Jumat, 24 Agustus 2007

”Bebas Bersyahwat”

Penjara, maaf bahasa resminya Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas, mempunyai idiom-idiom yang lebih dipahami mereka yang berhubungan langsung, di antaranya istilah “bebas bersyarat” yang kini digencarkan.

Ada 7.000 napi yang mendapatkan prioritas ini,dan negara menghemat 34 miliar rupiah,di samping alasan penjara saat ini kelebihan penghuni. Menurut data resmi, untuk 2007 triwulan I, jumlah “anak didik”, idiom lain untuk napi di seluruh Indonesia berjumlah 118.453 orang,padahal daya tampung hanya 76.550 orang. Ada 41.903 orang sebagai penumpang gelap.


Inilah yang disebut kelebihan beban,“over capacity.” Negara bisa lebih berhemat lagi jauh lebih besar, jika tata krama yang tertulis resmi dijalankan. Meskipun ini bisa berarti pengurangan pendapatan para sipir atau birokrat yang menangani. Bebas bersyarat,on parole adalah kondisi di mana narapidana telah menjalani dua pertiga masa tahanannya, berkelakuan baik (tidak berbuat jahat selama di dalam penjara, tidak ketahuan memaksakan sodomi, tidak masuk daftar letter F), dan lulus dalam uji kelayakan, fit & properstestoleh para penguasa penjara.

Mereka yang lolos dan bebas, tidak sepenuhnya bebas karena sedikitnya sebulan sekali harus melapor ke kejaksaan dan ke lembaga pembinaan setempat. Kalau ada yang tidak benar,bisa kembali ke penjara alias tidak bebas lagi. Bagi para napi, idiom bebas bersyarat sering diartikan sebagai bebas bersyahwat karena itu merupakan kesempatan menyalurkan hasrat biologis yang tertahan selama ini. Sebetulnya, kalau tujuan menghemat uang negara dan menghindari kelebihan penghuni, bisa dipakai cara yang sangat sederhana.

Pertama, penyediaan data yang akurat. Dengan sebuah komputer,‘jangkrik’ sekalipun bisa didata, kapan seorang napi masuk, dan kapan keluar dengan menghitung masa hukumannya. Bisa terjadi secara otomatis sehingga kalau napi dinilai layak, bisa otomatis memperoleh kesempatan itu.

Memang ini memotong biaya administrasi sampai tingkat Kanwil, di mana restu ini menjadi resmi.Tak ada kesulitan sama sekali, dan tidak repot dalam menghitung—termasuk perkiraan grasi yang diterima,baik melalui kebaikan pemerintah setiap 17 Agustus,atau tambahan sepertiganya kalau ia berbuat baik, membantu sesama selama di dalam.

Kedua, mengenai kelebihan penghuni. Ini memang terjadi, terutama pada penjara-penjara “favorit”, di mana para penghuni mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Padahal, banyak daerah- daerah lain yang relatif kosong sehingga jalan keluar sederhana adalah dipindahkan—atau idiom para napi berlayar.

Ketiga,merupakan konsekuensi logis dari pendekatan sesuai dengan peraturan yang dijalankan apa adanya.Kita bisa menata kembali masalah-masalah yang sepele tapi bikin kecele, seperti pengaturan waktu besuk berapa lama, hari apa, berapa tiket resmi—meskipun tertulis gratis, napi harus menempati blok mana dan nomor berapa—nomor kecil menunjukkan napi yang sakti,kunjungan biologis yang manis, sampai dengan jam menu dihidangkan atau waktu untuk mandi.

Semua telah ada, semua telah baku, namun kadang membeku dan lebih ditentukan oleh hubungan pribadi. Kalau semua ini dijalankan, walau perlahan akan banyak yang diuntungkan. Sesungguhnyalah, realitas empiris memberi bukti bahwa perhatian untuk para napi amat sangat kurang—yang bisa dimengerti, meskipun kurang bisa dibenarkan.

Semua upaya tulus memberi kemudahan dan kesempatan para anak didik untuk menemukan harga dirinya adalah amal baik, apalagi dengan sikap simpatik. Menurut idiom para napi,jika diperlakukan sebagai anjing, mereka akan menggonggong.Jika diperlakukan sebagai kucing,mereka akan mengeong, dan jika diperlakukan sebagai manusia, mereka akan tertolong.Sekurangnya untuk menolong diri sendiri.(*)

Arswendo Atmowiloto
Pengamat Budaya
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/budaya/bebas-bersyahwat-3.html


0 komentar:

Posting Komentar