PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Team Futsal Narapidana Indonesia

Buktikan Sportivitasmu dan Buktikan Kamu Mampu, Semboyan olaharaga Narapidana Indonesia dalam rangka Pembinaan Kepribadian

Sabtu, 29 Maret 2008

Fosil Maharana, Forum Berkumpul Para Mantan Penghuni Bui

Dicibir Masyarakat, Dinilai Organisasi Bromocorah

Tak banyak orang yang bisa mengerti curahan hati para mantan penghuni penjara. Hanya mereka yang senasib yang bisa memaknai curahan hati tersebut. Itulah salah satu maksud pendirian Fosil Maharana, tempat berkumpul eks napi dan tahanan di Jatim.

WADAH berkumpul itu diberi nama Forum Sillaturahim Mantan Tahanan dan Narapidana (Fosil Maharana). Sesuai namanya, forum itu menjadi tempat bersilaturahmi. Wadah untuk menampung komunikasi, curahan hati, unek-unek, dan semacamnya.

Para mantan penghuni bui, tampaknya, memang begitu membutuhkan kehadiran forum tersebut. Barangkali, hanya rekan-rekan senasiblah yang bisa memahami keluh kesah sesamanya. Karena itu, meski belum genap dua tahun didirikan, anggota Fosil Maharana Jatim sudah mencapai 15 ribu orang. Mereka tersebar di 38 kabupaten dan kota. Klaim tersebut diungkapkan Jumanto, ketua Fosil Maharana Jatim.

Memang, Fosil Maharana Jatim lahir dari buah pikir Jumanto, mantan ketua Komisi A DPRD Kabupaten Probolinggo, yang pernah dipenjara lantaran menipu senilai Rp 20 juta. Jumanto memang paham betul penderitaan yang harus ditanggung orang-orang yang mendekam di tahanan hingga lembaga pemasyarakatan (lapas).

Bagi dia, kesusahan menjadi narapidana tidak sekadar ketika disidang dan dipenjara. Saat awal menjalani proses hukum, seorang tersangka sudah mendapatkan banyak tekanan. Bukan hanya bentakan. Bisa jadi, ada "sentuhan" fisik yang menyisakan rasa sakit. "Ada anggota forum yang cacat kaki karena ditembak," ungkap Jumanto.

Padahal, saat itu, tersangka tidak sedang melarikan diri dan dalam kondisi tangan terikat. Menurut dia, penembakan tersebut dilakukan dari jarak dekat dan bukan buah dari sebuah saling kejar aparat dan tersangka. Ungkapan penembakan karena tersangka melarikan diri, menurut dia, tidak benar.

Bahkan, dia menemukan anggotanya yang urat kakinya sengaja dipotong karena tidak menuruti keinginan aparat. "Akibatnya, kakinya pincang dan tidak bisa berjalan seperti sedia kala," tegasnya.

Kesulitan tidak sampai di situ. Saat bebas, mereka juga harus menanggung beban sosial. Sebab, status narapidana masih dipandang sebelah mata. Kebanyakan warga memberikan sorotan miring dan menyudutkan hingga akhirnya mereka dikucilkan.

"Padahal, hukuman penjara yang telah dijalani adalah balasan atas perbuatannya. Tapi, kami harus menanggung beban sosial saat kembali ke lingkungan kami," ujarnya.

Karena sorotan miring itu, keluarga dan anak-anak menjadi tidak pede ketika harus sekadar menyapa tetangga sekitar. Yang lebih menyedihkan, kata dia, anak-anak ikut menanggung beban tersebut. Akibatnya, pada masa-masa yang seharusnya riang bermain, anak malah enggan berbaur dengan teman sebayanya. "Tidak sedikit pula yang tidak mau bersekolah karena menjadi olokan teman-temannya," katanya.

Bukan hanya itu, mantan narapidana juga menanggung beban ekonomi yang tidak ringan. "Kalau kepala keluarga dipenjara, biasanya keluarganya hidup dari utang ke sana kemari," jelasnya.

Saat bebas itulah, utang menggunung dan selalu dikejar untuk segera melunasi. Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang menolak kehadiran narapidana. Dampaknya, dia tidak memiliki teman untuk sekadar mengobrol.

Nah, dalam forum itulah mantan narapidana yang termarginalkan memiliki komunitas yang mau menerima status yang disandang secara apa adanya.

Demikian pula terkait dengan masalah pekerjaan. Kata "sangat sulit", menurut Jumanto, sangat tepat untuk menggambarkan keadaan mereka. Sebab, orang cenderung tidak percaya kepada mantan narapidana. Sebenarnya, ada peluang untuk wiraswasta, tapi jelas tidak mungkin. Sebab, meski memiliki keterampilan, mereka tidak memiliki modal dan lahan pekerjaan yang bisa menampung. "Karena itu, kami minta perhatian anggota dewan sebagai wakil rakyat," kata mantan penghuni Rutan Kraksaan, Probolinggo, tersebut.

Memang, saat ini, Jumanto dan forum bentukannya sedang sibuk berat. Mereka road show ke beberapa instansi dan lembaga penegak hukum di Surabaya. Selain memaklumkan forum itu, Jumanto dkk mengadukan nasib mereka yang kurang beruntung sebagai eks napi.

