Minggu, 03 Februari 2008

Pelanggaran HAM Sang Napi

Written by Judianto Simanjutak

Bulan April 2007 yang baru berlalu, media massa banyak menyoroti kondisi kesehatan narapidana (napi) yang sangat memprihatinkan. Kenyataan ini dikemukakan Rahardi Ramelan, juru bicara napi seluruh Indonesia di Jakarta (9/4). Rahardi mengatakan dari sekitar 4.000 napi di LP Cipinang, lebih dari 1.000 napi memiliki penyakit kulit akut. Kapasitas LP Cipinang yang hanya untuk 1.700 napi harus didiami sekitar 4.000 napi (Kompas, 10 April 2007).

Yang paling mengerikan adalah bahwa penyakit yang dialami napi tidak jarang mengakibatkan kematian seperti di LP Tangerang sebagaimana dijelaskan Dirjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM, Akbar Adi Prabowo. Dia mengatakan peristiwa tewasnya sejumlah napi di LP Pemuda Tangerang belum lama ini bukan akibat tindak kekerasan melainkan akibat sakit (Kompas, 04 April 2007). Pada tahun 2006 napi yang meninggal di seluruh Indonesia menunjukkan jumlah yang tidak sedikit yaitu 813 orang dari total napi se - Indonesia 116.668 orang, sedangkan tahun 2007 sampai bulan Februari napi yang meninggal di seluruh Indonesia sebanyak 62 orang, termasuk di Jakarta (Kompas, 14 April 2007).


Peristiwa tragis itu merupakan bencana kemanusiaan yang menyayat hati masyarakat di seluruh tanah air karena merasa prihatin atas kondisi napi yang disebabkan kebijakan negara (pemerintah) yang tidak adil. Mengapa hal itu terjadi? Pertanyaan itu merupakan koreksi terhadap sistem pembinaan dan perlindungan napi sebagaimana diamanatkan dalam UU. No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Salah satu perlindungan yang esensial yang seharusnya dipenuhi negara terhadap napi adalah bidang kesehatan.

Napi Berhak Atas Kesehatan

Bencana yang terjadi kepada para napi tersebut sebenarnya tidak akan terjadi apabila negara memahami bahwa narapidana mempunyai hak atas kesehatan seperti warga negara lain. Ketentuan ini diakui eksistensinya dalam pasal 14 ayat (1) huruf b UU. No. 12 Tahun 1995. Dalam Undang-Undang itu disebutkan bahwa narapidana berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.

Disamping itu, beberapa produk hukum juga menyatakan bahwa kesehatan adalah Hak, misalnya pasal 34 ayat (3) amandemen UUD 1945 ke 4 yang menyatakan hak atas kesehatan, termasuk hak setiap orang menikmati kondisi lingkungan yang baik dan sehat, UU. No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Pasal 4 UU No 23/1992 menyebutkan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal, kemudian pasal 9 menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Bahkan instrumen hukum internasional juga menyatakan hal yang sama yaitu Universal Declaration of Human Right (DUHAM) (pasal 25), Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU. No. 11 Tahun 2005 (pasal 12). Adapun Prinsip hukum internasional tersebut adalah bahwa negara mempunyai tiga kewajiban pokok (core obligation) terhadap hak asasi individu warganya, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfil) hak asasi warganya.

Jika negara lalai memenuhi hak asasi warganya, dalam konteks hukum Hak Asasi Manusia (HAM), telah terjadi pelanggaran HAM. Dengan demikian pemenuhan hak atas kesehatan merupakan kewajiban negara terhadap warga negaranya. Keseluruhan produk hukum tersebut secara ideal (das sollen) merupakan landasan bagi negara untuk memenuhi hak-hak dasar para napi demi terwujudnya keadilan, sekaligus dalam rangka penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang juga merupakan salah satu sistem pembinaan pemasyarakatan (pasal 5 huruf e UU. No. 12 Tahun 1995). Tetapi realitas (das sein) menunjukkan pemenuhan hak atas kesehatan napi di seluruh Indonesia jauh dari yang diharapkan.

