Senin, 27 Agustus 2007

PEMASYARAKATAN, Antara CITA-CITA dan REALITA

Sudut Pandang Narapidana di LP Cipinang

PENDAHULUAN
Mengalami proses penyidikan sebagai tersangka di Kejaksaan Agung dan pengadilan di PN Jakarta Selatan, serta proses banding di Pengadilan Tinggi dan Kasasi serta Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung pada tahun 2002 – 2006, bisa mendapatkan gambaran sepintas apa yang telah terjadi dalam peradilan kita.

Kemudian pengalaman menjadi penghuni LP Cipinang sebagai tahanan Kejaksaan Tinggi dan Pengadilan Negeri pada tahun 2002 selama 69 hari dan sebagai narapidana pada tahun 2005/2006 selama 13 bulan, telah memberikan pengertian mengenai kehidupan di penjara beserta segala masalahnya. Interaksi dengan narapidana lainnya dengan berbagai kasus dan jenis hukuman makin melengkapi pengetahuan mengenai keadaan peradilan kita.

Masalah pemasyarakatan tidak bisa terlepas dari proses peradilan sebelumnya, dan juga tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat umumnya.
Berbagai isyu yang menyelubungi peradilan kita seperti masalah suap, rekayasa, intervensi penguasa dan lainnya, akhirnya akan bermuara di Lembaga Pemasyarakatan.

Dengan meningkatnya penanganan masalah kasus korupsi oleh KPK dan Tastipikor juga membawa dampak yang signifikan dalam proses peradilan dan kehidupan di Lapas.
Apa yang terjadi di Lapas harus dilihat dari falsafah (konsep) mengenai pemasyarakatan yang dicetuskan oleh DR. Sahardjo pada tahun 1962, dan kemudian ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964

CITA – CITA
Peradilan
Pentahapan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa institusi yang terpisah dan independen, harus diartikan bahwa ingin diciptakannya proses check and balance dalam pelaksanaannya. Pantahapan mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan (pengadilan) dan akhirnya pemidanaan merupakan proses agar seseorang mendapatkan keadilan yang sesungguhnya. Proses inipun diharapkan akan menjamin seseorang atau “barang siapa” dapat kembali ke masyarakat dan lingkungannya dengan baik.

Narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan hanya merupakan bagian kecil dari mereka yang melakukan pelanggaran atau melawan hukum, sebagian besar dari mereka berada didalam masyarakat dan menikmati kebebasan. Apalagi dengan berkembangnya ketidak adilan, rekayasa, dan pengaruh kekuasaan (uang dan penguasa) dalam proses peradilan, menyebabkan sebagian penghuni Lapas bukanlah mereka yang seharusnya menjalani hukuman. Kesemrawutan proses peradilan dan politik tersebut akhirnya menjadi tanggung jawab Lapas.

Dengan berkembangnya sistem peradilan kita, yang juga menempatkan Kejaksaan kedalam tugas penyelidikan dan penyidikan untuk menangani kasus subversi, ekonomi dan korupsi, dan kemudian ditambah dengan dibentuknya KPK dan TASTIPIKOR untuk menangani kasus-kasus korupsi, maka sistem check and balance dalam tahapan peradilan kita menjadi tidak terwujud dengan baik.

Selain tempat tahanan di Kepolisian, mulai Polsek sampai Mabes, berkembang juga ruang-ruang tahanan di Kejaksaan, termasuk Kejaksaan Agung. Dengan alasan yang berbeda masing-masing institusi mempertahankan “orang-orang tertentu” tetap berada dalam tahanan mereka, terkadang memasuki masa pemidanaan.

Contohnya kasus-kasus KPU, BNI, Jamsostek, Suap polisi dan yang lainnya, menimbulkan banyak pertanyaan. Kesemua ini menimbulkan semakin berkurangnya arti “sama dimuka hukum” atau arti “barang siapa”. Terjadilah istilah-istilah “tebang pilih” atau dijadikannya seseorang sebagai “ATM”. Kesemua ini menambah perasaan “sakit hati” bagi penghuni Lapas.