Kemarin (5/3), mereka bertamu ke Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM (Kanwil Depkumham) Jatim Wahyu Widodo. Selain itu, mereka menyambangi Dinas Sosial. Tak ketinggalan, Jumanto dan anggotanya berkunjung ke sejumlah media massa di metropolis. "Hari ini (kemarin, Red), kami ke salah satu televisi swasta," jelasnya.

Sebelumnya, Selasa (4/5), mereka mengawali lawatan ke DPRD Jatim dan Kodam V Brawijaya.

Tentu, mereka tampil rapi jali saat bertamu. Mantan terpidana tersebut mengenakan batik plus celana kain. Beberapa di antaranya memakai sepatu mengilap. Mereka seolah ingin membuktikan bahwa status eks tahanan tak membuatnya berbeda dari manusia lainnya.

Bagi Jumanto, forum bentukannya tersebut memang bukan lahan main-main. Dia sangat getol memperjuangkan hak-hak kaum yang kerap disisihkan itu. "Saya pernah merasakan kesusahan yang mereka rasakan," tegasnya.

Karena itu, Jumanto sangat paham proses penahanan, pemeriksaan, serta penuntutan yang dihadapi para tahanan. Termasuk, kejanggalan-kejanggalan dalam tiap proses hukum yang dilalui para penghuni penjara. Pun, persoalan diskriminasi yang dihadapi mantan narapidana saat mereka kembali ke masyarakat. "Dari pengalaman pribadi dan keluhan teman-teman itulah ide pembentukan Fosil Maharana muncul," ujar pria yang pertama masuk rutan pada 2 Juli 2006 tersebut.

Selama sebulan di rutan (Jumanto bebas pada 3 Agustus 2006), pria berusia 42 tahun itu terus berpikir mewujudkan ide pendirian forum tersebut. Cita-cita itu baru bisa diwujudkan pada 20 Agustus 2006. Beberapa mantan tahanan dan napi sepakat mendirikan organisasi sebagai sarana komunikasi untuk eks penghuni terali besi. Sebulan kemudian, 3 September 2006, pendirian Fosil Maharana dideklarasikan secara resmi.

Perjuangan pendirian forum itu dimulai ketika Jumanto bebas dari tahanan. Begitu keluar tahanan, ide itu pun diutarakan kepada beberapa mantan tahanan dan napi di Probolinggo. "Saya kumpulkan teman-teman di rumah saya," ungkapnya.

Waktu itu, banyak warga yang mencibir dan menentang tindakan Jumanto. Bahkan, ada yang terang-terangan menyatakan tidak senang atas upaya dirinya mendirikan forum tersebut. "Ada juga yang bertanya dengan nada kasar kepada saya, untuk apa mengumpulkan para bromocorah (penjahat, Red)?" ujarnya.

Tapi, cibiran dan tantangan tersebut tidak menyurutkan langkah Jumanto dan teman seperjuangannya. Lama-kelamaan, eksistensi mereka pun diakui masyarakat. Berbagai kegiatan positif telah mereka lakukan. Misalnya, pengajian dan kunjungan ke lapas atau rutan.

"Kegiatan kami sempat menurun saat saya kembali ditahan dan diadili pada kasus yang sama pada 25 Januari tahun lalu hingga awal tahun ini. Tapi, tidak vakum," tegas pria yang baru menghirup udara bebas pada 26 Februari 2008 tersebut.

Demi penataan, organisasi itu berupaya melegalkan diri. Mereka lantas punya Akta Notaris No 16 Tahun 2007. "Supaya kami tidak dianggap hanya mencari keuntungan," kata Jumanto.

Karena tidak profit oriented, para pengurus maupun anggota pun harus rela tidak mendapatkan apa-apa. Mereka justru sering mengeluarkan dana untuk kunjungan ke rutan maupun lapas atau lawatan-lawatan lain. "Alhamdulillah, ada donatur yang memberi sumbangan. Kadang kami juga patungan," ujarnya.

Abdul Rahman, mantan tahanan kasus penganiayaan, membenarkan pernyataan tersebut. Bahkan, dia menuturkan, jika hanya ingin mencari keuntungan, para mantan tahanan atau napi tidak perlu masuk Fosil Maharana. "Ini murni forum yang bertujuan memperjuangkan hak-hak para penghuni penjara maupun mantan penghuni," tegasnya.

Kemarin, mereka menyampaikan keluhan dari para penghuni penjara tentang masalah overload. Gara-gara kelebihan kapasitas, para tahanan maupun narapidana harus berdesak-desakan di dalam penjara. Mereka tidak lagi mendapatkan hak sebagai manusia. Bahkan, ancaman terkena penyakit karena lingkungan yang tidak sehat pun menghantui mereka.

Selain memperjuangkan hak para penghuni penjara dan mantannya, mereka mengadakan kegiatan yang bertujuan menghibur para tahanan di penjara. "Mulai bulan depan, kami mengadakan tur keliling rutan dan lapas," kata Trias Susiana, wakil ketua Fosil Maharana.

Bekal yang bakal dibawa untuk tur tersebut adalah orkes Maharana Rock Dangdut. Orkes yang seluruh personelnya mantan tahanan dan narapidana itu bakal menyuguhkan lagu-lagu untuk para penghuni penjara. Di sela-sela pentas, Fosil Maharana tentu akan memberikan nasihat bagi para penghuni. Mereka berprinsip, nasihat akan lebih mengenai melalui musik. "Kalau melalui cara keras, nasihat tidak bisa sampai," jelas mantan napi kasus narkoba tersebut.