Pelanggaran HAM Terhadap Napi

Kasus sebagaimana disebutkan diatas merupakan potret buruk pelayanan kesehatan terhadap napi. Fenomena itu dalam terminologi Hukum HAM merupakan pelanggaran atau penyangkalan (denial) HAM (red: hak atas kesehatan). Pelanggaran terhadap hak atas kesehatan itu pada dasarnya merupakan pengingkaran terhadap perjanjian internasional yang telah disepakati bersama masyarakat internasional termasuk Indonesia. Padahal konsekuensi turut sertanya sebuah negara dalam penandatanganan perjanjian tersebut termasuk ratifikasi adalah setiap negara berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi warganya, jika negara mengabaikannya akan mendapat sanksi internasional.

Pengabaian terhadap hak atas kesehatan para napi tersebut dapat dilihat dari minimnya peranan negara dalam memberikan pencegahan dan penanggulangan terhadap berbagai penyakit yang dialami para napi. Atau dengan kata lain kurang aktifnya negara mengupayakan penanganan kesehatan yang memungkinkan warganya (napi) bebas dari penyakit yang sangat berbahaya.

Hal ini dapat dibuktikan dari pernyataan Rahardi Ramelan bahwa kesehatan napi tiada yang memperhatikan (Kompas, 10 April 2007). Pernyataan Baby Jim Adytia (Direktur Yayasan Partisan Club) juga menunjukkan bahwa kepedulian negara terhadap kesehatan napi sangat kurang. Baby Jim menyebutkan bahwa kesadaran pemerintah akan bahaya HIV/AIDS sangat terlambat (Kompas, 10 April 2007).

Ini adalah kelalaian negara terhadap kewajiban bertindak atau berbuat (obligation of conduct) yang seharusnya dilakukan melalui tindakan-tindakan legislasi, anggaran, administratif, hukum dan tindakan lainnya guna pemenuhan hak atas kesehatan. Jika hal itu terlaksana, upaya negara menciptakan napi yang sehat serta upaya menghindarinya dari kematian akibat penyakit akan menjadi kenyataan.

Pemenuhan hak atas kesehatan sebagai bagian dari Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Hak Ekosob) yang seharusnya membutuhkan peran dan campur tangan negara (obligation to do some thing) merupakan sistem yang dianut dalam instrumen hukum internasional yang berbeda dengan pemenuhan Hak Sipil dan Politik (Hak Sipol) yang pemenuhannya dalam keadaan tertentu tidak membutuhkan peran dan campur tangan negara (obligation not to do some thing). Karena itu Hak Ekosob dinamakan dengan Hak positif (positif right), sedangkan Hak Sipol adalah hak negatif (negatif right).

Hilangnya Hak Hidup Napi

Penyangkalan negara atas hak atas kesehatan para napi dalam kasus di atas membawa konsekuensi yang sangat besar karena fenomena itu mengakibatkan kematian Napi. Hal ini juga merupakan pelanggaran HAM (hak untuk hidup) yang keberadaannya diatur dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi melalui UU. No. 12 Tahun 2005 (pasal 6), DUHAM (pasal 3), UUD 1945 (pasal 28I ayat (1)), UU. No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM (pasal 4).

Oleh karena itu dibutuhkan komitmen negara untuk memperhatikan nasib napi dengan memberikan pelayanan kesehatan yang memadai dan berkualitas, sebab napi walaupun melakukan kejahatan/tindak pidana tetap berhak mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Jadi, sangatlah tidak adil jika negara menganggap napi sebagai warga kelas dua dan mengabaikan hak-hak dasarnya hanya karena statusnya yang berbeda dengan warga negara yang lain. Pemenuhan hak atas kesehatan napi merupakan tanggung jawab negara sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik yang berkewajiban memenuhi hak-hak dasar warganya termasuk hak atas kesehatan sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Oleh: Judianto Simanjuntak, anggota Tim Pembela Kebebasan Beragama (TPKB)Relawan Yappika (Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi)


http://www.wahanakebangsaan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=3&Itemid=32


0 komentar:

Posting Komentar