itu. Kepadatan penghuni penjara menjadi pemicu kerap terjadinya perang antargeng di dalam sel. Kejadian sepele dapat memicu ledakan kerusuhan mengerikan dalam penjara. Tragedi Carandiru dipicu saling ejek suporter sepak bola pada pertandingan antarnapi.

Akhir Juli lalu Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, juga mengalami kerusuhan serupa. Dua napi dinyatakan tewas akibat kerusuhan yang berlangsung beberapa jam tersebut. Penyebabnya juga hampir sama: saling ejek antarsuporter seusai pertandingan sepak bola dalam rangkaian peringatan hari kemerdekaan.

Setelah kerusuhan, penjara Cipinang diisolasi. Wartawan dilarang meliput dan segera digelar razia senjata tajam. Beberapa napi berbahaya dan dianggap sebagai pemicu kerusuhan dipindah ke sejumlah penjara lain. Bentrokan antarnarapidana di Blok C dan F penjara Cipinang itu bukan yang pertama terjadi. Dari sekian banyak bentrokan yang tidak terjejak media, tercatat 4 kerusuhan pernah terjadi di penjara terbesar di Jakarta itu. Dua kerusuhan di antaranya berujung maut, 9 narapidana meregang nyawa.

Dalam kerusuhan di penjara Cipinang, Selasa 31 Juli 2007, itu dua napi, Sukamat alias Munthe dan Syamsul Hidayat tewas. Narapidana penghuni Blok F penjara kelas I ini tewas dianiaya penghuni Blok C.

Penyebab utama kerusuhan itu mulai diperbincangkan orang, jauh di luar tebalnya dinding penjara. Perang memperebutkan kekuasaan di antara raja-raja kecil dalam sel? Atau kelebihan penghuni yang membuat pendek sumbu pemikiran para napi sehingga kerusuhan mudah meledak?

Alasan-alasan tersebut kemudian berpilin membentuk simpul tak beraturan yang menjadi faktor sebab-akibat keruwetan masalah dalam penjara. Simpul utama dibentuk oleh ikatan pokok sesaknya penjara karena kelebihan penghuni.

Untung Sugiono, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, mengatakan penjara di seluruh Indonesia saat ini dihuni 113.000 narapidana yang idealnya ditempati 79.000 orang. Karena keterbatasan kapasitas itu napi harus tinggal bersesakan. Sel yang seharusnya hanya untuk 7 orang terpaksa dihuni 9 orang.

"Kapasitas untuk seluruh Indonesia itu 79.000 napi. Diisi 113.000. Itu sudah melebihi kapasitas. Terutama di kota-kota besar," kata Sugiono.

Kekurangan kapasitas atau daya tampung penjara ini diakui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Matalata. Menurut dia, sesaknya penjara bukan karena semakin banyak terdakwa yang divonis dan dipenjarakan. Tiga puluh sampai 35 persen penghuni penjara adalah tahanan titipan kejaksaan ataupun kepolisian yang menunggu proses persidangan.

Untuk mengatasi sesaknya penjara yang dijejali tahanan, melalui perubahan aturan penahanan, polisi dan kejaksaan seharusnya dapat menerapkan tahanan kota untuk terdakwa yang dianggap tidak berbahaya dan tidak dikhawatirkan melarikan diri. "Susahnya sekarang masyarakat ingin menahan semua orang. Kenapa tidak diaktifkan tahanan kota? Kan ada orang-orang yang tidak mungkin melarikan diri," kata Menteri Matalata.

Departemen Hukum dan HAM kemudian memikirkan cara lain untuk mengurangi kepadatan hunian penjara. Salah satunya memberikan pengurangan masa hukuman kepada sejumlah napi yang dianggap berkelakuan baik selama dipenjara. "Korting" masa hukuman juga dijadikan departemen ini untuk mengukur keberhasilan pengurus penjara dalam membina narapidana.

"Jadi, falsafahnya bagaimana menyimpan napi tidak terlalu lama. Sama dengan sekolah. Kalau ada sekolah yang menyimpan muridnya terlalu lama, berarti sekolah itu tidak beres," ujar Andi.
Selain masalah kelebihan penghuni penjara, masalah lain yang menghantui para pesakitan adalah rendahnya pemenuhan hak hidup dasar mereka. Kondisi penjara yang tidak memperhatikan kesehatan, makanan, dan kebutuhan beribadah menjadi masalah tambahan yang membuat tembok penjara terasa semakin sesak.

Pakar hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo mengatakan pemenuhan hak hidup dasar narapidana di Indonesia masih jauh dari ideal. Hal itu disebabkan rendahnya pemahaman pegawai lembaga pemasyarakatan mengenai makna pembinaan dan minimnya anggaran negara untuk menyediakan fasilitas hak dasar para narapidana.

"Hak atas kesehatan, makanan, beribadah tidak semuanya terpenuhi secara optimal. Kalau bicara hak asasi manusia memang sangat minimum yang bisa diberikan, karena memang kondisi fasilitasnya tidak terlalu memungkinkan," kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1979 ini.

Rendahnya pemahaman sipir penjara soal pembinaan napi, ditanggapi Wilson, mantan tahanan politik rezim Orde Baru. Menurut dia, gaji sipir penjara yang rendah membuat mereka malas mengurusi kebutuhan para napi. Bahkan, untuk urusan makan, penghuni penjara harus kreatif putar otak memenuhi kebutuhan gizi.

Kebutuhan olah raga juga tidak diperhatikan. Padahal, energi berlebih para napi karena tidak berkegiatan harus disalurkan lewat cara-cara yang positif. Hal itulah yang membuat Wilson beserta tahanan politik lainnya saat itu menggerakkan kegiatan olah raga di hotel prodeo tersebut.

"Para sipir berpikir dengan yang kecil, mereka enggan bersusah payah mengurusi para napi yang galak-galak. Dengan tingkat kesejahteraan yang seadanya, mereka tidak punya semangat untuk mengurus penghuni penjara," katanya.

Rendahnya kesejahteraan sipir inilah yang juga memicu kreativitas "ngobyek" memberikan fasilitas ekstra dengan imbalan uang. Praktik ini, menurut Anton Medan, menyebabkan tingkatan atau strata penghuni penjara.

Mantan napi kelas kakap penjara Cipinang ini menuturkan, napi berduit dan mampu membayar fasilitas lebih yang ditawarkan sipir dikategorikan sebagai napi elite. Sedangkan napi kere yang tidak mempunyai banyak uang dikategorikan sebagai napi abal-abal.

Beragam fasilitas bisa didapat para napi elite, tergantung jumlah uang sogokan kepada sipir. Mulai dari sel ber-AC, televisi, prempuan, bahkan izin keluar penjara dengan alasan berobat karena sakit. "Saya bahkan bisa punya anak dengan istri saya yang tinggal di luar penjara," ujarnya. (E1)

Penulis: Angga Haksoro. Reporter: Yulianti, Fathiah Wardah Alatas, Liza Desilanhi, Kurniawan Tri Yunanto, Indah Nurmasari.

http://www.vhrmedia.com/vhr-news/bingkai-detail.php?.g=news&.s=bingkai&.e=4o



©2007 VHRmedia.com


0 komentar:

Posting Komentar