Bukan hanya musik yang dimiliki Fosil Maharana. Saat ini, pengurus organisasi itu pun sedang fokus memaksimalkan divisi pemantau peradilan. Divisi tersebut bertujuan memantau proses hukum yang sedang dijalani penghuni penjara. Dengan demikian, bila ada penanganan hukum yang tidak beres, hal itu bisa diketahui. "Kami juga membuka pos pengaduan di tiap daerah untuk menampung keluh kesah para pesakitan," kata Komari, mantan napi narkoba yang dihukum setahun penjara.

Dalam waktu dekat, forum yang telah memiliki perwakilan di 38 kabupaten/kota di Jatim tersebut membuka usaha yang ditujukan bagi para anggotanya. Hal itu dilakukan untuk mengatasi kesulitan para mantan tahanan dan narapidana dalam mencari pekerjaan setelah mereka bebas. "Mantan napi sulit mencari kerja karena perusahaan selalu melihat catatan perbuatan kita. Jarang perusahaan yang mau menerima pekerja mantan napi," tegas Nurul Wahid, mantan napi kasus penipuan.

Memang, Fosil Maharana ingin membebaskan jeruji besi yang seolah-olah masih terus membayangi hidup para mantan narapidana dan tahanan. Lewat forum itu, mereka ingin memberikan kemerdekaan sejati bagi orang-orang yang telah membayar kesalahannya. (dos)


http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=329175



Senin, 24 Maret 2008

Fosil Maharana Kunjungi Lapas

PROBOLINGGO - Setelah mengunjungi Rutan Kraksaan, beberapa waktu lalu. Kemarin, Forum Silaturahmi Mantan Tahanan dan Narapidana (Fosil Maharana) Jawa Timur mendatangi lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Kota Probolinggo.

Sama seperti tur sebelumnya, Fosil Maharana menghibur para tahanan dengan menggelar dangdutan di lapangan voli lapas kota. Ratusan penghuni lapas yang lama tidak menikmati hiburan, langsung tumplek blek memenuhi tempat acara.

Mereka terlihat menikmati alunan musik dangdut. Sebagian asyik berjoget di tengah teriknya sinar matahari. Sementara lainnya memilih menikmati lagu dangdut dengan mengggoyang-goyangkan kaki atau mengangguk-anggukkan kepala.

Hadir dalam acara tersebut, Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Edy Sutrisno mewakili wali kota, Kasat Reskrim Polresta Probolinggo AKP Hadi Prayitno, Danramil Kota Probolinggo Kapten Inf Bambang, perwakilan dari kejari dan Plh Lapas Kota Probolinggo Winarsangka.

Dalam sambutannya kemarin, pengganti Kalapas Nuruddin Musa itu mengatakan, pihaknya sangat mendukung acara tersebut, karena kegiatan Fosil Maharana juga berorientasi pada pembinaan tahanan dan narapidana. "Lapas ini kan tempat yang sangat terbatas. Jadi mereka juga membutuhkan hiburan seperti ini di dalam. Semoga kegiatan ini bisa terus diselenggarakan," ujarnya siang kemarin.

Sementara itu, Ketua Fosil Maharana Jawa Timur Jumanto mengatakan, tur silaturahmi ini memang untuk memberi pembinaan. "Kami juga ingin nyambangi teman-teman di dalam lapas. Memberikan support moral, baik untuk tahanan atau narapidana," kata mantan narapidana karena kasus penipuan ini.

Ke depan Jumanto ingin mengajak semua muspida baik di tingkat provinsi atau daerah, agar bisa ikut andil dalam memberikan pembinaan kepada para narapidana. Apalagi, mereka kebanyakan asli daerah setempat. "Ini semua menjadi tanggung jawab semua elemen. Baik masyarakat, muspida atau pemerintah," tegas mantan anggota DPRD kabupaten Probolinggo ini.

Rencananya, lanjut Jumanto, pada 2 April 2008 mendatang bakal ada deklarasi Fosil Maharana di seluruh Indonesia. "Kami juga ingin memberdayakan teman-teman agar tidak ada diskriminasi," ujarnya kepada para wartawan, kemarin.

Dia juga mengatakan, pihaknya akan memberikan bantuan hukum kepada para tahanan dan narapidana yang membutuhkan. Selanjutnya, tur silaturahmi Fosil Maharana akan digelar di lapas Bondowoso, Sabtu (29/3); lapas Lumajang, Sabtu (5/4); dan rutan Medaeng, Sabtu (12/4). (fa)

http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_radar&id=202255&c=40

Senin, 17 Maret 2008

Jumanto ke Rutan Bangil

Para Penghuni Asyik Berjoget
BANGIL - Ketua Forum Silaturahim Mantan Tanahan dan Narapidana (Fosil Maharana) Jawa Timur Jumanto kemarin berkunjung ke Rumah Tahanan (Rutan) Bangil. Kedatangan itu ia maksudkan sebagai silaturrahim organisasi Fosil Maharana dengan para tahanan di Rutan Bangil.

Jumanto tiba sekitar pukul 09.00. Di hadapan para tahanan, Jumanto menyatakan bahwa masih banyak perlakuan diskriminatif yang dialami para mantan penghuni lapas dan napi. "Padahal, mereka juga manusia yang butuh dihormati dan dihargai," katanya dalam acara yang juga dihadiri Kepala Rutan Bangil M. Usman.