Pemidanaan
Keadaan di Lapas tidak terlepas dari proses sebelumnya. Terjadinya diskriminasi terhadap “barang siapa” untuk ditahan ditempat yang berbeda. Istilah tahanan “jelas” dan “tidak jelas” pun menjadi populer. Masing-masing tempat penahanan berusaha untuk mendapatkan penghuni “jelas”, untuk bisa membiayai keperluan institusinya dan dijadikan sebagai “ATM”. Terpidana bukan saja berada di Lapas, tetapi juga berada di tahanan Kejaksaan Agung atan Kepolisian. Disisi lain Lapas juga dijejali dengan tahanan baik dari Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan. Keadaan demikian makin memperparah keadaan di Lapas, dan menjauhkan Lapas dari cita-cita “pemasyarakatan”.

PEMASYARAKATAN
Kalau kita akan membahas pengelolaan atau manajemen Lapas, kita harus berangkat dari Konsep Pemasyarakatan yang ditetapkan pada tahun 1964. Dari 10 prinsip pemasyarakatan, ada 5 hal yang saya anggap penting

o Satu-satunya hukuman adalah kehilangan kemerdekaan bergerak
o Pemidanaan bukan upaya balas dendam negara
o Tidak diasingkan dari masyarakatnya
o Tidak boleh lebih buruk atau jahat dari semula
o Narapidana juga manusia

Untuk melaksanakan ini berbagai peraturan perundangan kolonial yang sudah tidak sesuai, dipebaharui dan disesuaikan melalui berbagai Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri maupun Keputusan Dirjen.

Baru kemudian lahir Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tetang Pemasyarakatan. Dalam prakteknya, setelah diundangkannya UU 12/1995, masih banyak peraturan pelaksanaannya menggunakan peraturan perundangan sebelumnya dan juga peraturan perundangan zaman kolonial. Pada tahun 1999 berbagai Peraturan Pemerintah telah dibuat.

Sampai akhirnya muncul PP 28 tahun 2006, yang merupakan pengukuhan Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan sebelumnya. PP 28/2006 dipandang dari kacamata narapidana kasus-kasus tertentu sangat merugikan. Apalagi dengan keadaan peradilan kita yang diragukan menegakkan keadilan yang sebenarnya. Dengan suasana “kegundahan” para terpidana yang demikianlah, Lapas harus dikelola.

LP KELAS I CIPINANG
Baik sebelum maupun sesudah ada gedung baru. LP Cipinang tetap saja penghuninya berjubel (sekitar 4000 orang pada bln Nopember 2006). Setengahnya adalah tahanan titipan dari Kejaksaan (terutama yang “tidak jelas”) maupun Pengadilan.
Sisanya adalah narapidana, yang sebagian besar (70%) adalah mereka yang harus menjalani hukuman diatas 1 tahun, 29 % dengan hukuman antara 3 bln dan 1 tahun, sisanya SH dan MT. Mereka menjadi penghuni Cipinang dilatari kejahatan yang bebeda, pencurian, penipuan, perampokan, narkoba, terorisme, pembunuhan, HAM berat, sampai kejahatan ekonomi dan korupsi.

Mereka belum tentu bersalah, ada yang sengaja dijebak atau kejebak, tertangkap atau direkayasa karena keinginan kekuasaan ataupun tidak mempunyai uang.

Penghuni LP Cipinangpun sangat heterogen dilihat dari berbagai sisi. Pendidikan mulai yang buta huruf sampai Doktor atau Guru Besar. Intelektualnya yang sangat berbeda, mungkin dari IQ 90 sampai 140. Perbedaan ketrampilan, status sosial, suku dan lamanya hukuman menjadikan masyarakat LP Cipinang sangat heterogen. Muncul berbagai pengelompokan, yang merupakan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).

Dari sisi manajemen LP, jumlah staf, pegawai, dan petugas yang sangat terbatas tidak seimbang dengan jumlah narapidana. Struktur kepegawaian yang pincang, terutama kurangnya tenaga lapangan. Tidak memberikan kesempatan berkembang bagi pegawai non AKIP.

