Minggu, 09 September 2007

Partai Napi

Budaya

DI ERA yang serba mungkin ini, Partai Napi Indonesia—apalagi kalau disingkat PNI,mempunyai peluang lebih bagus dibandingkan partai gurem yang cita-cita tertingginya menjadi pemasok partai lain.

Dari segi keanggotaan, Partai Napi mewakili lapisan masyarakat mana saja—nasionalis, agamais, fundamentalis, marhaenis,juga mewakili etnis mana saja tercantum dalam data.

Dari segi pengalaman jabatan,barang kali tak ada tandingannya: ada jenderal masih aktif ketika dinapikan, ada pengusaha kelas konglomerat—dari berbagai disiplin bisnis,ada pembalap kampiun,ada anak mantan presiden, ada yang pernah menjabat, bupati, wali kota, kepala daerah, seniman, pejuang, ustad,wartawan, penerima wahyu, selebritis, calon presiden, pengatur pemilihan, bendahara, atau yang dianggap extremis, teroris, sampai pengebom,copet,maling,penodong, pembunuh.Atau sebut apa saja.

Tak ada partai lain yang memiliki keanggotaan begitu beragam dan penuh pengalaman seperti ini. Perwakilan mereka juga tersebar di seluruh pelosok, dari alumni rumah tahanan negara atau lembaga pemasyarakatan, baik kelas satu, kelas dua, atau kelas persinggahan sementara, di seluruh pelosok Indonesia. Dan yang lebih menjanjikan lagi,jumlah anggotanya bertambah biak dengan sendirinya.

Kaderisasi berlaku secara otomatis dalam jumlah besar, apalagi kalau menjelang Lebaran seperti ini. Jangan dilupakan,para kader ini telah digembleng, didewasakan dengan latihan hidup,diasramakan yang bisa sama waktunya atau bahkan lebih, dibandingkan melatih calon pegawai negeri,atau calon perwira,atau calon rama sekalipun. Kalau jumlahnya masih kurang, bisa diasumsikan keluarga akan menjadi pembantu penyokong suara.

Kalau mau dihitung surut ke belakang,aha,jumlahnya lebih menggiurkan.Dihitung dari tahun 1965 saja—di mana kadang mereka ini tak mendapat predikat napi karena ditahan tanpa sidang pengadilan, jumlahnya sudah melebihi standar untuk berorganisasi. Apalagi yang dianggap ”pemberontak” bukan hanya tahun itu. Masih bisa ditambahkan, dari segi keanggotaan, bisa dengan mudah membentuk cabang-cabang di luar negeri,karena selama ini napi—atau mantan napi, ada beberapa dari warga negara asing.

Sumber daya manusia yang betul-betul mengalami langsung ketidakadilan, ketidaknyamanan, ketidakberdayaan, merupakan modal besar untuk berani mati sekali pun. Dengan kata lain, ”PNI front residivis”, secara struktural,secara natural,juga secara akal sehat bisa menjadi partai yang akan menggeliat, bahkan mungkin menyengat.

Apalagi untuk simbol sudah sangat memasyarakat: kaos garis-garis simbol jeruji besi,warna biru kusam—seragam napi kalau masuk televisi (sehari-hari mereka berpakaian biasa), dengan lagu wajib ”Napi juga manusia”, atau ”Chain of Love” sampai ”Green-green Grass of Home”, mudah dihafal disenandungkan ” makan nasi jagung/badan terkurung…”

Di era reformasi yang kadang lupa basa- basi ini, kalau secara perorangan belum diizinkan,Partai Napi bisa mewakili. Di era di mana bentuk-bentuk dan cara berkomunikasi lebih mengedepankan aksi dibandingkan misi-visi, peluang ”PNI”lebih menarik perhatian.
Apa lagi kalau berandai-andai, partai ini belum tentu lebih buruk dari partai nonnapi.

Paling tidak, lebih berpengalaman untuk tidak membuat skandal ala katro,culun, dan abal-abal karena mereka ini jawara, abang-abang, brengos, bos, yang lolos dari ketidaknyamanan. Bisa terjadi begitu. Bisa terhenti dengan memperhatikan dan memperjuangkan hak-hak para napi,seperti yang diprakarsai para tokoh,para mantan napi yang baru saja membuat deklarasi. Hak-hak sederhana untuk menempati ruangan,untuk mandi, untuk ”hajat besar”, untuk ”memperbaiki diri”, untuk mendapatkan remisi, atau hak merasa aman.

Hak yang seharusnya tetap ada,karena hukuman yang dijalaninya bukanlah meniadakan hak itu. Ini upaya menawan yang bisa menyentuh para simpatisan—tak usah dari keluarga atau dari mantan, karena tujuannya memperjuangkan kemanusiaan. Baik dari tata krama maupun tata nilai yang perlu selalu diingatkan.Semua ini bisa dilakukan dengan ”aman, lancar, terkendali”, dalam suasana yang ”kondusif”, dan ”diinformasikan”kepada pihak- pihak yang bertugas menangani, membimbing, meneladani.

Berikan kesempatan kepada mereka yang telah mengalami realitas empiris untuk melakukan sesuatu yang bisa membantu. Ini merupakan sisi emas, dengan menapikan mereka. Ini sisi terbaik yang terjadi di lembaga pemasyarakatan— yang bahkan tidak dianggarkan atau direncanakan. Selalu lebih nyaman berhubungan dengan mantan napi—karena ia telah meninggalkan kejahatan apapun yang dilakukan, dibandingkan dengan calon napi—yang masih menjalankan kejahatan tapi belum dibuktikan.(*)

Arswendo Atmowiloto
Pengamat Budaya
MANTAN NAPI JUGA



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/budaya/partai-napi-2.html

0 komentar:

Posting Komentar