Perlakuan diskriminatif itu salah satunya tercermin dari UU Pemilu yang baru disahkan beberapa waktu lalu. Di mana, dalam salah satu pasalnya melarang mantan napi menjadi anggota legislatif. Khususnya, mereka yang mendapat ancaman hukuman di atas lima tahun.

Bagi Jumanto, pemberlakukan pasal tersebut merupakan bentuk diskriminasi politik kepada para mantan napi. Celakanya, perlakuan itu dikemas dalam sebuah produk undang-undang negara.

Karena itu, pada 2 April mendatang, dirinya akan melakukan gugatan resmi kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Dirinya menuntut kepada MK agar mengkaji ulang (judicial review) pemberlakukan undang-undang tersebut. "Sebab, undang-undang itu diskriminatif dan bertentangan dengan undang-undang dasar," jelas mantan ketua Komisi A DPRD Kabupaten Probolinggo itu.

Pengajuan gugatan tersebut, menurut lelaki berkacamata itu, sekaligus dijadikan momen deklarasi Fosil Maharana di tingkat nasional.

Menurut Jumanto, yang lebih penting lagi untuk dipahami adalah tak seorangpun yang ingin melakukan tindak kejahatan. Perilaku menyimpang itu, kata dia, hanya merupakan akibat dari akumulasinya berbagai faktor. Terutama faktor ekonomi.

Karena itu, bagi Jumanto, apa yang terjadi pada lapas merupakan gambaran dari tingkat kesejahteraan masyawakat. Menurut dia, semakin sejahtera, kejahatan akan minim. "Dengan demikian, para penghuni lapas tidak akan seperti ini," jelas mantan anggota dewan dari FKB ini.

Jumanto kemudian menjelaskan, dari seluruh penghuni lapas, mayoritas adalah karena terjerat kasus togel. Jumlah mereka mencapai sekitar 65 persen. Hal itu, kata dia menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum menikmati kesejaheteraan itu.

Dalam kesempatan itu, Bupati Jusbakir Aldjufri diwakili Kabag Sosial Windu Karno. Windu menyatakan, tidak ada alasan untuk memberikan perlakuan diskriminatif kepada para mantan napi. "Sebab, tak selamanya orang salah itu salah. Begitu juga sebaliknya," terangnya.

Karena itu, yang lebih penting untuk dilakukan adalah bagaimana para mantan napi itu tidak kembali mendapat predikat sebagai napi untuk kedua kalinya. Tentu, hal itu bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah setempat. Masyarakat, lanjutnya, harus bersedia menerima kehadiran mantan napi laiknya masyarakat umum.

Tak hanya sambutan Jumanto. Dalam acara itu para penghuni Rutan Bangil juga mendapat suguhan segar. Sebuah pentas kecil telah berdiri khusus. Di sela acara, penyanyi dangdut ditampilkan di atas panggung.

Para penghuni lapas pun berjoget ria. Tak peduli berada dalam kerangkeng besi, mereka tetap asyik bergoyang. "Hemm, joget dulu Mas. Daripada ingat keluarga terus," ujar Atim, warga Warungdowo, salah satu penghuni rutan. (aad)

http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_radar&id=200848&c=40

Sabtu, 08 Maret 2008

PEMULIHAN HAK-HAK SIPIL MANTAN NAPI

Oleh Prof.Dr. Muhammad Mustofa (Guru Besar Kriminologi FISIP UI)

Pendahuluan
Filosofi pembinaan pelanggar hukum yang dianut oleh Indonesia adalah mengintegrasikan kembali pelaku pelanggar hukum ke masyarakat, atau lebih dikenal sebagai pemasyarakatan. Akan tetapi dalam realitas, mantan narapidana secara sistematis justru dihambat untuk dapat berintegrasi kembali dalam kehidupan alamiah di masyarakat. Banyak peraturan perundangan dan kebijakan yang dibuat justru untuk menghambat terintegrasinya kembali mantan napi dengan masyarakat.

Dengan demikian maka filosofi pemasyarakatan napi hanya sekedar slogan kosong, yang dalam realitas menghasilkan pelaku pelanggar ulang, yang bolak-balik kembali ke bangunan penjara. Masyarakat dan struktur sosial (politik) telah melakukan stigmatisasi mantan napi yang sesungguhnya tidak selaras dengan filosofi pemasyarakatan napi.

Makalah ini akan membahas bagaimana cara memperlakukan mantan napi yang selaras dengan filosofi pemasyarakatan napi?

Pokok-pokok pikiran
Perlakuan terhadap mantan napi yang tidak adil sesungguhnya merupakan bentuk kemunafikan dari struktur sosial (politik). Sebab manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah Sang Maha Kuasa sebagai dapat berbuat dosa dan kesalahan. Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa tidak ada satu orangpun yang belum pernah melakukan perbuatan dosa dan kesalahan, termasuk pelanggaran hukum pidana. Namun demikian sebagian besar dari warga masyarakat tersebut beruntung karena tindakan kesalahan atau pelanggaran hukumnya tidak pernah diketahui oleh sistem peradilan pidana. Hanya sebagian kecil saja warga masyarakat yang tidak beruntung, yang ketika melakukan pelanggaran hukum pidana diketahui oleh sistem peradilan pidana dan tidak mampu menghindari hukuman. Mereka ini terpaksa menjalani hukuman dan diberi label narapidana.

