Kamis, 29 Januari 2009

Kisah dari Penjara

“Tak perlu masuk penjara untuk mengetahui penjara,” kata teman saya sambil menyodorkan koran. Di sana, ada tulisan berjudul Medaeng Undercover, yakni tulisan mantan napi yang pernah menghini rutan kelas I Surabaya, menguak kehidupan penjara yang belum banyak diketahui khayalak.

Penjara, tentu bukan hal asing buat saya. Semenjak mengikuti serial Prison Break, paling tidak saya bisa mengetahui kehidupan di balik tembok ‘mengerikan’ itu. Penjara yang keras. Penjara yang penuh dengan orang-orang brutal. Siapa yang kuat, dia berkuasa. Siapa yang dekat dengan aparat, dia memperoleh perlakuan istimewa. Orang-orang pelanggar hukum itu diperlakukan secara kurang manusiawi karena dianggap sampah. Sebagaian yang lain dimanfaatkan, sebagaimana sampah yang bisa diuangkan.

“Ternyata, penjara yang berfungsi sebagai alat jera para pelanggar itu, tidak lebih hanyalah alat penegak hukum untuk mencari keuntungan,” kata teman saya mengagetkan. Tentu saja, teman saya itu sedang mengeneralisasi. Saya yakin tidak semua aparat itu melenceng.

“Ingat beberapa waktu lalu, pabrik narkoba terbongkar di Medaeng? Bagaimana mungkin pabrik narkoba bisa berdiri dari dinding penuh penjagaan ketat?” tanyanya heran.

Tentu bukan untuk saya jawab. Pikiran saya terlayang pada beberapa bulan lalu, entah bulan apa, pabrik narkoba terbongkar di dalam tahanan! Ironis memang. Sebuah lembaga yang harusnya bisa memberi pelajaran kepada para pelanggar hukum, justru malah sebagai mediator pelanggaran itu sendiri.

Saya kemudian meraih koran tersebut. Membaca.

Di situ, penulis mengawali kisahnya bisa sampai di sana. Dia menghuni rutan itu gara-gara berboncengan dengan teman yang membawa sabu-sabu seberat satu gram. Karena terkena razia, jadilah tuduhan yang sama menuju padanya. Nasib apes, begitulah, dalam sidang dia dituntut hukuman satu tahun dengan denda subsider sebesar Rp 500 ribu. Dalam sidang, yang menarik, sang hakim menawari sidang tunda.

Tentu saja sidang ini dia terima. Namun, isyarat waktu itu tidak dapat ia manfaatkan dengan baik untuk “pembelaan”. Sidang tunda itu konon merupakan tenggang waktu yang diberikan untuk mengumpulkan uang. Kalau tidak bisa membayar, maka proses hukum berlangsung apa adanya tanpa keringanan.

Akhirnya, setelah melewati sidang tunda, palu mengetok pidana satu tahun dua bulan plus membayar subsider Rp 500 ribu atau kurungan tiga bulan.

Berawal dari situlah, akhirnya dia mengerti bagaimanakah kehidupan penjara, setidaknya rutan kelas I di Surabaya.

Bagaimanakah kehidupan di Rutan Medaeng? Tentu tidak beda dengan penjara pada umumnya.

Dalam ruang sempit berukuran 4 x 4 itu, dia harus berdesak-desakan dengan 18 napi lain. Tentu sangat sumpek, kata orang Jawa. Siksaan terjadi pada malam hari, ketika semua harus tidur berdesak-desakan seperti ikan pindang yang dijemur, tumpang tindih.

Sebegitu menyiksakah?

Ternyata jawabannya: Tidak. Setelah menyesuaikan diri, dia bisa melewati hari-hari menyebalkan di Rutan Medaeng, seperti layaknya menjalani hidup di tengah perkampungan umumnya. “Lama kelamaan, penghuni rutan berpindah tempat. Bagi yang bisa membayar, mereka bisa memilih tempat yang nyaman di mana saja.”

Di rutan, selain tersedia fasilitas pusat kesehatan poliklinik, juga memiliki fasilitas umum seperti pasar. Ada salon, loundry, dan wartel untuk berkomunikasi dengan keluarga.

“Bahkan bagi yang tidak doyan menu cadong (jatah makan), pelayanan katering pun ada. Bagaimana kalau tuntutan libido memberontak? Ini pun ada jawabannya: cewek-cewek Rutan Medaeng bisa dipakai!”

Mengejutkan memang –bagi orang yang tidak biasa. Di tulisan yang bersambung itu, dia juga menceritakan tentang salah satu ruang yang tergolong mewah. Tentu ini golongan orang yang berduit. Sebagain orang kecil, yang memiliki keberanian, mereka berbisnis sebagai penjual togel dan aneka macam perjudian.

“Kalau liku-liku ke penjara saja penuh kecurangan seperti itu? Tentu penghuninya lebih curang lagi,” kata teman saya. “Penjara bukan ruangan menakutkan. Karena di Indonesia, semua bisa dibeli dengan uang. Sebagaimana hukum, juga bisa direkayasa.”

Saya teringat pembebasan Adelin Lis yang syarat akan kejanggalan —sekarang berstatus buron. Dan benar, ternyata penegak hukum itu penuh dengan kepalsuan.

http://www.imponk.web.id/2007/11/17/kisah-dari-penjara/

0 komentar:

Posting Komentar