Senin, 01 Oktober 2007

Ihwal Hak Politik Mantan Napi

Oleh: Mulyana W Kusumah

Dalam pembahasan RUU Pemilu pekan lalu dikabarkan dua parpol besar yakni Partai Golkar dan PDI-P mengusulkan agar bekas narapidana lima tahun tidak kehilangan hak menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD, dengan alasan penegakan hukum di Indonesia belum bisa dipertanggungjawabk an secara politik.

Bahkan lebih jauh, anggota Pansus RUU Pemilu, Agun Gunandjar Sudarsa (FPG) – yang juga mempunyai otoritas akademik sebagai Ketua Ikatan Alumni Kriminologi – mengusulkan agar larangan itu hanya berlaku bagi calon yang sedang menjalani hukuman pidana. Menurut Agun, tidak ada alasan melarang seseorang yang sudah selesai menjalani hukuman dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD atau DPRD.

Gagasan parpol besar tersebut, pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan rumusan dalam Pasal 60 huruf i, UU 12/2003 mengenai Pemilu, Anggota DPR, DPD dan DPRD – yang mensyaratkan calon anggota DPR, DPD dan DPRD tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Rumusan tentang hal itu dalam RUU Pemilu, mengalami perubahan menjadi “tidak pernah dijatuhi hukuman penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 ( lima ) tahun atau lebih.”

Sejumlah perundang-undangan di Indonesia yang mengatur persyaratan untuk calon pejabat publik atau pejabat negara mencantumkan rumusan serupa.

Undang-undang 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, misalnya, dalam Pasal 6 huruf t mencantumkan syarat calon Presiden/Wakil Presiden, tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Rumusan di atas, tidak berubah dalam RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Pasal 58 huruf f, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, juga harus memenuhi syarat tersebut.

Rumusan yang sama juga mengemuka dalam Pasal 11 huruf j, UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, sebagai syarat calon anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, serta dalam Pasal 86 huruf j sebagai syarat calon anggota Badan Pengawas Pemilu, Panwaslu Provinsi, Pawanslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan serta Pengawas Pemilu Lapangan.

Melanggar Konstitusi
Rumusan-rumusan dalam sejumlah perundang-undangan di atas jelas melanggar hak-hak konstitusional warga negara, sebab seorang narapidana yang telah menjalani pidana adalah warga negara bebas, mempunyai hak sama dengan warga negara lainnya yang tidak pernah menjalani pidana (penjara).

Secara utuh, hak-hak konstitusional warga negara para mantan napi harus dipulihkan. Dengan begitu, hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 tetap melekat pada mantan napi.

Sekadar mengingatkan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali. Atau lebih tegas lagi, dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum, juga Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945 yang memuat, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Rumusan-rumusan restriktif atas hak-hak konstitusional warga negara yang dipaparkan di atas, jelas merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam UU Hak Asasi Manusia.

Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas dan rahasia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, juga dalam pasal 43 ayat (3), disebutkan bahwa setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Perumusan, pemuatan serta pelaksanaan pasal-pasal restriktif terhadap mantan napi, tentu saja dapat dikategorikan pelanggaran hak-hak asasi manusia sebagai mana dinyatakan dalam Ketentuan Umum angka 6, UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni: setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme yang berlaku.

Kontra Reformasi
Lebih jauh lagi, hal tersebut mencerminkan sebuah arah politik “kontra reformasi,” di tengah perkembangan hukum progresif yang pada akhir tahun 2005 yang lalu telah menghasilkan UU 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.

Dalam tulisan ini, tidak perlu terlalu jauh dibahas mengenai pemikiran-pemikiran penologi dan kriminologi kontemporer yang sudah jauh meninggalkan pemikiran-pemikiran “ultra konservatif” mengenai penghukuman sosial yang berlanjut terhadap mantan narapidana – yang terus dikucilkan dari masyarakat melalui stigmatisasi dan penghilangan hak-hak fundamentalnya sebagai warga negara.

Jaminan hak-hak warga negara secara utuh yang termuat dalam UUD 1945 serta sejumlah perundang-undangan hak asasi manusia yang diuraikan di atas, tidak perlu harus ditegaskan kembali melalui permohonan pengujian Undang-undang ke Mahkamah Konstitusi oleh pihak mantan napi yang hak konstitusionalnya dirugikan. Ini akan menguras dana serta enerji politik. Jika rumusan restriktif dalam undang-undang itu, kemudian oleh Mahkamah Konstitusi, dinyatakan bertentangan atau melanggar UUD 1945, sehingga harus diamandemen, akan menguras tenaga. Terlalu jauh kalau kita kaitkan bahwa negara tercinta ini pada awalnya didirikan oleh para pahlawan, banyak di antaranya adalah mantan narapidana.

Akan lebih baik jika para elit politik pembuat undang-undang sejak awal menunjukkan tanggung jawab politik dengan merumuskan pasal-pasal yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan perundang-undangan hak asasi manusia.


* Penulis adalah Sekjen Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI)

1 komentar:

Eks Kriminal dan eks korupor mau berkirah di bidang politik ? jangan.. lebih baik isi sisa-sisa umur dengan banyak beribadah, tobat, berdoa semoga perilaku yang tidak terpuji di masa lalu dapat diampuni, berikan kepada yang lain saja yang masih muda dan integritas moralnya baik dan teruji.Politik itu kotor, bagaimaa jadinya kalau di lakoni oleh yang orang-orang ????, bangsa ini mau dibawa kemana.Mau jadi pahlawan ? jadilah pahlawan diri sendiri dulu. Sering-sering bercermin, lihat itu diri sendiri baik-baik. Ayak-ayak wae.

Posting Komentar