Penghukuman pidana pada dasarnya adalah suatu bentuk penebusan kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang. Ia seperti tindakan membayar hutang kepada pemberi hutang. Oleh karena itu ketika seseorang narapidana telah selesai menjalani hukuman, ia harus diperlakukan sebagai orang yang merdeka seperti pembayar hutang yang telah melunasi hutangnya. Apabila mantan napi tidak diperlakukan secara adil sebagai warga masyarakat biasa yang telah menebus kesalahan, maka akibat yang paling buruk adalah mereka akan dapat mengulangi kembali tindakan pelanggaran hukumnya.

Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelanggar hukum sesungguhnya mempunyai beberapa ciri, bukan ciri tunggal penjahat. Penjahat dalam hal ini bukan kategori hukum, tetapi kategori sosial yaitu orang yang pola tingkah lakunya cenderung melanggar hukum pidana. Pelanggaran hukum pidana telah menjadi pilihan utama dalam bertingkah laku. Dengan dasar pengertian ini tipologi pelanggar hukum meliputi:
1. Pelanggar hukum situasional.
2. Pelanggar hukum yang lalai.
3. Pelanggar hukum yang tidak sengaja melakukan pelanggaran.
4. Pelanggar hukum yang sakit.
5. Pelanggar hukum berulang atau residivis.

Tipologi pelanggar hukum tersebut seperti status penyakit yang diderita orang. Ada penyakit yang tidak perlu dirawat karena akan sembuh sendiri. Ada penyakit yang perlu perawatan cukup sekali saja. Ada penyakit yang perlu perawatan jalan. Ada penyakit yang memerlukan perawatan inap. Dan ada penyakit yang tak tersembuhkan. Dengan demikian perlakuan terhadap mantan napi, dengan analogi penyakit tersebut, tidak dapat dilakan secara sama dalam keadaan apapun. Sebagian besar dari pelaku pelanggaran hukum sesungguhnya hanyalah orang-orang yang secara situasional (dalam keadaan khusus) melakukan pelanggaran hukum, dan kemungkinan pengulangan pelanggarannya kecil.

Demikian juga banyak orang yang melakukan pelanggaran hukum secara tidak sengaja atau karena lalai. Dalam keadaan sakit (jiwa) orang tidak menyadari apa yang dilakukan ketika melakukan tindakan pelanggaran hukum pidana. Orang menjadi pelaku pelanggaran berulang melalui suatu proses yang panjang, termasuk memahirkan tindakan pelanggaran ketika berada di dalam lembaga penghukuman (penjara) dan penolakan masyarakat untuk berintegrasi kembali dengan masyarakat, habitat hidup manusia. Pada tahap tertentu, pelaku pelanggaran ulang akan juga menghentikan kecenderungan pelanggarannya. Suatu penelitian melaporkan bahwa pada umumnya orang akan menghentikan kecenderungan melakukan pelanggaran hukum secara berulang ketika mencapai usia lanjut.

Kecenderungan memperlakukan pelanggar hukum secara represif dalam telaah Durkheim mencerminkan bahwa masyarakat yang bersangkutan lebih dekat dengan ciri masyarakat primitif. Masyarakat modern cenderung menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran hukum secara restitutif, yaitu memulihkan hubungan. Dalam dalil evolusi penghukuman, Durkheim menumuskan:

1. Semakin dekat tipe masyarakat ke pada masyarakat primitif, dan semakin absolut kekuasaan pusat dilakukan, intensitas hukuman semakin tinggi
2. Perampasan kemerdekaan yang lamanya berbeda tergantung dari keseriusan kejahatannya, cenderung menjadi alat pengendalian sosial yang normal

Kalau mengikuti dalil evolusi penghukuman dari Durkheim tersebut, dapat dikatakan bahwa perlakuan tidak adil terhadap mantan napi menunjukkan bahwa masyarakat dan kekuasaan pusat (struktur sosial poilitik) yang cenderung absolut merupakan ciri masyarakat primitif. Padahal sesungguhnya ciri umum masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa timur, dalam menyikapi pelanggaran hukum pidana cenderung mencari solusi perdamaian atau pemulihan hubungan antara pelaku dengan korban dan masyarakat.

Pelanggaran hukum pidana dilihat tidak semata-mata sebagai konflik antar pribadi (micro cosmos), tetapi merupakan keadaan yang dapat mengganggu kestablian alam semesta (macro cosmos). Oleh karena itu ketidakseimbangan yang dihasilkan harus disikapi dengan mengembalikan kestabilan hubungan para pihak yang berkonflik. Filosofi penghukuman bangsa-bangsa timur ini telah digali olehilmuwan barat John Braithwaite menjadi konsep restorative justice.