Pegawai yang mendapatkan pendidikan lanjutan, setelah selesai jarang mendapatkan tempat yang sesuai dengan keahliannya. Sifat dan prilaku organisasi yang otoriter dan militeristik menyebabkan tidak bekembanganya inisiatif dari bawah. Ditambah lagi dengan terbatasnya penghasilan dan tunjangan. Adanya tunjangan pemasyarakatan yang disebut tunjangan fungsional (bukan tunjangan fungsional yang sebenarnya) yang keliru, menyebabkan tidak mungkin berkembangnya jabatan fungsional lainnya (pranata komputer, dll).

Saat ini telah ditetapkan juga tunjangan risiko pekerjaan. Tetapi semua ini tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya di Jakarta. Banyak keputusan yang bekaitan dengan kewenangan Kalapas, ditarik keatas sampai tingkat Dirjen dan Menteri.

Walaupun kelihatannya seperti ada pendelegasian, tetapi yang didelegasikan bukan kewenangan tetapi tugas penanda tanganan.

Anggaran yang dialokasikan untuk operasional sangat terbatas, sehingga selalu diperlukan “partisipasi” narapidana dalam membiayai kegiatan tertentu, temasuk biaya operasional Lapas.

Hak seorang narapidana untuk mendapatkan kutipan keputusan, hanya bisa didapatkan dengan mengeluarkan biaya. Keputusan MA yang sering terlambat (kasus saya 10 bulan) sangat merugikan narapidana untuk mendapatkan hak-haknya.

Istilah hotel pordeo bagi LP dasarnya dudah tidak berlaku lagi. Berbagai kebutuhan dasar seperti perlengkapan kamar, makan, kesehatan, media-informasi, pendidikan harus dibiayai sendiri. Gedung baru yang mulai dioperasikan belum setahun, sudah terkesan kumuh. Pengamatan narapidana, gedung baru dibangun dengan konsep kembali ke penjara atau “boei”, jauh dari upaya pembentukan Lembaga Pemasyarakatan.

Kamar yang seyogyanya diisi 3 orang sekarang diisi 7 orang, yang untuk 5 orang diisi sampai 11 orang, dan yang untuk 7 orang diisi diatas 15 orang. Ruangan umum untuk narapidana bisa bersosialisasipun sudah dipadati oleh narapidana.

Fungsi beberapa ruangan lainnyapun sudah keliru sejak awal. Kamar mandi bersama yang dilengkapi sprinkle, sekarang dimanfaatkan menjadi kamar atau dapur (walaupun sebetulnya dapur digedung baru tidak diperkenankan), incinerator untuk sampah belum pernah dioperasikan, demikian juga generator back up berdiri seperti semula.

Sumber dan volume air yang dibangun baru, tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga beberapa buah sumur bor terpaksa sibuat disekeliling bangunan (tentu atas biaya penghuni). Kunjungan yang menjadi faktor penting dalam pemasyarakatan (tidak diasingkan dari masyarakatnya) terutama hubungan keluarga telah menjadi ajang rebutan kekuasaan dan penghasilan. Hubungan mesra (termasuk oral sex) antara narapidana dengan pasangannya tidak dapat dihindarkan, dan terjadi serta dilihat oleh orang sekitarnya, termasuk anak-anak.

Dengan dipasangnya kamera monitor diruang kunjungan, semua prilaku narapidana dan pengunjung dapat dilihat oleh para petugas di operation room. Kalau kunjungan kebutuhan biologis ini tidak diatur, maka kekerasan sexual antar sejenis akan terjadi.

Dalam reintegrasi sosial, peraturan perundangan telah mengatur berbagai ketentuan seperti remisi, asimilasi, CMK, PB, dan CMB. Tetapi berbagai peraturan yang mengatur prosedur pelaksanaanya sedemikian ruwetnya, sehingga hanya bisa berjalan kalau ada biayanya (surat jaminan, surat keterangan RT/RW/Lurah, Rapat TPP disemua tingkatan).
Keadaan demikian menimbulkan meluasnya budaya “imbalan”.

