Selasa, 16 Oktober 2007

Hak Narapidana Tertentu Dibatasi

Ditjen Pemasyarakatan Keluarkan Surat Edaran

Jakarta, Kompas - Pemberian remisi atau pengurangan hukuman bagi narapidana tindak pidana tertentu, seperti korupsi, teroris, bandar atau produsen narkotika dan obat-obatan terlarang, pelaku makar, pembunuhan massal, penyiksaan, penghilangan orang, pembalakan liar, penjualan orang, kejahatan dunia maya, dan pencucian uang, dilakukan dengan lebih ketat.

Bahkan, untuk remisi khusus Idul Fitri 2007, bagi narapidana (napi) baru tindak pidana tertentu belum menerima remisi jika belum menjalani sepertiga dari masa pidananya. Padahal, dengan aturan sebelumnya, napi baru tindak pidana tertentu bisa menerima remisi yang sama dengan napi kejahatan umum, yaitu setelah minimal enam bulan menjalani masa pidana.

Pembatasan hak napi kejahatan tertentu itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Untung Sugiyono tertanggal 5 Oktober 2007. SE itu adalah petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP itu adalah perubahan dari PP Nomor 32 Tahun 1999.

Nurdin Halid, terpidana kasus korupsi penyaluran minyak goreng Bulog, termasuk yang tidak mendapatkan remisi Idul Fitri 2007. Nurdin baru masuk Rumah Tahanan Salemba pada 18 September 2007 setelah Mahkamah Agung (MA) memvonisnya bersalah melakukan korupsi.

Menurut Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Akbar Hadiprabowo kepada Kompas, Minggu (14/10), pelaksanaan PP No 28/2006 ini baru dilaksanakan pada Idul Fitri 2007 karena tahapan sosialisasi PP itu baru selesai. "Pemberian remisi bagi napi baru tindak pidana tertentu sekarang harus seizin Dirjen Pemasyarakatan. Sebelumnya cukup Kepala Kantor Wilayah Dephuk dan HAM," paparnya.

SE Dirjen Pemasyarakatan itu baru diberlakukan pada pemberian remisi khusus Idul Fitri tahun ini. Pada poin kedua disebutkan, napi dengan kasus tertentu yang akan mendapat remisi pertama kali harus berkelakuan baik dan sudah menjalani sepertiga masa pidananya.

Pada poin ketiga disebutkan, bagi napi yang sudah memperoleh remisi tahun ini, yaitu remisi umum 17 Agustus 2007, tetap mendapat remisi dengan penilaian kelakuan baik yang sangat ketat atau selektif. Remisi diusulkan Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kepala Rutan kepada Ditjen Pemasyarakatan melalui Kepala Kanwil untuk mendapatkan persetujuan menteri.

PP No 28/2006 yang menjadi acuan SE Ditjen Pemasyarakatan memang lebih ketat dibandingkan dengan aturan sebelumnya. PP itu dimaksudkan sebagai peninjauan ulang pemberian remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat bagi napi yang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian besar bagi negara atau masyarakat atau korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat.

Misalnya, remisi bagi napi yang dipidana melakukan tindak pidana tertentu baru diberikan bila telah menjalani sepertiga masa pidananya. Bagi napi dengan kejahatan umum, ketentuan ini tidak berlaku.

Selain itu, pemberian asimilasi bagi napi dengan tindak pidana tertentu juga dilakukan jika napi itu telah menjalani dua pertiga masa pidananya. Napi dengan kejahatan umum bisa diberikan asimilasi kalau telah menjalani setengah dari masa pidananya. Selain itu, napi dengan kejahatan tertentu juga tidak diberikan hak lain, seperti yang diterima napi dengan kejahatan umum.

Tidak manusiawi

Ketua Umum Persatuan Napi Seluruh Indonesia (PNSI) Rahardi Ramelan menilai, keluarnya PP No 28/2006 itu merupakan tindakan yang tidak manusiawi terhadap napi. PNSI akan mengajukan protes pada Menteri Hukum dan HAM.

"Ada dua alasan, yaitu pertama di KUHP disebutkan barangsiapa, artinya semua orang, tidak ada diskriminasi apakah dia koruptor, teroris, atau lainnya. Kedua, napi ini sudah dihukum oleh pengadilan, kenapa sekarang dihukum dua kali, yaitu oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya bertugas membina dan mengembalikan napi ke masyarakat. Itu konsep pemasyarakatan. Bukan malahan memperpanjang pemidanaan," kata Rahardi lagi. (VIN)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/16/Politikhukum/3918177.htm

0 komentar:

Posting Komentar