Restorative justice adalah cara penyelesaian konflik pidana melalui cara-cara informal yang dilakukan oleh komunitas dengan tujuan memulihkan hubungan antara pelaku dengan korbannya dan yang direstui masyarakat, dengan tetap menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah tindakan yang tidak benar. Melalui mekanisme ini adaupacara untuk menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah salah, tetapi melalui proses restorasi, pelanggar hukum diterima kembali menjadi warga masyarakat.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penghilangan dan pembatasan hak-hak sipil dan politik terhadap mantan napi dalam berbagai peraturan perundangan dan kebijakan merupakan ketidakadilan terhadap warga masyarakat yang telah melunasi hutang kesalahan. Oleh karena itu semua peraturan perundangan yang membatasi atau menghilangkan hak-hak sipil dan politik mantan napi haruslah dicabut. Selain itu perlu adanya gerakan penyadaran masyarakat terhadap realitas pelanggaran hukum seperti yang diuraikan di atas sehingga masyarakat secara sadar mampu memperlakukan mantan napi secara adil.

http://kriminologi1.wordpress.com/


Kamis, 06 Maret 2008

KELOMPOK MANTAN NAPI KUNJUNGI DPRD JATIM

Sebanyak 13 orang perwakilan mantan tahanan dan narapidana yang tergabung dalam Forum Silaturrahmi Mantan Tahanan dan Narapidana (Fosil Maharana) mendatangi DPRD Jatim. Mereka mengadukan nasibnya yeng kurang mendapatkan pelayanan pubik dan sering dipandang sebelah mata di masyarakat.

“Di masyarakat kami disepelekan dan sering mendapat perlakuan tidak adil yang itu juga dilakukan oknum aparat pemerintahan,” kata Ketua Fosil Maharana, Drs Jumanto, di Kantor DPRD Jatim, Selasa (4/3) sore.

Selain mengadukan nasibnya, Dia juga bermaksud mengenalkan organisasi ini. Fosil Maharana ini dibentuk untuk memberi advokasi kepada tahanan, narapidana dan mantan narapidana.

Penyebabnya, lanjut Jumanto, banyak napi dan tahanan yang tidak mendapat pembelaan dari pengacara sehingga harus di back up Fosil Maharana. Namun ia mengaku sering mendapat teror sejak dibentuknya Fosil Maharana. Sebab, forum ini selalu melakukan pantauan pada masalah hukum di Jatim. Pantauan ini dilakukan, karena banyak oknum penegak hukum dan jaksa yang melakukan “jual beli” hukum.

Fosil Maharana minta Komisi A mendukung langkah yang mereka lakukan. Karena selama ini mereka sering mendapat tekanan dari berbagai pihak.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi A DPRD Jatim, Jafar Sodiq saat menerima rombongan mendukung langkah yang dilakukan Fosil Maharana. “Memang banyak napi yang dipenjara namun tidak melakukan salah,” katanya.

Jafar menjelaskan, masalah hukum saat ini mudah dipermainkan, apalagi jika ada uang untuk meringankan masa hukuman. Untuk mengungkap masalah mafia hukum, ia mengusulkan agar Fosil Maharana menulis buku tentang pengalaman napi yang tergabung dalam forum tersebut. “Dengan tulisan masyarakat bisa tahu hukum di Indonesia yang sebenarnya,” tutur Jafar.

Anggota Komisi A, Suli Daim sependapat dengan usulan mencetak buku pengalaman napi. Dia juga memberikan apresiai pada forum tersebut karena berani mengenalkan diri dan melakukan pendampingan napi.

“Biasanya, mantan tahanan dan napi selalu mengurung diri dan menjauh dari masyarakat, namun saya salut pada Fosil Maharana yang berani mengenalkan diri ke masyarakat,” kata Suli.


*(icl)
http://www.d-infokom-jatim.go.id/news.php?id=13301

Minggu, 02 Maret 2008

Institusi lapas harus terbuka bagi masyarakat

Penjara dan beban negara
Oleh: Mahariansyah.

Belum lagi keterlibatan beberapa oknum sipir penjara yang ikut serta dalam membuat kondisi penjara semakin ruwet.

Jika itu yang terjadi, sebenarnya pembinaan tidak bisa berjalan dengan efektif,karenakan kondisi penjara dan rutan yang sudah tidak sehat lagi. Dan juga outputnya yang tidak sesuai dengan harapan dari pembinaan itu sendiri. Apa buktinya?

Penjara, seharusnya berisi banyak pembinaan yang memberikan penyuluhan, agar orang tersebut tidak melakukan hal yang sama (residivis), tetapi kasus Roy Marten, membuktikan bahwa sebenarnya pembinaan didalam penjara belumlah efektif, itu hanya sebagian kecil dari banyaknya kasus-kasus khususnya narkotika yang berulang (Residivis).

Melihat realitas seperti itu, penjara memang tidak lebih dari sekumpulan-orang-orang jahat (melanggar hukum pidana), yang berkumpul dari yang kelas teri sampai kelas kakap, dikumpulkan menjadi satu, lalu mereka bertukar pikiran, lalu menjadi penjahat yang lebih tinggi kelasnya.

Pembinaan yang lunak

Karena tidak dapt dipisahkan lagi, mana penjahat yang harus dibina sangat keras (Supemaximum security), seperti kejahatan kelas kakap, dengan yang pembinaan yang sangat lunak, didalamnya, tidak mustahil mereka bertukar pikiran, karena jumlah sipir yang tidak seimbang, dengan jumlah narapidananya.

Lebih parahnya, narapidana yang sebanyak itu, semuanya dibiayai kebutuhannya dengan Negara, seperti pakaian, baju dan lain sebagainya, tanpa tujuan yang jelas, karena kondisi yang overcrowded tersebut.

Dan jumlah itu tidak sedikit, dan sangat mubazir, melihat hasilnya yang sangat tidak efektif dari pembinaan tersebut.