Kehidupan didalam LP merupakan sub-kultur yang susah dimengerti, tetapi harus dialami, dan merupakan refleksi keadaan diamasyarakat luas.

MANAJEMEN
Sampai sekarang (sekurang-kurangnya di LP Cipinang), penilaian terhadap kinerja manajeman LP ditetapkan oleh dua faktor yaitu ketenangan dan keamanan, serta tidak terjadinya pelarian. Faktor-faktor inilah yang menjadi perhatian utama manajeman, dengan mengenyampingkan berbagai peraturan seperti disiplin, pemakaian HP, pemakaian dan peredaran narkoba, menyediakan makanan sendiri dan lain-lain.

Banyaknya “keharusan” narapidana dapat menyediakan kebutuhannya sendiri, karena kemampuan ekonomi yang berbeda, telah menimbulan kesenjangan sosial, yang mengarah kepada terjadinya friksi sosial diantara penghuni. Inilah yang menimbulkan diperlukannya “uang keamanan” atau “uang gaul” diantara kelompok-kelompok narapidana.

Seyogyanya kinerja manajemen LP perlu dinilai dari keberhasilan proses pemasyarakatan itu sendiri. Misalnya jumlah narapidana yang melakukan asimilasi, apakah CMK, PB dan CMB dilaksanakan tepat pada waktunya. Sepengetahuan saya selama 2 tahun terakhir di LP Cipinang tidak ada yang menjalankan asimilasi. Pelaksanaan PB dan CMB molor dari waktunya.

Bagi saya sendiri misalnya, pengusulan mendapatkan CMK samasekali tidak ditanggapi, yang berarti ditolak.

Banyak hal lain yang masih dapat diungkapkan berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, bimbingan kerja dan lain lian. Mungkin bisa lebih fokus kita bahas dalam kesempatan lain.

PENUTUP
o Perbaikan atau revitalisasi manajemen Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari perbaikan sistem peradilan kita secara keseluruhan. Check and balance harus ditegakkan, agar sekurang-kuragnya “barang siapa” mendapatkan proses pengadilan yang fair.

o Lapas adalah muara dari proses peradilan, dan tempat yang paling lama akan dihuni oleh seorang narapidana.

o Pengaturan kembali penetapan rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, untuk tidak menimbulkan kecurigaan, perlakuan istimewa, atau kerugian bagi narapidana.

o Perbaikan kesejateraan pegawai dan petugas merupakan langkah penting untuk mengurangi budaya “imbalan”.

o Perbaikan atau perubahan manajemen di Lembaga Pemasyarakatan, tidak terbatas pada revitalisasi, tapi harus merupakan perubahan budaya atau “change”.

o Apakah konsep pemasyarakatan 1964 masih akan diterapkan dan dilanjutkan?

Jaharta, 25 Nopember 2006
Rahardi Ramelan
Mantan penghuni LP Cipinang
disadur kembali oleh http://napi1708.blogspot.com/

2 komentar:

sebagai orang yang pernah merasakan penjara, sungguh kajian Prof sangat dalam, tapi apakah orang lain akan sama merasakan apa yang dirasakan Prof, jika memang Lapas menjadi overcrowded tentu bukan karena Pemasyarakatannya. Jadi kami harap masih ada seribu orang lagi yang mengerti bagaimana petugas kita berusaha memberikan yang yang terbaik demi negara dan penegakan hukum.

Saya sangat mengapresiasi apa yang bapak posting,,memang selama ini apa yang terjadi di LAPAS atau RUTAN memang hanya ditekankan pada aspek keamanan dan ketenangan. Satu lagi yang saya garis bawahi dikotomi antara AKIP dan non AKIP sangat kental sehingga meskipun pegawai non AKIP memiliki kompetensi tetap tidak akan dipakai,,padahal tidak semua pegawai non AKIP bodoh dan sebaliknya tidak semua pegawai dari AKIP cakap. Saya hanya berharap agar kedepannya pemasyarakatan dapat mewujudkan cita2 luhurnya sesuai dengan aturan yang berlaku,,

Posting Komentar