Analoginya, anak-anak jalanan yang mencari uang di jalanan, tidak memliki tempat tinggal, mencari uang dengan penuh peluh, padahal ia tidak melanggar hukum, tetapi disatu sisi seorang pelanggar hukukm, seperti Fariz RM yang tertangkap tangan mambawa ganja kurang dari dua linting, dibiayai kebutuhan hidupnya oleh Negara, walaupun dipenjara tanpa pembinaan sekalipun.

Timbulkan bumerang

Contoh Roy, dan Fariz menggambarkan, betapa mubazirnya uang yang dihamburkan untuk memelihara atau memberikan kebutuhan primer secara Cuma-Cuma, padahal satu sisi, mereka anak jalanan membutuhkan kebutuhan tersebut malah dianggap sampah oleh Negara.

Sehingga mereka menjadi potential offender atau pelaku kriminal, walaupun belum terbukti melakukan kriminal. Tetapi mereka yang jelas-jelas sudah melakukan kejahatan, malah dipelihara dan dibina, diberi pakaian, makan, ironis memang, jika mereka yang tidak memiliki pekerjaan, tidak memiliki tempat tinggal, menjadi iri, lalu melakukan tindakan kriminal.

Walaupun sebenarnya penjara masih dibutuhkan oleh kita, sebagai satu-satunya pembinaan yang terakhir yang diharapkan oleh kita semua selaku masyarakat luas.

Tetapi kondisi yang sangat mengenaskan secara umum penjara Indonesia, justru menimbulkan bumerang bagi masyarakat.

Peran masyarakat

Kondisi penjara yang masih termarjinalkan dari masyarakat, membuat penjara seolah-olah sebagai lembaga yang eksklusif, padahal penjara dan masyarakat menjadi kesatuan, karena output dari penjara nantinya akan dikembalikan oleh penjara kepada masyarakat luas.

Melihat kenyataan tersebut, kita tidak bisa menisbikan peran masyarakat luas, institusi penjara harusnya terbuka untuk masyarakat, dengan segala kondisi kekurangan dan kelebihannya, dan menemukan solusinya yang terbaik.

Agar pembinaan menjadi lebih efektif, tantangan yang harus dihadapi penjara, tidaklah bisa penjara bekerja sendiri, tanpa bantuan masyarakat luas.r

Penulis adalah TIM peneliti sistem pemasyarakatan di Indonesia

http://www.monitordepok.com/news/Opini/14728.html

Sabtu, 01 Maret 2008

Mengapa Meninggal di Penjara?

metrorealita

Peristiwa tragis meninggalnya tahanan di dalam penjara terus mengintai. Sayangnya, pemerintah tak cukup anggaran memperbaiki kualitas lembaga pemasyarakatan.

Sepekan sebelumnya, tepatnya hari Kamis tanggal 14 Februari 2008, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Andi Mattalatta mencanangkan gerakan nasional ”Bulan Tertib Pemasyarakatan” yang dipusatkan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta. Ketika itu, dia memerintahkan kepada seluruh Kepala lembaga pemasyarakatan (Kalapas) dan kepala rumah tahanan negara (Karutan) untuk menertibkan lapas dan rutan.

Menteri Andi juga mengungkapkan bahwa pemerintah telah menaikkan biaya perawatan dan biaya hidup bagi narapidana/tahanan dan memberikan berbagai tunjungan kepada petugas pemasyarakatan. ”Tidak ada lagi alasan narapidana atau tahanan memasak makanannya sendiri dengan biaya sendiri serta tidak ada lagi keluhan dari masyarakat bahwa narapidana harus membayar sejumlah uang untuk kebutuhan dasar sehari-hari,” katanya.

Namun, sepekan kemudian, tepatnya hari Rabu, 20 Februari 2008, terbetik kabar meninggalnya seorang penghuni LP Cipinang bernama Nurdinsyah Mokobombang. Tragisnya, sang tersangka kasus korupsi senilai Rp2,9 miliar di Lembaga Penerbangan dan Antarariksa Nasional (Lapan) itu menghembuskan nafas terakhirnya saat hendak dibawa dengan memakai tandu menuju Rumah Sakit Polri Kramat Jati.

Namun, kabar lain menginformasikan, Nurdinsyah Mokobombang, dilarikan ke rumah sakit dengan menggunakan mobil milik Iyul Sulinah, istri tersangka kasus Asabri, Henry Leo. Sedianya Nurdinsyah akan dibawa dengan menggunakan ambulans milik rumah sakit tersebut, namun karena ambulan yang ditunggu tak kunjung datang maka ia pun dilarikan ke RSPP dengan mobil Ford Escape milik Iyul yang sedang mengunjungi suaminya.

Seolah biasa, karena Kabid Pembinaan LP Cipinang Agus Rianto kepada wartawan mengatakan, almarhum menghuni sel nomor 201 blok tipe 7 tinggal bersama 9 tahanan lain. “Dia memang mempunyai riwayat sakit jantung, kita juga pernah menolak dia dahulu. Tapi setelah menjalani perawatan akhirnya kita terima,” katanya.

Meninggalnya tersangka kasus korupsi itu menambah deretan panjang kisah tragis di dalam penjara. Berdasarkan catatan Tabloid Sensor, sebelumnya beberapa koruptor juga meninggal di dalam penjara, di antaranya Sudi Ahmad (pegawai MA), satu dari enam terdakwa kasus dugaan korupsi suap Ketua MA Bagir terkait kasasi Probosutedjo, yang meninggal karena sakit 23 Mei 2006 di Rutan Polda Metro Jaya. Kemudian Lalu Artawa (bekas anggota DPRD NTB), terdakwa kasus dugaan korupsi APBD, meninggal karena sakit pada 31 Maret 2006 di LP Mataram.

Demikian pula Yusuf Rustandi, meninggal sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kelapa Gading, Jakarta Utara, sebesar Rp3 miliar.

Selain itu, Hamdani Amin (Kepala Biro KPU), terpidana korupsi pengadaan logistik pada Pemilu 2004, meninggal setelah bermain bulu tangkis dan kemudian terjatuh di LP Cipinang, Dan, mantan Dirut Pertamina Faisal Abdaoe, tersangka dugaan korupsi pipanisasi di Jawa sebesar 20 juta dolar AS, yang meninggal dalam status tersangka di dalam penjara.

Berbagai sebab
Sementara itu, berdasarkan data Ditjenpas, total narapidana yang meninggal di penjara sepanjang tahun 2007 mencapai 693 orang. Sebanyak 256 narapidana meninggal di lembaga pemasyarakatan yang ada di Kanwil Hukum dan HAM DKI Jakarta. Lalu 178 orang meninggal di LP yang ada di Kanwil Banten.

Berdasarkan data tersebut, jumlah narapidana atau tahanan yang meninggal di sejumlah lapas di Sumatera mencapai 154 orang pada 2007. Jika dibandingkan jumlah narapidana dan tahanan yang meninggal, di Pulau Jawa masih lebih tinggi yaitu mencapai 620 orang.

Sedangkan tahun sebelumnya, 2006, sebanyak 813 narapidana meninggal di sejumlah lembaga pemasyarakatan di Indonesia karena berbagai sebab. Jika dibuat rata-rata, berarti setiap hari dua narapidana meninggal. Jumlah total narapidana tahun 2006 sebanyak 116.688 orang.

Diperoleh informasi, narapidana yang memiliki penyakit bawaan ketika masuk LP kondisi kesehatannya bakal makin parah. Pada umumnya, narapidana yang meninggal di dalam LP telah membawa penyakit tertentu pada saat masuk penjara. Penyakit itu kian berat, terutama karena pengaruh kondisi psikologis terpidana yang juga buruk. Namun, yang mengkhawatirkan adalah pengidap HIV. Virus itu menyerang kekebalan tubuh pengidapnya. Dalam kondisi semacam itu, narapidana sangat rentan terserang berbagai macam penyakit.

Kondisi itu diperburuk dengan ketersediaan tenaga medis yang relatif minim. Tidak semua LP memiliki dokter, perawat, atau poliklinik tersendiri. Berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan pada Februari 2007, jumlah dokter di LP sebanyak 277 orang (58,1 persen adalah dokter paruh waktu) dan perawat 438 orang (60,9 persen adalah perawat paruh waktu). Sementara jumlah poliklinik sebanyak 163 buah.

“Maaf, Mas. Ada uang, ada barang.” Itu kalau tahanan mau mendapatkan apa yang ada di dalam LP atau Rutan. Fasilitas, misalnya, bisa dinikmati bila seorang tahanan berkantong tebal. Tapi bagi tahanan berkantong cekak, jangankan fasilitas, untuk keluar-masuk pintu bila ada yang menjenguk saja bingung. Ya karena dia harus merogoh kocek.

“Kalau mau ngobrol sama saya di LP, situ yang biayain ya. Soalnya di tiap pintu ada pungutan. Jebol kantong saya kalau harus saya yang keluar duit,” demikian almarhum Nurdinsyah menceritakan sedikit kondisi LP Cipinang kala berbincang-bincang dengan wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Itulah sebab, beberapa waktu lalu Direktur Jenderal Pemasyarakatan Untung Sugiyono mengatakan, untuk mengurangi kematian napi atau tahanan, Ditjen Pemasyarakatan bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menaruh perhatian atas kondisi kesehatan napi/tahanan.

“Penyakit penyebab kematian mereka hampir sama dari tahun ke tahun. Selain itu, angka kematian napi/tahanan di penjara yang tinggi itu akibat kondisi penjara yang penuh dan terbatas,” katanya.

Bicara soal rumah tahanan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang belum lama terbentuk, sampai saat ini belum memiliki rumah tahanan. Padahal, banyak kasus yang ditangani KPK, khususnya korupsi karena lembaga ini memang lembaga pemberangus korupsi.

Tidak mau berlama-lama numpang di rutan lembaga lain, pihak KPK merencanakan akan membangun rumah tahanan, yakni 4 ruang untuk tahanan laki-laki, dan satu ruang tahanan perempuan. Sekjen KPK Syamsa Ardisasmita mengatakan, pembangunan rutan KPK itu sudah sangat mendesak.

Akan tetapi, rencana KPK itu masih terbentur restu Depkumham. Pasalnya, biaya pembangunannya akan menelan dana Rp738 juta. Sembari menunggu ‘restu’ itu, tampaknya KPK juga harus lebih mematangkan lagi rencananya. Jangan sampai hal-hal diluar perkiraan terjadi, sebagaimana terjadi di LP atau Rutan lain. Sebab, masalah sekecil apapun bisa mencoreng wibawa yang sudah dibangun. mahadir romadhon

http://tabloidsensor.wordpress.com/2008/02/22/mengapa-meninggal-di-penjara/